Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #36

Bab 36

Langit-langit putih bersih. Dinding di kanan kiri depan belakang juga putih bersih. Lampu ruangan terang benderang. Menyilaukan kedua mata. Atmosfer begitu pengap. Suasana menegangkan. Seluruh ruangan dipenuhi bau obat-obatan. Bau yang sangat khas. Menyengat hingga bagian terdalam hidung. Dua buah gorden terpasang di dua sisi ruangan, memberikan sebuah ruang khusus untuk dua ranjang. Satu ranjang di sisi kiri kosong. Gordennya tertutup. Sementara di sisi kanan, Abdi tergeletak di sana. Tak sadarkan diri. Entah bermimpi apa, mukanya mengkerut. Rasa khawatir, ketakutan, panik terpampang jelas di sana. Tubuhnya nampak mengenaskan. Kaki kanannya di balut perban, begitu pula kepalanya. Tangan kanannya berada di atas perut dalam keadaan digips. Malang nian nasib yang menimpanya. 

Di dalam ruangan itu, lima orang terduduk di masing-masing tempatnya. Ada Mas Son dan Mas Satria yang duduk bersandar tembok di dekat pintu. Mereka tertidur, kepala keduanya saling timpang tindih. Tio berada di tembok bagian lainnya. Kakinya berselonjor dan kepalanya terkulai ke depan. Ada pula Rijal yang duduk bersila dengan kepalanya turun drastis. Mengorok. Benar-benar kelelahan. Sementara semuanya dalam keadaan tidak sadar, di dekat Abdi, dengan sebuah kursi, duduk Hartigon yang kepalanya naik turun tidak beraturan. Matanya tertutup pelan-pelan, kemudian langsung kembali terbuka. Ia berusaha mati-matian mempertahankan kesadarannya. 

“Hei, di mana Abdi?” dua orang perempuan dengan penuh kekhawatiran berseru, memasuki ruangan dengan mendorong pintu kencang. Mengagetkan seluruh makhluk yang ada di sana. Tio, Rijal, Hartigon, Mas Satria, dan Mas Son seketika terbangun.

“Ada apa, Lea?” tanya Rijal mendapati perempuannya yang datang tiba-tiba dengan kekhawatiran yang berlebihan. Di hatinya, terbesit rasa cemburu. 

“Apakah Abdi benar-benar kecelakaan?” tanya Alea pada Rijal, mengabaikan pertanyaan pacarnya. 

Tio mengangguk pelan. Memberikan jawaban. 

Di sampingnya, gantian Nadhira yang bertanya, 

“Apakah benar tulangnya retak parah?” 

“Iya, Ra,” Tio kembali menjawab. Sementara Rijal hanya diam saja, masih menunggu jawaban dari Alea yang mungkin sudah dilupakan pertanyaannya. 

“LEA!! RA!!” Mas Son berseru cukup kencang, menghentikan jerit dan seru-seruan khawatir Alea dan Nadhira. 

“Kalian jangan menjerit-jerit begitu. Biarkan Abdi tenang!” ucapnya dengan kewibawaan sambil menunjuk Abdi yang terbaring masih tak sadarkan diri. 

“Iya, Mas,” keduanya mengangguk lemah.  

“Kasihan, ya, Abdi,” ucap Nadhira pelan pada Alea. Mereka berdua kemudian duduk di sisi lain lagi dari Mas Son, Mas Satria, Rijal, dan Tio. Keduanya berbincang, bersedih atas kawan laki-laki dengan gynophobia yang baru saja sembuh itu. Di sisi lain, Rijal masih memperhatikan Alea, yang sama sekali tidak membalas perhatiannya sejak perempuan cantik saudari seperguruan Abdi itu masuk ke dalam ruangan. 

Di penghujung siang hari, ruangan itu penuh. Kawan-kawan Abdi satu kelas, teman-teman dari kelas lain yang pernah ia bantai dalam lapangan sepak bola digital, juga dari orang-orang organisasi menjenguknya. Hampir semuanya ada di sana. Kecuali Sekar. Sampai ruangan itu penuh. Beberapa dari mereka akhirnya ijin pulang, memberikan ruang untuk teman-teman lainnya. Abdi tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Beberapa tamu lainnya pun pamit pulang, hendak melaksanakan kesibukannya masing-masing. Menyisakan penunggu yang sedari awal sudah ada di sana, Mas Son, Mas Satria, Hartigon, Rijal, Tio, dan ditambahi dengan dua perempuan yang cukup akrab dengan Abdi, Alea dan Nadhira, yang sejak pagi datang dengan histeris.

Waktu terus berjalan. Terasa lambat. Setiap menitnya seperti merangkak. Sekitar dua jam kemudian, 

Allahu akbar Allahu akbar

Allahu akbar Allahu akbar 

Adzan maghrib berkumandang. Langit di luar sana sudah mulai gelap. Sang mentari pergi lebih jauh ke bagian barat bumi, nampak tubuhnya masih sedikit di ufuk-ufuk sana. Memberikan cahaya jingga yang estetik. Indah nan cantik. Nampak mempesona. Namun, kali ini, Tio dan kawan-kawan lainnya tidak mengabadikannya di dalam status. Mereka masih terduduk, menunggu kawannya yang baru saja pulang dari Kota Santri malah tertimpa musibah bertubi-tubi itu. Naas sekali nasibnya. Tio sempat membayangkannya. Menggambarkan sosok Sekar sebagai Aiza. Ia yang sakit hati, naik motor kencang dan berakhir kecelakaan. Kaki dibalut, tangan digips, kepala bocor. Tio menggeleng kuat-kuat. Membayangkannya saja, seluruh tubuhnya sudah merinding. Gemetar ketakutan. 

Asyhadu alla ilaha illallah

Asyhadu alla ilaha illallah

Mata-mata yang terpejam mulai terbuka. Kesadaran mereka akhirnya kembali setelah beristirahat yang cukup. Pandangan semuanya langsung tertuju ke manusia naas yang terbaring lemah di atas ranjang. Masih sama saja. Kesadarannya masih belum pulih. Mata Abdi masih terpejam, dengan mukanya yang terlihat begitu kasihan. 

Namun, 

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

Jemari di tangan kanan Abdi yang digips bergerak pelan. Semuanya terhenyak seketika. Gerakan kecil itu memberi harapan pada mereka semua. Wajah lelah mereka seketika sirna. Kembali dihidupkan dengan asa. 

Akhirnya, 

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

Mata Abdi terbuka. 

“ABDI SADAR!! ABDI SADAR!!” Alea menjerit-jerit senang, menguapkan sisa-sisa ketegangan. Membuat ruangan itu penuh dengan rasa bahagia. Semangat. Harapan. Ia meneriaki kawan-kawan lainnya, yang padahal sudah menyaksikannya sendiri. 

Lihat selengkapnya