“Gimana, Di? Enak makan di pondok, kan?” tanya Mas Wawan. Mereka telah selesai shalat Dzuhur dan wiridan. Para santri masih ada istirahat makan sebelum dilanjutkan dengan jadwal mengaji menjelang Ashar. Seperti adat santri pada umumnya, kebanyakan dari mereka makan bersama dalam satu nampan besar. Tumpengan. Abdi bersama dengan Abid, Mas Wawan, Mas Doni, dan Idham yang tadi nongkrong bersama mereka juga diajak, disuruh yang mengambil makanan tentunya.
“Ya jelas enak makanan pondok, Mas. Itu nggak usah ditanyain,” jawab Abdi setelah mengunyah makanannya.
“Nambah?”
“Jelas,” ucap Abdi tanpa malu-malu.
“Nah, gin ikan cocok,” ujar Mas Wawan dan Mas Doni senang. Mereka berdua adalah asisten dapur, membantu para chef pondok masak. Melihat santri yang dengan lahap makan masakan mereka adalah suatu nikmat tersendiri, apalagi kebanyakan santri-santri generasi baru alay, tidak doyan dengan masakan pondok.
“Lah, dirimu di sana masak sendiri atau beli makanan?” tanya Mas Wawan.
“Ada jatahnya, Mas. Di pondok.”
“Oh iya, dirimu kelinci percobaan pondok mitra, ya?” giliran Mas Doni yang bertanya.
Abdi mengangguk, dengan muka kecut. Mas Doni, Mas Wawan, dan Abid yang hendak menyuap menunda tangannya dulu, tertawa lepas.
“Wuih, enak banget, ya. Nggak bayar syahriah tapi ikut makan,” sindir seseorang dengan suara berat yang begitu berwibawa. Tawa sekitar nampan itu berhenti. Mereka menoleh sebentar ke belakang. Ada Pak Kyai di sana. Tersenyum dengan penuh makna. Senantiasa tentram ketika menyaksikannya.
“Eh??” Abdi dan Abid yang tersindir segera mengangkat tangan dari nampan, meletakkan nasi dan lauk yang hendak mereka makan.
“Hahaha, Guyon, Di, Bid. Lanjutkan makannya, tho! Malah nanti aku dimarahi Bu Nyainya. Hahaha …” Pak Kyai tertawa. Abid dan Abdi tersenyum kikuk sambil mengangguk, sementara Mas Wawan, Mas Doni, dan beberapa santri lain di sekitar mereka tertawa.
“Sampai sini kapan, Di, Bid?”
“Ndek wau, Pak Kyai. Sekitar jam sebelas,” Abdi menjawab dengan sopan, masih sambil mengangguk.
“Lha kuliahmu nggak kenganggu, Di? Absenmu bagaimana?”
“InsyaAllah aman, Pak Kyai,” Abdi masih terus mengangguk setiap lontaran kata.
“Oh, iya. Absennya aman. Mungkin yang nggak aman ceweknya.”
Tawa meledak di sekitar mereka. Masih dalam koridor sopan. Karena hakikatnya, Pak Kyai memang melempar canda. Bahkan yang terbahak-bahak juga bagus, karena tertawa dengan sepenuh hati. Jadi, adab memang tergantung tempatnya. Sementara Abdi malah menunduk tersipu malu. Mukanya merah padam.
“Ceweknya satu doang, Di?” tanya Pak Kyai. Namun, belum sempat Abdi menjawab, Pak Kyai sudah kembali berujar,
“Oh iya, kalau ceweknya banyak itu Abid, ya.”
Tawa kembali menggema. Kali ini giliran Abid yang menunduk malu-malu. Abdi benar-benar bahagia. Sekitarnya terasa begitu hangat. Ini benar-benar keluarganya. Keluarga bathin. Satu jalur perguruan.
Di sini, hawanya begitu tentram. Penuh kedamaian. Di tempat ini, sama sekali tidak ada hal yang akan memacu jantungnya, membuat deg-degan, ketakutan. atau semacamnya. Di sini, tempat keluarganya berada, begitu tenang. Sangat nyaman. Abdi akan senantiasa betah di sini. Kapan pun. Dibandingkan di mana pun.
Sementara itu, di kamar, di salah satu lemari tempat Abdi menitipkan barang-barangnya, ponselnya berdering kencang. Namun, karena seluruh santri ada di aula dan sekitar teras lantai satu. Panggilan telpon itu tidak terjawab.
SCP.
4 panggilan tidak terjawab.
