"Apa kabar, Tir ...." Kamal Surya, sahabat kecilku yang sering kujuluki si Unta. Dia datang dengan senyum khasnya, gigi gingsul yang menjadi ciri khas.
"Mal, ada apa?" sapaku. Sembari berusaha mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.
"Ada apa, ada apa? Kamu kira aku ini tamu dari kecamatan?" Kamal memalis wajah, lalu menatapku. "Kamu kenapa, jam segini ngumpet di kamar? Mau bertelur?" Tawanya meledak. Tetapi dengan sigap ia meminimalisir suara, "kenapa wajah kamu pucet gini, Tir? Kamu sakit?"
"Enggak ... aku sehat! Tadi malam kurang tidur sih, jadi ya gini!"
"Agak kurusan ya sekarang? Apa hidup di Jakarta bikin kamu sengsara? Hah?" Sekali lagi Kamal berusaha agar lawan bicaranya ini ikut tertawa bersamanya. Tetapi susah.
"Dasar Unta ... jerawatmu segede jagung tuh! Perawatan kek!" timpalku kesal.
"Tirta ... Tirta, kamu ini nggak berubah dari dulu. Unta, jerawat ... selalu aja bilang kaya gitu!"
"Lah memang aku masih sama."
"Tapi ada yang berubah ...." dia menatapku lekat, aku jadi takut dibuatnya. "Kamu jadi kaku dan kehilangan sisi humormu! Kamu jual?"
"Apanya yang dijual?" Semakin lama semakin tak kumengerti apa yang anak ini ucapkan.
"Lawak kamu ... kamu jual buat bertahan hidup disana? Apa jangan-jangan, selama ini kamu nggak kuliah ... tapi kamu-"
"Udah udah, bahas apasih kamu ini Mal? Kalau mau makan aku bilang ke ibu, biar diambilin."
"Jangan dong! Masa kecilku dulu udah sering ngabisin nasi ibu kamu. Sampek kamu yang kena marah!"
"Kali aja kamu pengen kaya gitu lagi."
"Tir, mancing yuk! Udah lama nih kita nggak mancing di kali." ucapnya serius. Asap rokoknya membuatku sedikit melonggarkan jarak.
"Cuaca panas, Mal ... mana ada air di kali?" bantahku.
"Justru panas ... ya kali, mancing sambil hujan hujan?"