“Aaaaa…” Abdi membuka mulutnya lebar. Sebuah sendok dengan suapan nasi, dengan tambahan sedikit lauk pauk terbang pelan mendarat ke dalam sana. Abdi kemudian mengunyah suapan itu. “
Pelan-pelan saja, Di!” perintah Alea sambil menyiapkan suapan nasi berikurtnya.
"Lhaapahr, Lea,” ucapnya tidak jelas. Mulutnya penuh. Ia mengunyah dengan cepat.
“Makanya, kemarin itu makan, jangan malah merokok,” Alea berseru kesal. Piring makanan Abdi malah ia letakkan pada meja di samping ranjang Abdi. Laki-laki itu menatap melas makanan yang dijauhkan darinya.
“Kamu kemarin kok kepikiran merokok kenapa? Hah?!” Alea malah kembali memarahinya.
Abdi menunduk dalam. Merasa bersalah dengan rasa perut yang keroncongan. Sedikit lucu melihatnya yang sesekali melirik piring berisi makanan yang nampak begitu menggoda. Saat ini, ia masih sakit. Teman-teman lainnya bergantian untuk menjaga Abdi. Menyuapinya makan, menemaninya pergi ke kamar mandi, dan senantiasa ada untuknya apabila dia memerlukan sesuatu.
Kebetulan saat ini, Alea dan Rijal lah mendapatkan jatah jaga Abdi. Tangan kanan mahasiswa yang akhirnya sembuh dari gynophobia itu masih dalam keadaan digips. Walaupun perban di kepalanya telah dilepas dan beberapa sobekan di kaki juga telah pulih, namun tulang retak kompleks nampaknya sembuh lebih lama. Namun, Alea tidak sungkan untuk menyuapinya. Ia melakukannya dengan sukarela, bahkan bahagia. Bahkan, ketika bukan jatahnya menjaga, namun karena dia sedang kosong, Alea datang berkunjung, untuk sekedar menengok saudara seperguruannya itu, atau terkadang malah menggantikan tugas menyuapinya. Tentu saja Alea tidak akan mendapat jatah menemaninya ke kamar mandi.
“Kamu berpikir bahwa kamu bisa bunuh diri dengan halal begitu, Di? Heh?! Mentang-mentang merokok membunuhmu, dan hukum rokok itu ada yang makruh. Jadi, kamu boleh bunuh diri dengan merokok begitu?” tanya Alea.