Angkasa nampak tidak bersahabat. Pemandangan di atas sana tidak cerah. Gelap. Dengan awan-awan kumolonimbus berkumpul menjadi pemandangan yang membuat orang-orang was-was. Namun, sejak tadi pagi, benda-benda berisi air, halilintar, dan berbagai marabahaya dan rahmat lainnya itu hanya bertengger di sana. Bahkan sampai siang, hujan tak kunjung turun.
“Bukankah ini bagus, Yo. Ibu Kota jadinya tidak panas. Adem, tentram,” ujar Abdi memberikan pandangan positif.
“Iya, Di. Memang begitu. Tapi, lebih banyak yang nggak enaknya,” Tio membalas.
“Iya, Di. Kamu tahu, kan, Ibu Kota kalau panasnya mengerikan. Bahkan ya, kalau aku cuci baju, dijemur satu jam saja sudah kering. Jadi, kita biasanya memang menumpuk baju dulu. Nah, kebetulan, hari ini itu adalah jadwalnya. Baju kotorku sudah menumpuk, dan ini yang terakhir,” Rijal memegang bajunya.
“Kalau begini, kan, aku tidak bisa mencuci, Di. Besok aku mau berangkat kuliah pakai apa?” imbuhnya bertanya.
“Lah, bukankah itu salahmu karena suka menunda-nunda. Senang sekali melakukan sesuatu kalau sudah menumpuk begitu,” ujar Abdi sama sekali tidak membalas permasalahan Rijal.
“Alah, Di, Di. Akunya tanya apa, malah dijawab apa. Kau itu gimana, sih?” seru Rijal tidak senang.
Saat ini, sudah semester tiga. Setidaknya waktu untuk mereka semua. Abdi terpaksa mengulang beberapa mata kuliah di semester satu karena ketika kecelakaan itu, dia jadi tidak bisa mengikuti beberapa UAS. Beberapa dari dosen ada yang baik hati memberikan bentuk ujian lain, beberapa ada yang meluluskan begitu saja, tipe dosen yang bodo amat, yang penting digaji. Ada pula yang menilai Abdi dengan keaktifannya selama ini, menjadi pengganti nilai UAS. Namun, tetap saja ada yang harus mengulang. Untung saja, hanya dua mata kuliah.