Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #35

Bab 35

      Setelah berkendara begitu lama, dari pagi hari yang masih setengah terang, sampai matahari terbenam, dengan beberapa kali istirahat di swalayan tepi jalan, menyaksikan persawahan, rumah-rumah, kemudian hingga keluar provinsi, dan pemandangan di sekitar semakin canggih dan megah. Gedung-gedung menjulang begitu tinggi. Panas siang hari semakin mengerikan. Menyengat kulit. Membuat kepala di dalam helm, dan seluruh tubuh gerah. Udara yang semakin buruk, dikerubungi asap-asap pabrik yang tidak sehat. Abdi sesekali kembali berhenti di swalayan. Kadang membeli jajanan dan minuman untuk melayani perut. Terkadang memang hanya berhenti karena kelelahan. 

           “Huufftt… anjir, ternyata lelah juga, ya.” gerutu Abdi. Ia menghela nafas berkali-kali. Memijat pundaknya yang terasa pegal sekali menggendong tas. Kedua tangannya yang kelelahan menggenggam erat stang motor. Kepalanya yang kegerahan, juga lelah dibungkus helm. 

           “Hoooaahhhh….” Abdi menguap. Yap, nampaknya perjalanan ini harus ditunda terlebih dahulu. Abdi benar-benar mengapresiasi Abid yang mampu mengantarkannya kemarin hanya dalam dua kali beristirahat. Bahkan, ia mampu menjaga keseimbangan ketika Abdi tertidur di tengah perjalanan. 

           Setelah mengumpulkan niat dan tenaga kembali, Abdi akhirnya naik lagi ke motor. Ia membuka ponselnya, membuka aplikasi peta, dan mencari masjid atau musholla terdekat. 

           “Hoooaaahhhh….” Abdi kembali menguap. 

           Ia menyalakan mesin. Kemudian melaju dengan pelan menuju masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari sana. 

           ***

           Allahuakbar… Allahuakbar…

Suara adzan merdu menggema di telinga Abdi, membangunkannya dari tidur. Abdi kali ini tidak bermimpi. Ia benar-benar tertidur, nyaman, dan terbangun ketika adzan Shubuh. Akhirnya, setelah sekian lama, tidurnya di malam hari berjalan dengan sangat baik. Lancar. Nyenyak. Nyaman. 

Allahuakbar… Allahuakbar…

Suaranya menenangkan sekali. Walaupun tidak terlalu sejuk ketika pertama kalinya tiba di pondok dahulu. Saat itu, rasanya begitu nyaman. Rindu yang ditimbun untuk waktu yang lama terobati. Disejukkan dengan suara yang merdu, dihangatkan dengan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Abdi tidak tahu alasannya, mengapa mendengar adzan di kotanya, di Pondok Kudus, saat ini, dan di Ibu Kota terasa begitu berbeda. 

Seorang marbot masjid berteriak-teriak ketika adzan Shubuh selesai. Ia membawa sajadah, dan menggebukkannya pada orang-orang yang masih terkulai nyenyak, bahkan setelah adzan merdu itu dikumandangkan, ditambah dengan bel yang sangat berisik. 

“Ayo! Bangun! Bangun!” Pak Marbot memecut pelan seseorang yang masih tertidur dengan sajadahnya. 

Abdi pun bangkit. Seperti adatnya orang-orang yang bangun tidur, ia merenggangkan beberapa bagian tubuh, hingga akhirnya melangkahkan kakinya dengan gontai menuju tempat wudhu. Kolam air yang menjadi pembatas membasahi kakinya, membuat gemetar dari bawah hingga ke ujung rambutnya. Abdi berbelok ke kamar mandi, membuang air kecil. Sampai akhirnya, ia membasuh wajahnya dengan air wudhu yang sangat sejuk. Rasa adem tidak hanya membasuh mukanya, namun seluruh jiwanya. Ketentraman itu ternyata tidak harus ia datangi di Kota Santri. Ketentraman itu akan tetap ada, selama dirinya masih mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan mejauhi semua yang telah dilarang oleh-Nya. Namun, itu tetap tidak memungkiri, bahwa ketenangan di Kota Santri tetap yang terbaik bagi dirinya. 

Nadhira  : halo teman-teman, mau mengabarkan bahwa perkuliahan hari ini libur dulu. terimakasih 🙏

           Tidak ada jawaban dari teman-teman lainnya. Abdi sudah menduga. Lagipula, jam tujuh saja masih sedikit yang terbangun, apalagi di waktu shubuh begini, waktu di mana Tio, juga mungkin kebanyakan teman lainnya, juga kebanyakan orang-orang di dunia ini yang jam tidurnya tidak sehat, mereka baru beranjak tidur.

Abdi menekan pesan Nadhira, lantas memilih untuk membalas chat secara pribadi

Abdi     : apa ini berarti nanti kuliahnya libur, Ra? 

Nadhira~ : iya Abdi.

Nadhira~ : emang Abdi udah pulang?

Abdi     : belum, tapi ini kayaknya sebentar lagi sampai Ibu Kota

Nadhira~ : oh, hati-hati ya, Abdi

Nadhira~ : pelan-pelan aja naik motornya, kuliahnya juga libur kok

Abdi     : iya, Ra

Lihat selengkapnya