***
Abdi benar-benar bahagia malam itu. Setelah sekian lama, ia merasakan ketentraman yang begitu nyaman. Di Ibu Kota, ia memang kerap mendatangi acara-acara maulid dan beberapa pengajian. Ia juga pernah menghadiri beberapa acara peringatan hari besar Islam lainnya. Namun, entah kenapa, maulidan di pondok tetap yang paling nyaman baginya. Di pondok, tempatnya kondusif, Abdi tidak perlu berdesakan dengan kawan-kawannya. Para santri teratur. Sejuk, karena masih ada kipas yang berhembus secara adil ke seluruh ruangan. Konsumsi yang dibagikan juga tidak tanggung-tanggung. Dan yang paling utama, dia bisa menyaksikan orang tua bathinnya yang dapat meluluhkan hatinya. Membuat ketentraman yang ada di sana sungguh tiada tara.
دَعَوْنَاكَ فَاسْمَعْ فَكَمْ مِنْ دُعَاء – دُعَاءً يَدُوْرُ بِرَحْبِ السَّمَاء
“Kami berdo’a padamu maka dengarlah/kabulkanlah – Berapa banyak do’a yang beredar di langit yang luas”
نَقُوْلُ اِلَهِى وَنَرْجُوالرِّضَاء – نُنَاجِى اِلَهًا كَثِيْرَ الْعَطَاء
“Kami berdo’a “Wahai Tuhanku, Kami mengharap kesembuhan – Kami bermunajat pada Tuhan yang sangat banyak pemberiannya”
Seluruh santri di aula bersholawat dengan semangat, mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk Kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya begitu bahagia. Tentu saja. Ini adalah detik-detik mulia, detik-detik penyambutan ulang tahun makhluk paling luar biasa yang ada di muka bumi, juga seluruh galaksi. Di mana pun, Dia adalah insan yang memukau. Baginda Agung Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
اِلَهِى اِذَا ضَاقَ فِيْنَاالزَّمَان – وَجَدْنَابِظِلِّكَ فَيْضَ الْحَنَانْ
“Tuhanku, Ketika zaman terasa sempit bagi kami – Kami dapatkan dalam naunganmu limpahan belas kasih”
اِلَهِى وَاِنْ طَالَ لَيْلُ الْخُطُوْبِ – اَتَيْنَا اِلَيْكَ نَرُوْمُ الْاَمَان
“Tuhanku, Apabila terasa panjang malam penuh marabahaya – Kami datang kepadaMu memohon perlindungan”
Abdi begitu bahagia. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kebahagiaan besok di tanggal dua belas. Bagaimana rasanya. Sungguh, ini benar-benar luar biasa. Tentram. Tenang. Sejuk seluruh hatinya. Bahagia yang sesungguhnya. Semuanya juga sama. Muka sumringah terpasang di setiap wajah mereka.
***
Akhirnya, setelah mengikuti berbagai kegiatan pondok yang menentramkan hatinya. Abdi akhirnya menyempatkan diri untuk membuka perangkat-perangkatnya. Ia membawa laptop dan ponselnya. Kemudian membukanya di kantor, bersama dengan beberapa pengurus media pondok. Ada juga Ighni, dan satu dua pengurus lain yang sedang mendata berkas-berkas pondok yang penting.
“Nggarap tugas kuliah, Di?” tanya Ighni.
“Ya, begitu lah, Ni,” ucap Abdi sembarang. Ia masih menunggu loading dari HPnya yang nge-drop sore tadi. Laptopnya pun juga sama. Maklum, perangkat-perangkat tua.
“Di,” seru seseorang dari luar kantor. Ian, salah satu kawan angkatannya yang masih di pondok untuk mengkhatamkan Al-Qur'an.
“Oh, Yan. Ada apa?”
“Kesini saja, lho, Di. Jangan di dalam kantor!” tangan Ian melambai-lambai, sementara tangan yang lainnya sedang memegang Al-Qur'an terjemahan dalam kondisi terbuka.
Abdi menurut. Ia membawa perangkat digitalnya keluar serta. Kemudian Ian mengajaknya duduk di tepi pintu kantor, bersandar di dinding berwarna hijau. Menghadap tembok yang membatasi antara pondok dengan kebun belantara.
“Ada apa, Yan?”
“Nggak papa. Cuman kalau ngerjain di luar aja, Di. Bang Dul kemarin-kemarin sempat marah karena kantor terlalu ramai,” Ian kemudian langsung lanjut membaca Al-Qur'an.
“Lah, Yan. Tapi kan kalau mau menggunakan perangkat digital peraturannya di kantor.”
Ian masih membaca. Menghabiskan satu sampai akhir ayat, kemudian baru menjawab,
“Lah, itu kan peraturan santri. Lha dirimu kan sudah alumni.”
“Tapi, kan, Yan …”