Bau hujan. Aku mengenal bau jalanan beraspal yang panas ditimpa hujan, membuat jalanan itu tampak seperti mengeluarkan asap. Dan baunya sangat khas menurutku. Seperti besi yang telah berkarat dicampur bau bensin yang memabukkan dan sepeti bau uap panas yang keluar dari sepanci air mendidih yang dibuka tutupnya. Tidak ada yang menggambarkan betapa emosiku tercampur ketika hujan datang. Aku suka setiap tetesnya, mulai dari gerimis kecil sampai hujan deras yang membuat baju basah kuyup. Namun aku juga mengutuk hujan yang membawa kenangan pahit, sehingga membuatku termenung lama di bawah hujan.
Aku ingat bahwa hujan dan baju yang basah kuyub selalu membawaku ke dalam masalah. Pada waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku suka sekali nekad pulang ke rumah meskipun hujan turun dengan lebatnya. Sebelum aku masuk rumah, emak selalu menghadangku di pintu sambil berkacak pinggang. Emak marah-marah dan mengatakan lebih baik aku tidak usah pulang cepat daripada aku pulang dengan baju yang basah kuyup. Pada waktu itu aku tidak mengerti mengapa emak lebih memilih baju seragamku daripada aku. “Kamu masih punya telinga kan? Hah! Seragammu cuma satu. Kamu mau pakai apa besok!!!” aku sadar kalau aku salah. Namun aku hanya diam saja. Ternyata emak memikirkan baju seragamku yang cuma satu dan sekarang telah basah dan kotor. Aku ingat, emak akan sibuk pada malam harinya, naik turun ke atas pogo-pogo untuk menghangatkan baju seragamku. Lalu emak akan sibuk meniup dan mengipasi kayu-kayu bakar yang asapnya akan membumbung tinggi dan mengasapi bajuku. Dan yang kulakukan adalah berada di kamar dan pura-pura belajar, padahal aku membaca cerita tentang penyihir yang menciptakan hujan dari buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolahku yang sempit dan kotor.
Aku senang hujan. Dan aku berpikir bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangiku untuk bermain dengan hujan. Bahkan aku senang kalau besok aku tidak masuk sekolah karena aku tidak punya seragam. Bukan karena aku sakit atau alasan lain. Pernah sekali waktu, sebelum aku masuk ke sekolah dasar, aku merengek-rengek kepada emak agar diijinkan untuk hujan-hujan. Emak yang sedang menjahit tidak mempedulikan aku. Namun aku tetap merengek. Akhirnya bapak yang mengijinkanku bermain hujan, mungkin karena bapak merasa terganggu dengan rengekanku karena bapak sedang mendengarkan radio.
“Iya boleh. Tapi kamu harus lepas baju. Emak ndak punya waktu untuk mengeringkan baju-bajumu.” Aku berteriak girang sambil melepas baju yang kupakai. Aku belum mengerti tentang rasa malu. Aku hanya mengenal kebahagian bermain dengan hujan. Aku segera menuju ke tempat jatuhnya air hujan di talang bambu yang dibuat bapak untuk mengalirkan air yang menimpa atap daun rumbia. Kata bapak talang itu membuat rumah tidak bocor. Aku tidak peduli. Karena aku senang ada talang bambu. Ada aliran air hujan yang lebih besar menimpa tubuhku.
***
Aku mendengar bapak dan emak bercakap-cakap di kamar pada waktu malam hari. Kata bapak, jagung-jagung yang ada di ladang tumbang karena hujan deras semalam. Bapak menghela nafas panjang. Kecewa. Ibu mengelus pundak bapak dan menyuruh bapak untuk bersabar, ibu juga menambahkan bahwa sekarang ibu sedang menjahitkan pakaian kebaya ibu kepala desa, jadi ada cadangan. Namun bapak menjawab dengan nada tinggi bahwa uang ibu untuk makan sehari-hari, lalu bagaimana bapak bisa membayar sewa ladang. Bapak semakin sedih.
Aku ikut sedih. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanyalah anak sekolah dasar yang masih ingusan dan senang bermain hujan. Bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa saat ibu Sri, wali kelasku, mengingatkanku untuk membayar uang spp. Aku benar-benar tidak tahu.
Keesokan harinya, bapak mengajakku ke ladang. Dengan senang hati aku mengikuti bapak, karena aku bisa bermain dengan tanah berlumpur di ladang. Memegang daun-daun yang basah oleh karena embun, memetik bunga-bunga daun putri malu tanpa membuat daunnya menguncup malu dan membantu bapak memetik lombok, sayuran atau jagung.
Gundul-gundul pacul cul, gembelengan,
Nyunggi-nyunggi wakul kul, gembelenga,
Wakul nglempang segane dadi sak latar,
Wakul nglempang segane dadi sak latar.
Aku dan bapak bersenandung sepanjang perjalanan menuju ke ladang. Tangan kiri bapak menggandengku dan tangan kanannya memanggul pacul. Aku meminta bapak untuk mengajariku lagu Lir Ilir, tapi bapak bilang nanti saja, sekarang harus nyanyi lagu ini dulu sampai hafal. Aku cemberut. Namun tetap menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul. Aku tau bapak tidak pernah berbohong.