Aku Amaira Callena Zephyr. Jika menjadi tunangan pangeran adalah sebuah keberuntungan yang sangat berharga, maka itu berarti Aku sudah menghabiskan semua stok keberuntunganku untuk seumur hidup. Namun, jika menjadi tunangan putra mahkota adalah sebuah kesialan, itu berarti kesialan-kesialan lain menungguku didepan sana.
Sudah satu semester sejak Aku mendapatkan posisi yang diidam-idamkan seluruh gadis di negeri ini. Dan selama itu pula Aku tidak pernah benar-benar berbicara dengan Giovi, atau yang lebih akrab di sapa Gio.
Laki-laki itu selalu sibuk dengan segala kegiatannya sebagai putra mahkota dan Aku sibuk dengan buku-buku sejarah, tata krama, politik, dan ekonomi kerajaan yang harus Aku pelajari setiap harinya. Aku selalu melihat Gio di sekolah, bahkan beberapa kali kami sering berpapasan ketika Aku sedang membolos menuju kantin, tapi laki-laki aneh itu tidak pernah menyapaku. Ia hanya memberikan tatapan merendahkan seperti yang biasa Ia lakukan ketika kami berpapasan di lorong istana.
“Pangeran Gio,” sapaku saat sampai di lorong kelas dimana Ia menungguku sambil berdiri tegap disana.
Ia menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan seperti biasanya. Entahlah, sorot matanya itu sangat kompleks. “Lo habis dari mana aja?”
“Lapangan,” jawabku cepat sambil menunjuk lapangan dibawah yang masih ramai.
“Lo main basket lagi?” Entah kenapa pertanyaan ini membuatku takut. Ia seperti akan memarahiku karena bermain basket. Dengan cepat Aku menyeka dahiku yang terasa berkeringat dan berharap tampilan amburadulku tidak terlihat begitu mencolok.
“Sedikit…” cicitku pelan.
Gio kemudian berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. “Gak jelas banget,” gerutuku pelan ketika Gio sudah berjalan lima meter dari tempat awalnya berdiri.
“Ambil tas lo. Pulang sama gue hari ini,” teriaknya.
Duh, dia pasti dengar.
***
Selama perjalanan menuju istana hanya keheningan yang menyelimuti SUV hitam ini. Aku tidak berani membuka percakapan karena Aku yakin laki-laki dingin ini pasti akan risih mendengar suara cemprengku yang mengesalkan. Lagi pula, Gio juga sedang tertidur pulas dan memasang airpods dikedua telingannya.
Aku memilih melemparkan pandanganku ke luar jendela mobil dimana Aku mendapati Istana Kerajaan Florus yang megah berlatarkan pegunangan Florien yang hijau. Aku tidak pernah bisa berhenti mengagumi pemandangan itu sejak pertama kali tiba di negara kelahiranku ini.
Jadi seperti ini, Aku memang warga asli Florus. Namun, ayahku adalah seorang diplomat, begitu juga dengan kakek, paman, dan tanteku. Aku berasal dari keluarga diplomat yang jarang sekali menetap di Florus atau negara lain dalam waktu yang lama. Aku sendiri tidak pernah ke Florus sebelumnya sampai Aku pindah ke sini.
Sejak kecil Aku hidup nomaden dari negara satu ke negara lain. Berpindah-pindah sekolah dan beberapa kali mengikuti home schooling. Bertemu dan berteman dengan banyak orang. Mengenal dan melihat banyak budaya yang berbeda. Menyaksikan keajaiban dunia. Tapi Aku tidak pernah merasa benar-benar pulang sampai tiba di Florus.
Dan semua itu dikacaukan oleh pertuanangan menyebalkan ini!!!
Aku tidak tahu dari mana tercetusnya ide oleh para dewan kerajaan untuk menjodohkanku dengan Pangeran Gio. Aku bahkan tidak mengenal negara ini dengan baik walaupun ini memang tanah kelahiranku. Dan lebih parahnya lagi tawaran menjadi tunangan putra mahkota tidak bisa ditolak. Aku tidak tahu hukum adat mana yang mengikat itu, tapi ini tidak masuk akal. Gila. Diluar nalar.
