Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #31

Bab 31

       BRAAAKKK….

           Abdi menjagal kasar Abid dari belakang, membuat dua orang tersebut jatuh berguling. Tapi, dia berhasil menghentikannya untuk mencetak gol. Gawang timnya terselamatkan. Udin yang menjadi penjaga gawang segera maju dan mengambil bola, kemudian melemparkan jauh ke depan.

           Namun sayang, tim lawan, Ighni meloncat lebih tinggi, berhasil membawa bola kembali ke arus permainan mereka. Abdi dan rekan-rekan timnya yang lain mengeluh pelan. Ighni menendang bola ke depan, cepat, menghampiri Mas Wawan. Ia berlari. Abdi yang masih tertidur langsung maju, masih dalam keadaan terbaring. Ia meloncat, menghalau bola yang di bawa Mas Wawan. Mas Wawan yang tidak ingin menendang kepala Abdi itu langsung meloncat. Bola kembali ke Abdi. 

           “Woooooh……” santri-santri lain bertepuk tangan. 

           “Nemanja Abdi, cuy,,,,,” seru Mas Doni yang langsung disambung dengan sorakan-sorakan santri lain. 

           Mas Wawan yang tadi menjauh geleng-geleng kepala. Abdi segera bangkit, kemudian memberikan bolanya kepada Ian. Ian mendapatkannya. Menggiringnya sendirian, melewati Ighni, juga dua santri lainnya yang berjaga di lini belakang. Satu lawan satu dengan kiper. Namun, Ian menendang backheel pelan ke belakang. Ada Abdi di sana. Ia menendang kencang. 

           TIAANGGG….

           Bola menghantam tiang atas gawang. Memantul. Tepat menghampiri Ighni. Ia dengan cepat mengumpan lagi ke depan. Pertahanan kosong. Ian dan Abdi menghela nafas lelah. Mereka tidak berlari mengejar, akan tetapi pasrah dan berjalan ke tepi lapangan. Palingan juga kebobolan. Menyerah saja. Di peraturan permainan futsal pondok, apabila sebuah tim kebobolan, maka tim itu gantian dengan tim yang lainnya. Begitu seterusnya, terus berputar hingga waktu habis. 

           “WEEE……..” seruan kencang sekali bergema. Abdi dan Ian menoleh. Ternyata Mas Wawan gagal melakukan finshing. Padahal dia sudah melakukan one-two di hadapan Udin sang kiper. Namun tendangan Mas Wawan malah meleset. 

           “Dinnn……” Ian berseru. Mengangkat tangan. Meminta bola. 

           Udin meloncat, menambah gaya tenaga dalam lemparannya. Ian langsung meloncat. Namun, karena tidak ada yang menghalanginya, ia tidak menyundul. Melakukan tendangan voli di udara. 

           “GOOOOLLLL……..” 

           Abdi dan Ian berlari menepi ke lapangan. Keduanya kemudian melakukan aksi jogetan asik. Hanya sebentar, kemudian segera kembali ke posisi timnya. Bersiap bertanding dengan tim lawan selanjutnya.   

           Pertandingan terus berlanjut dengan seru. Tim Abdi bermain dengan solid. Pertahanan nekatnya yang kokoh membuat lawan kesulitan, bahkan hanya untuk melayangkan tembakan shoot on target. Ditambah lagi dengan kemampuan Udin yang semakin ahli dalam menjaga gawang. Enam kali seruan gol, enam kali juga tim Abdi berselebrasi. Tidak terkalahkan.

           Hingga akhirnya, setelah bertahan dengan sangat kuat, bahkan hingga dua putaran lewat, tim Abdi dan Ian akhirnya terpaksa harus menyingkir dari lapangan. Lucunya, mereka dikalahkan dengan segerombolan bocil-bocil yang bermain karena menggantikan Mas Wawan dan Abid. Udin saat itu sok-sokan maju, begitu pula dengan Abdi yang biasanya berjaga di bagian belakang.

           “Hahaha….. kalahnya malah sama anak kecil.” seisi lapangan tertawa, menertawakan Abdi yang tadi berhasil dikolongi. 

           Mendengar itu, si anak kecil langsung mengusap-ngusap hidungnya dengan telunjuk. Bergaya. Tapi, BUAAAKKKKK sebuah tendangan nyasar ke arahnya. Bola melesat, menghantam keras muka anak kecil itu. Ia seketika oleng. Tidak berhenti sampai di situ. Ia tiba-tiba ambruk. Meringis kesakitan mengusap mukanya. 

           “Hahahaha……” semuanya tertawa. Si kecil itu naik pitam. Ia mengejar orang yang menendang muka ke arahnya. Dono. Namun, karena lebih lihai. Dono dengan mudah melewatinya. Si anak kecil tidak membiarkannya. Bola mungkin boleh lewat, namun tidak dengan orangnya. Ia seketika menginjak tumit Dono, membuatnya terjatuh. 

           “Heiiii!!!....” Dono langsung berdiri, menatap kesal. 

           “Hahahhaaaaaa….” semuanya tertawa kencang. 

           Sementara itu, di tepi lapangan, Abdi terus menerus didesak oleh Mas Wawan dan Ian untuk berani mengutarakan masalahnya. Meminta bantuan sekaligus petunjuk untuk langkah terbaik apa yang sebaiknya ia ambil, kalau dirinya sudah benar-benar serius. Abdi lamat-lamat memikirkan kalimat dari Ian dan Mas Wawan. Ia sekali lagi menoleh kepada mereka berdua. Keduanya mengangguk mantap. 

           “Huuffftt…..” Abdi mengambil nafas panjang, bersiap, kemudian menghembuskannya pelan-pelan.

Lihat selengkapnya