Kali ini kami berhasil melewati para prajurit penjaga tanpa ketahuan. Jantungku berdebar tak karuan setiap kali membayangkan kemungkinan tertangkap lagi oleh Alexandr. Jika itu terjadi, Rou pasti akan dihukum.
Aku menggeleng cepat, mencoba mengusir bayangan menakutkan yang menari di benakku. Sambil berlari menyusuri lorong yang gelap, aku mengepalkan tanganku erat-erat seolah hal itu mampu menghilangkan semua rasa cemas dan ketakutanku.
Begitu kami melewati gerbang belakang istana, angin malam yang dingin langsung menyergap tubuhku. Aku melihat seekor kuda berdiri di bawah pohon besar, setiap hembusan nafasnya mengepul bagai asap tipis di udara.
"Itu kuda yang sudah kusiapkan." Tunjuk Rou.
"Rou, kita..."
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Rou tersenyum sambil mengelus leher kuda itu dengan lembut.
"Ayo, kita berangkat," Ujar Pherouze ceria.
Aku mengerutkan alis. "Tapi Rou..."
Aku memutar kepala, menatap sekeliling. "Hanya ada satu kuda?"
Rou mengangguk ringan, senyum cerianya tak berubah. "Ya, memang hanya satu."
"Huh?" Aku mengedip beberapa kali, mencoba mencerna jawabannya.
"Aku yang akan membawamu. Dengan begitu, kita bisa lebih cepat. Lagipula, kita akan menempuh jalan tikus—kau belum pernah ke sana, bukan?"
Nada bicaranya begitu santai, seolah-olah kami hendak pergi piknik, bukan menyelinap keluar istana di tengah malam.
Aku menghela napas, lalu tersenyum kecil padanya. "Baiklah... Aku mengerti."
"Nazel..." Rou mendekat, ekspresinya tiba-tiba serius.
"Y–ya?"
Dia melepas mantelnya dan memakaikannya padaku tanpa banyak bicara. Mantel itu masih menyisakan rasa hangat tubuh Rou.
"Udara di hutan akan sangat dingin," katanya pelan.
Aku tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Terima kasih, Rou."
Dengan bantuan Rou, aku naik ke pelana, dan dia duduk di belakangku. Kami segera menuju hutan yang berada di seberang jalan.
Kuda melaju kencang di jalan setapak, rasanya seolah aku sedang melewati lorong gelap di antara pepohonan. Desiran angin yang berhembus terdengar seperti bisikan. Angin malam yang berhembus membawa aroma hutan yang lembab dan dingin.
Sinar bulan yang remang mengintip di sela-sela pepohonan membantu kami melewati hutan yang gelap. Sejujurnya, aku sangat heran bagaimana Rou bisa mengingat jalan di dalam hutan. Karena bagiku semua pepohonan ini terlihat sama.
Juga... Aku baru tahu Rou sangat mahir berkuda.
"Sebentar lagi kita akan sampai, berpegangan yang erat," Ujarnya.
Aku berpegangan pada pelana lebih erat saat merasa Rou membuat kuda itu berlari semakin kencang. Dinginnya angin malam yang mengenai kulit tanganku membuatku bergidik.
_______
Udara tidak terlalu dingin saat kami memasuki pusat kota. Karena tujuan kami masih jauh, Rou tidak melambat. Dia membelokkan kudanya ke jalur sempit yang mengarah ke hutan.
Semakin kami masuk ke dalam hutan, udara terasa semakin dingin. Aku memeluk tubuhku agar udara tidak masuk melalui celah mantel pemberian Rou. Di antara aroma basah pepohonan, samar-samar tercium aroma tubuh Rou yang menenangkan.
Hutan yang kedua ini bahkan terasa lebih dingin, lebih gelap dan lebih sunyi dari hutan yang sebelumnya kami lewati. Cahaya bulan hampir tidak bisa menembus rimbunnya pepohonan di sini, hal itu membuatku sangat takut. Namun, Rou tetap bisa mengendalikan kuda dengan lihai dan bisa kurasakan dia begitu tenang.
"Aku baru tahu ada jalan pintas seperti ini." Bisikku, lebih untuk diriku sendiri.
Tak lama, kami keluar dari hutan dan aku langsung mengenali pemandangan yang menyambut kami—rumah-rumah kecil di kejauhan, ladang-ladang yang tampak hitam karena gelapnya malam.
Rou memperlambat langkah kudanya, membiarkan kuda itu berjalan perlahan seperti ingin menghargai keheningan.
"Maaf, aku memacu kuda terlalu cepat. Apa kau takut?" Tanyanya lembut.
Aku menggeleng. "Tidak. Kita memang harus bergegas."