Unwanted Queen And Her Mischievous Butler

Momento Mori
Chapter #4

Busy Days

Upacara penobatanku semakin dekat. Hari-hariku penuh sesak oleh pelajaran, pertemuan, dan segala sesuatu yang harus kupersiapkan. Alexandr Dyroid bahkan memperketat jadwalku, menjejalkan lebih banyak hal untuk kupelajari.


"Sejarah, politik, dan manajemen?" Kataku mendongak menatap sepasang mata berwarna hijau pucat di seberang mejaku.


"Ya," Jawab Alexandr datar. "Aku tahu kau sudah mempelajari dasarnya. Tapi itu tidak cukup untuk seorang ratu."


Aku menelan ludah. Memang benar—banyak menteri belum sepenuhnya menerimaku. Mereka hanya menunggu satu celah untuk menjatuhkanku. Aku tak boleh memberi mereka kesempatan itu. Aku harus memahami semua hal yang berhubungan dengan tugasku... Dan menjalaninya dengan sempurna.


"Aku sudah mengatur tutor terbaik." Lanjut Alexandr. Tentu saja, seperti biasa dia sudah menyiapkan semuanya.


Aku menghela napas. “Baiklah. Kapan pelajaran tambahan ini dimulai?”


“Besok,” Ucap Alexandr ringan, kulihat ujung bibirnya terangkat sedikit.


"Besok?!" Seruku, terkejut. "Tapi... minggu depan kelas berkuda dan merangkai bunga akan selesai. Tak bisakah jadwal ini ditunda sedikit saja?"


Ya Tuhan... Alexandr apa kau ingin membuatku mati kelelahan?!


"Ada masalah, Tuan Putri?" Tanyanya dingin, menatapku dengan tatapan tajam.


“Err... Tidak ada,” Sahutku cepat, berusaha tersenyum manis. “Aku akan mempelajarinya dengan baik.”


Dia menyipitkan matanya. Menatapku tanpa berkedip, ruangan ini terasa diam. Hening.


Kenapa dia diam? Apakah aku sudah salah bicara?


“Sepertinya kau salah paham, Tuan Putri,” Katanya perlahan, lalu berjalan mendekat.


“Salah paham?” Tanyaku bingung.


Tangannya terulur, ujung jarinya menyentuh daguku, memaksaku menatap kedua mata hijau pucat miliknya. Aku bisa merasakan tubuhku menegang.


“Mempelajarinya saja tidak cukup. Kau harus menguasainya dengan nilai sempurna. Kalau kau ingin membuktikan bahwa kau pantas menjadi ratu negeri ini. Kau mengerti, tuan putriku?”


Wajahnya hanya sejengkal dariku. Nafasku tercekat.


“A—aku mengerti!” Sahutku cepat-cepat, membuang muka dengan wajah panas.


Astaga. Tak bisakah dia berbicara dengan cara biasa saja?


“Bagus.” Alexandr memandangku lama, lalu tersenyum samar—sebuah senyuman diikuti tatapan yang tak bisa kupahami.


“Aku menantikan bagaimana kau akan berjuang, Tuan Putri.” Katanya sebelum melangkah keluar ruangan.


Dia tahu pasti dua kelas akan berakhir minggu depan. Apakah dia sengaja?!



_______


“Nazel? Duke Alexandr tadi ke sini?” Tanya Rou begitu masuk, tangannya membawa setumpuk buku.


Aku menatapnya lelah. “Bagaimana kau tahu?”


“Aku berpapasan dengannya saat kembali dari perpustakaan,” Jawabnya ringan sambil meletakkan buku-buku di mejaku. “Kuduga dia ke mari.”


“Iya. Dia barusan pergi,” Desahku sambil meletakkan pena. “Dan terima kasih sudah mencarikan buku-buku ini, Rou. Maaf merepotkanmu lagi.”


Rou tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak, lalu mendekat.


“Duke Alexandr mengatakan sesuatu, ya?” Tanyanya lembut, ada kekhawatiran di nadanya.


“Huh? Kenapa kau berpikir begitu?”


“Wajahmu,”


Aku langsung menyentuh wajahku. “Wajahku? kenapa dengan wajahku?” Aku segera meraih cermin kecil dari laci.


Rou tertawa, menghentikanku dengan sentuhan lembut dipunggung tanganku. “Tak ada apa-apa. Kau cantik seperti biasa.”


Aku sedikit tersipu. Kata-katanya terasa tulus... Entah kenapa.


“Maksudku, raut wajahmu. Suasana hatimu terlihat buruk. Apa yang dikatakan Duke Alexandr?”


Aku pun bercerita—tentang jadwal tambahan, tentang dimulainya pelajaran tambahan esok hari, dan tentang semua tekanan tugas yang menghimpit.


“Kadang kupikir Alexandr itu bukan manusia, tapi iblis!” Gerutuku kesal.


Rou hanya tersenyum kecil. “Tapi aku rasa... dia melakukan semua itu karena dia peduli. Bukan hanya karena kau pewaris takhta, tapi karena... itu adalah dirimu.”


Aku menatapnya. “Aku... tidak yakin.”


Yang dia perlukan adalah Nazel Margaid. Karena hanya aku satu-satunya pewaris yang tersisa.


Suasana di ruangan menjadi hening sesaat.


“Aku akan membuatkanmu teh,” Kata Rou akhirnya, memecah keheningan.


Lihat selengkapnya