Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #29

Bab 29

    Pagi harinya, Abid terbangun. Ia menyaksikan kamar pondok yang sudah sepi. Kasur-kasur ditumpuk di pojokan kamar. Kabel roll digulung dengan rapi, diletakkan di samping kasur. Mungkin memang masih ada beberapa santri yang tertidur seperti dirinya, atau mungkin sedang mencuci baju, menyetel lagu, menggosok baju sambil menyanyi, dan beberapa orang lainnya yang memang tidak ada jadwal kuliah. 

Buurgghhh….” Abid menggeram kesal. Ia ditinggal. Padahal, ketika kemarin diajak Abdi untuk berangkat kuliah bersamanya, Abid sangat bersemangat. Setidaknya, Abid bisa merasakan beberapa jam di tempat yang membuat Abdi merasakan banyak hal baru. Bahkan mungkin, dia bisa menyaksikan hubungan Abdi dan Sekar. 

“Alah, mboh, lah.” Abid kembali berbaring. Menarik HP ke hadapannya, dan mulai scroll media sosial. 

 ***

Sementara itu, di sana, sedang turun hujan deras. Abdi menguap lebar. Seperti biasanya, ia mengantuk ketika jam perkuliahan. Ditambah dengan suasana sejuk diluar, lantunan bulir air yang menghantam bumi, semuanya begitu menentramkan. Memang benar. Hujan adalah rahmat. 

“Abdi, bangun!” Aiza mendorong kepala Abdi yang jatuh ke bangku depannya, tempat Aiza duduk, menganggu punggungnya. 

“Oh, maaf, Za.” Abdi mengangkat tangan. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas sandaran lengan, menyandarkan kepalanya di atas sana. 

“Kamu, ya, Di. Kok akhir-akhir ini sering banget tidur di kelas?” tanya Aiza. Abdi tidak menjawabnya. Matanya sudah kembali terpejam. 

Akan tetapi, Abdi tidak menyadari bahwa semakin lama, ia semakin terbiasa dengan kekurangan tidur. Tidak seperti kemarin-kemarin ketika dirinya tertidur hingga detik terakhir mata perkuliahan. Di tengah-tengah pembelajaran, ketika sang presentator masih menerangkan, Abdi akhirnya bangun. 

Hoooaaah…..” ia menguap. Menutupnya, sambil patah-patah mendengarkan penjelasan Alea yang ada di depan sana, bersama Tio dan beberapa kawan lailnnya. 

“Kau bergadang lagi, ya?” tanya Aiza. Abdi tidak menjawabnya. Sementara Sekar yang ada di samping Aiza hanya memperhatikan. 

Tak berselang lama kemudian, karena tidak ada yang bertanya, mungkin karena mata kuliah yang memang susah, Pak Dosen pun mengakhiri kelas. Beliau sama sekali tidak memberikan tambahan supaya para mahasiswa lebih paham. 

“Oh ya teman-teman, mohon didengarkan sebentar!” seorang mahasiswi perempuan berdiri, mengambil perhatian. 

“Untuk perkuliahan nanti kosong. Jadinya libur. Digantikan sama tugas.” ujarnya memberikan pengumuman. 

Seketika, teman-teman lainnya bersorak-sorai senang. Segera mereka meninggalkan kelas. Aiza dan Sekar juga berdiri. Abdi dengan ragu-ragu, patah-patah menahannya, 

“Anu… Sekar.” suara Abdi benar-benar pelan. Namun, Aiza dan Sekar dapat mendengarnya. Dua perempuan itu menoleh. Sekar bertanya, sedangkan Aiza menggoda keduanya, menyeru pelan, 

“Cie.. Cie…” 

Masih seperti biasanya, pipi keduanya memerah. Dua orang ini tetap amatiran. Tidak bisa menahan salah tingkah ketika bertemu, apalagi setelah diseru-seru. 

“Ada apa, Abdi?” tanya Sekar sambil menunduk malu-malu. 

