Pagi Hari, Istana Barat.
Ketika kami sampai di istana, matahari sudah terbit. Rou mengantarku sampai ke depan kamar lalu pamit pergi. Akupun segera masuk ke dalam, berharap tidak ada pelayan atau penjaga yang melihatku karena pakaianku penuh debu, pasti akan menimbulkan pertanyaan.
Begitu pintu tertutup, aku menghembuskan napas lega. Aku segera berganti pakaian, lalu merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku yang empuk. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum jadwalku dimulai. Setidaknya, aku bisa beristirahat sebentar saja.
Kelopak mataku mulai menutup, tubuhku mulai melemas.
Tok! Tok! Tok!
Aku tersentak pelan.
Pintu kamar terbuka dengan pelan. Beberapa maid masuk membawa baskom porselen berisi air hangat yang mengepul tipis dan nampan perak berisi wewangian, handuk hangat, dan jubah mandi.
"Selamat pagi, Tuan Putri." Sapa seorang maid sambil membuka tirai besar yang menutupi jendela. Sinar matahari yang masuk menyambar wajahku.
"Ukh..." Aku mengeluh lirih, menutup mata dengan punggung tangan saat cahaya matahari mengenai wajahku.
"Sudah saatnya bersiap tuan putri..." Ujar maid lain yang berdiri di samping tempat tidurku.
Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai, mataku terasa perih dan tubuhku rasanya sangat lelah. Sekuat tenaga kuseret kakiku yang terasa berat.
"Apakah airnya sudah cukup hangat, tuan Putri?" Tanya maid yang tengah menuang minyak wangi ke dalam bak mandi. Aroma lembut rosemary dan vanilla segera memenuhi udara.
Aku mengangguk lemah. "Iya, cukup."
Air hangat yang membasahi kulitku terasa menenangkan. Aku menarik napas dalam-dalam menikmati hangatnya uap yang membelai wajahku. Pijatan-pijatan lembut dari tangan para maid, berulang kali hampir membuatku tertidur.
Setelah mandi, mereka mengoleskan lotion beraroma sama dengan wewangian yang kupakai saat mandi, mengeringkan rambutku dengan kain lembut, lalu mulai memilihkan gaun untuk hari ini.
"Tuan Putri ingin memakai dress seperti apa hari ini?" tanya salah satu dari mereka sambil menunjukkan beberapa pilihan.
Aku memandangi deretan gaun yang mereka bawa. Semua begitu mencolok—dengan kilau dan renda di sana-sini. Hanya satu yang tampak sederhana.
“Yang itu saja,” kataku, menunjuk gaun biru muda yang paling sederhana di antara semuanya.
“Baiklah, Tuan Putri. Mari kami bantu.”
Aku mengangguk, membiarkan mereka memakaikannya padaku dengan hati-hati. Kainnya lembut dan ringan, dingin menyentuh kulitku yang masih hangat setelah mandi.
“Silakan duduk, kami akan mulai merias anda,” ujar maid yang bertugas meriasi wajahku.
Aku duduk diam sementara tangan-tangan terampil mulai merias wajahku. Wangi bedak mawar dan sentuhan halus kuas yang menyentuh kulit membuatku hampir tertidur lagi.
"Sudah selesai. Apakah anda menyukainya, tuan putri? Kalau tidak, kami bisa mengulanginya."
Aku menatap bayanganku di cermin, wajahku tampak segar, riasan itu halus, nyaris tidak terlihat. Hanya saja, lingkar gelap di bawah mataku masih samar terlihat.
"Ini bagus. Aku menyukainya," Jawabku sambil tersenyum tipis.
"Kami senang mendengarnya. Kalau begitu, kami mohon undur diri, tuan putri."
Aku mengangguk. "Terima kasih atas kerja keras kalian."
Para maid membungkuk lalu meninggalkan kamarku. Suara pintu ditutup dengan lembut. Ruangan kembali tenang.
Dua tahun hidup di istana, dan aku masih belum terbiasa dengan semua pelayanan ini. Aku mencoba bersikap berwibawa, mencoba terlihat seperti seorang putri. Tapi entah kenapa, aku merasa tetap saja aku bukan siapa-siapa.
Tok! Tok! Tok!
“Ini aku, Pherouze. Apakah kau sudah selesai, tuan putri?”
“Rou? Masuklah. Aku sudah selesai.”
Rou membuka pintu dan berdiri di ambangnya. Sejenak kami saling menatap.
Ada yang berbeda dari Rou… atau hanya perasaanku saja?
“Nazel,” Panggilnya pelan, nada suaranya lembut—lebih lembut dari biasanya.
“Ah! Ya?” Aku terhenyak dari lamunanku.
“Kalau tidak bergegas, kita akan terlambat untuk sarapan bersama Duke Alexandr.” ujarnya mengingatkanku dengan lembut.
Deg!
“Kamu benar! Ayo kita pergi.”
Tapi kenapa… jantungku berdetak secepat ini?
_______
Ruang Makan Istana Barat