Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #32

Bab 32

      Malam yang sangat menentramkan untuk kesekian kalinya. Angkasa hitam, namun terang oleh rembulan dan barisan bintang gemintang. Angin berhembus tenang, terasa sangat nyaman, membasuh kulit-kulit dengan lembut. Tidak terlalu menggigil. Membuat ranting-ranting di kebun bergoyang pelan. Suara derik jangkrik yang berokestra di kebun juga terasa nyaman. Akhir-akhir ini, alam begitu bersahabat, Membawa ketenangan. Ada kebahagiaan terpancar. Tentu saja. Ini adalah detik-detik kelahiran Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, rahmat seluruh alam, tokoh utama jagad raya. Yang dengan kelahirannya, membawa cahaya menerangi seluruh alam semesta. Satu-satunya di dunia. Dan tidak ada duanya, bahkan dalam dunia paralel apabila itu memang benar-benar ada. Manusia paling spesial, yang melampaui malaikat. Oh sungguh indah sekali. Nampaknya, tidak akan habis-habis pujian untuk dirinya. 

           Di tengah malam yang tenang, Abid terbangun dari tidur. Di aula pondok. Sekitarnya masih gelap. Mungkin lampu-lampu di bagian teras yang masih menyala. Santri di sampingnya nampaknya petingkah ketika tidur. Kakinya naik ke perut Abid. Ia dengan pelan-pelan memindahkannya. Gelap. Abid tidak tahu dia siapa. Kalau ternyata lebih tua bisa bahaya. Lagipula, dia tetap harus bersikap dengan baik, bahkan kepada yang lebih kecil. Itu namanya adab sesama manusia, memanusiakan manusia lainnya. 

           Abid bangkit duduk, melakukan peregangan sebentar, kemudian berdiri sambil membawa bantalnya. Seperti umumnya santri yang tidur di aula, ia berkewajiban mengembalikan perangkat tidurnya sendiri ke kamar, berbeda dengan teman-teman yang tidur di kamar, yang bisa langsung bangun, dan menyerahkan pengerapian ke pihak yang bertugas piket. Ia semalam mendaras hafalannya, bersama dengan Ian, di samping Abdi yang mengerjakan tugas perkuliahannya. 

           “Hoooaahhh….” sambil berjalan, Abid sesekali masih menguap. Ia berhenti sebentar ketika hendak menaiki tangga. Ia melemparkan bantalnya ke lantai, meninting sarungnya sedikit ke atas. Masuk ke kamar mandi. 

           Beberapa detik saja mungkin, hanya kencing. Ia kemudian keluar dan mengambil wudhu di tempat wudhu depan kamar mandi. 

           “Lah, sudah bangun, Bid?” sapa Ian yang datang dari lantai dua. 

           “Hmmm….” Abid menoleh. Ia mengangguk, sambil menyapa, 

“Oh, halo, Yan.” kemudian mulai membasuh mukanya. 

           Ian masuk ke aula, mengambil Al-Qur’an, sementara Abid menyelesaikan wudhunya. Ia berdo’a sebentar sambil menghadap kiblat, baru setelah itu mengambil bantalnya kembali dan mulai menaiki tangga. Ian sudah duduk bersila di tepi pintu aula. Membaca ta’awudz, pembukaan fatihah sekaligus sebagai hadiah untuk sosok-sosok luar biasa yang akan menambah kekuatannya. Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, sahabat-sahabatnya, Imam Qiro’ahnya, Imam Ashim bin Abi Najud dan rawinya, Imam Hafs bin Sulaiman, ulama-ulama’, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Walisongo, Simbah Kyai Arwani Amin dan istrinya, Naqiyyul Khod, serta guru-guru luar biasa, dan sosok-sosok lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 

           CKREK….

Salah satu suara legendaris di pondok terdengar. Walaupun pelan, namun di tengah malam yang sangat hening dan tenang, serta pendengaran yang entah kenapa tiba-tiba tajam, Ian dan Abid benar-benar terkejut mendengarnya. Itu suara pintu dapur. Ian menutup Al-Qur’annya dan segera mengambil langkah cepat ke sana. Begitu pula dengan Abid, ia kembali turun, dan sedikit berlari. 

Ternyata ada Abdi sedang mengambil makan yang baru saja jadi. 

“Lah, Di, sarapanmu awal banget?” tanya Abid. 

Sementara Ian tertawa, dengan suara yang pelan tentunya. 

“Hahaha… Anjir, dirimu beneran puasa, Di? Langsung, ik. Puasa apa? Dalail?” 

“Hah? Puasa? Puasa apa dirimu, Di?” 

“Cuma puasa Daud saja, Bid.” jawab Abdi pelan. 

“Heh, sejak kapan? Kayaknya sebelum ke sini, dirimu nggak puasa.” 

“Alah, Bid. Itu, lho, yang kemarin. Waktu futsal kan dia menghadap Pak Kyai. Terus dikasih titah puasa buat ceweknya. Anjirrr… langsung praktek. Hahaha… mantap emang dirimu, Di.” 

“Hahaha.. Oalah, yang itu, tho.” Abid baru ngeh. 

“Jadi, dirimu benar-benar ingin menikahinya?” tanya Abid dan Ian, sambil berusaha menahan tawa. 

“Apa yang lucu, heh?” 

“Nggak, nggak ada. Ya?” Ian menoleh ke Abid. Kawan seangaktannya itu mengangguk. 

“Iya, Di. Josss… .” Abid mengacungkan jempol. 

“Puasa dalail, Di?”

“Enggak, lah, Bid. Tad ikan aku sudah bilang kalau cuma puasa Daud. Gimana sih?” 

“Oh iya, deng. Hehehe….”

“Oalah, lah berarti ndawud, Di?” tanya Ian lebih sopan. 

Abdi mengangguk patah-patah.

***

Shubuhnya, seluruh santri membaca maulid bersama. Sungguh menakjubkan sekali. Demi menyambut detik-detik kelahiran Baginda Nabi Muhammad, Pondok ini mengadakan maulid satu hari dua kali, waktu malam sehabis Shubuh dan waktu malam ba’da Maghrib. Kemudian mengganti jadwal mengaji Al-Qur'an di pagi hari ke siang hari. 

Benar-benar meriah sekali. Sejak jam lima, hingga setengah tujuh. Tidak terlalu lama. Supaya para santri yang masih bersekolah masih sempat mengikuti hingga selesai. Walaupun ada beberapa yang mengantuk, kepalanya naik turun. Namun, perasaan tentram itu tetap datang, masuk ke dalam relung jiwa kepada semuanya yang menyambut dengan penuh bahagia. 

“Heh, Abdi puasa, oi.” seru Ian pada salah satu santri yang sedang membagikan jajanan maulid. Ia melambai pada santri itu. 

“Jajanannya Abdi biar tak makan.” 

“Lho, Mas. Jenengan puasa apa?” tanya Tini yang ada di sebelah Abdi. 

“Puasa Tresno.” seru Ian pada Tini. 

“Eh, apa sih kok ikut-ikutan? Lagian, mana ada puasa tresno,” Tini membalas sebal.

Lihat selengkapnya