Abdi pun juga sama. Menunduk malu-malu, dengan suara gemetar, ia bertanya, 

“Sekar ada waktu? Abdi mau ngomong sebentar.” 

“...” Sekar diam, berpikir. Sementara Aiza yang menyaksikannya tersenyum. Ia kemudian mendekat ke telinga Sekar, membisikannya sesuatu. Perlahan, rona merah mempesona di pipi Sekar semakin menyala, merambat hingga seluruh mukanya bak kepiting rebus. Perempuan mungil itu menoleh ke Aiza, memperlihatkan wajah memelas yang tidak setuju. 

“Nggak papa, Di. Tapi nanti Sekarnya dibonceng diantar ke pondok, ya?” ucap Aiza mendahului Sekar, menepuk pundaknya sambil tersenyum riang. Ia sama sekali tidak mempedulikan kawan perempuannya yang sekarang semakin salah tingkah, kalang kabut, dan wajahnya yang benar-benar merah. 

Tapi sayang, Aiza sudah mrnghilang bersama dengan pacarnya, Tio. 

“...” Keduanya masih diam. Menundukkan pandangan. 

“Oh, kita keluar dulu, yuk!” ucap Abdi sambil menunjuk pintu. Sekar mengangguk pelan, sedikit patah-patah. 

Hujan masih turun deras mengguyur bumi. Teman-teman mahasiswa lainnya terjebak di balkon, teras lantai satu atau lantai dua. Beberapa ternyata lebih memilih duduk diam di dalam kelas, bermain HP entah sosial media atau game menggunakan wifi kampus. Bagi mereka, menunggu dengan seperti itu lebih memanfaatkan waktu ketimbang dengan berdiri saja di teras memandang air-air yang turun deras dari langit. Namun, yang mereka tidak fahami, ada beberapa yang memandang hujan sambil merasakan sejuknya kenikmatan rahmat Tuhan. 

Abdi dan Sekar berdiri di samping pintu kelas, di tepi balkon lantai dua. Beberapa teman yang ada di sana sedikit menjauh, memberikan ruangan pada orang yang hendak berpacaran. Beberapa teman lainnya juga akhirnya percaya dengan status Aiza. Namun, mereka tidak menghiraukannya. Karena Abdi dan Sekar memang bukan urusan mereka. 

“Jadi, ada apa, Abdi?” tanya Sekar. 

Abdi masih diam. Dia menggaruk kepala bagian belakang. Mulutnya gemetar, sementara otaknya masih bingung memikirkan alur pembicaraan. Ia tidak tahu harus memberitahu mulai dari yang mana. 

“Ada apa, Abdi? Ngomong saja nggak papa.” Sekar mengangkat pandangannya, memberanikan diri menatap Abdi, yang malah mengalihkan pandangannya. 

“Anu… Sekar, tapi apakah Nadhira tidak berangkat?” 

“Hmmm? Kenapa malah nanyain Nadhira?” mimik muka Sekar berubah, namun Abdi tidak dapat melihatnya karena sibuk mengalihkan pandangan. 

“Ini soalnya tentang tugas presentasi minggu ini.” Abdi menggaruk kepala bagian belakang, masih mengalihkan pandangan, walaupun ia sesekali mencuri pandang, menyaksikan wajah lugu menggemaskan Sekar. Cantik tiada tara di mata Abdi. 

“Ada apa tugasnya? Kalau yang seperti itu bukannya bisa dibahas di grup?” 

“Nggak enak rasanya kalau dibahas di grup.”

“Hmmm? Emang Abdi mau bahas apa?” tanya Sekar masih berusaha menatap Abdi, walaupun tidak terbalaskan. 

“Begini Sekar, aduh, gimana ngomongnya ya...” Abdi masih saja menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia tersenyum kecut, sementara wajahnya pias. 

Sekar kali ini diam. Tidak berusaha memancingnya. Menunggu dengan sabar. Tidak peduli walau ada beberapa teman yang memvideo mereka berdua. Pasangan paling kikuk sepertinya cocok untuk caption cerita jahil mereka. 

Lihat selengkapnya