“Lo mikirin apa sih? Sampai mukul-mukul jok mobil.”
“Astaga astaga!!” latahku keluar ketika mendengar barinton rendahnya. “Eh maaf, gue emang suka latah kalo kaget,” jelasku ketika raut wajah Gio berubah lagi. Yang awalnya terlihat risih kini terkejut.
“Lo gak capek?” tanyanya yang membuatku sontak bertaka, “Hah?”
“Lo gak capek habis main basket? Kenapa gak tidur aja selama perjalanan, lumayan setengah jam bisa istirahat.” Aku bersumpah. Aku bersumpah demi rasi bintang orion yang bahkan Aku tidak pernah hafal bentuknya, jika ini adalah kalimat terpanjang yang Gio pernah katakana kepadaku.
“Eh- anu, itu tadi-“ Aku gelagapan mencari jawaban untuk percakapan kami yang paling manusiawi ini, tetapi dengan cepat dia memotongnya.
“Ya udah, kalo lo gak mau tidur. Tapi jangan berisik.”
“O-okay,” dan begitulah kawan-kawan. Nyaliku menciut dan tenggelam ke dasar Palung Mariana.
Gio kembali memasang airpods miliknya dan menutup mata. Bahkan sekarang kurang dari lima menit kami akan sampai di istana. Hmm… Dia pasti orang yang sangat menghargai waktu bukan?
Aku memperhatikkan Gio yang tertidur dalam keheningan. Bahkan supir kami mengatur suara nafasnya serendah mungkin agar pangeran menyebalkan ini tidak terbangun. Kenapa ada lelaki yang begitu menyebalkan muncul di hidupku? Memangnya apa dosaku sebelum ini ya Tuhan? Apakah dikehidupanku yang sebelumnya Aku adalah penjarah pasar beras yang tidak beradab? Atau apakah Aku adalah pelakor dari zaman Kerajaan Majapahit yang terletak di Indonesia? Jika memang iya, Aku minta ampun ya Tuhan. Dan tolong singkirkan mahkluk menyebalkan ini dari hidupku. Walaupun nantinya Aku akan menyesal karena kehilangan satu pemandangan menyejukkan mata.
Iya, Gio memang tampan. Sangat tampan. Tidak ada yang bisa menandingi ketampanannya di negara ini. Tapi jika di bawa ke Korea Selatan, ketampanannya masih kalah oleh Jung Jaehyun.
“Dimuka gue ada apaan sih? Sampai lo gak berenti liatin dari tadi.” Mata Gio masih terpejam, tapi laki-laki itu tahu jika Aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari wajahnya sejak tadi. Apakah dia pemegang ilmu sakti? Atau berkerabat dekat dengan Harry Potter?
“Gak ada apa-apa,” jawabku cepat. “Tadi gue lagi nyoba tandain muka lo, supaya selalu inget kalo lo itu manusia paling aneh yang pernah hidup di muka bumi.”
“Aneh darimana?” kini Ia sudah bangun dan memberikan tatapan menantang. “Mana lebih aneh sama cewek yang suka ngomong sendiri di depan kaca? Atau muter-muter gak jelas di lorong istana? Ketawa-ketawa sendiri di taman bunga? Mukulin jok mobil padahal gak ada angin gak ada hujan?”
Aku terkejut mendengar kalimat terpanjang ke-2 yang baru saja keluar dari mulut Gio. Dia memang sedang merendahkanku dengan ucapannya, tapi haruskah Aku tersanjung karena ternyata selam ini dia memperhatikanku?
“Lo- lo liat itu semua?” tanyaku tidak percaya.
“Iya. Dan parahnya lagi tiap hari. Masalah hidup lo seberapa banyak sih?” tanyanya nyolot.
“Iya lo pikir aja sendiri masalah hidup gue sebanyak apa!” balasku lebih nyolot.
“Gue gak punya waktu buat mikirin lo,” balasnya dengan nada lebih santai.
“Oh ya? Tapi liatin gue ada waktu?”