Bau Hujan

Dita Sofyani
Chapter #2

Kenangan Bersama Sahabat

Sungguh nikmat rasanya ketika berjalan berdua bersamamu sahabat. Mengingat jalan-jalan yang dulu pernah kita lalui bersama. Jalan dimana tersebar candaan, perseteruan, kenangan dan rasa iri terhadap dunia. Dimana kita yang dengan gagahnya menantang dunia dan berkata bahwa kita mampu lebih dari apa yang ada pada kita sekarang, lebih dari apa yang umumnya dunia pandang. Waktu telah memisahkan kita, namun setiap harapan, kenangan dan impian yang dulu kita bangun bersama-sama tetap melekat dalam diri kita. Melekat dalam setiap lajur mie ayam yang sedang kita nikmati dan melekat dalam setiap butiran es cream yang kita santap saat ini. Ya ini sudah menjadi ritual rutin yang kita lakukan setiap kita bertemu. Dengan mulut penuh makanan kita berlomba-lomba bercerita. Seakan-akan kita takut kehabisan waktu sebelum sempat bercerita. Tidak mengingat bahwa usia telah mengejawantahkan kita menjadi seorang wanita muda.

Aku tahu bahwa sekarang kau menjelma menjadi sosok lain yang berwibawa. Kau dewasa dengan pemikiran yang berbeda, mengubah cara pikirmu yang konvensional. Dengan lancar kau bercerita tentang kapitalisme dan politik yang ruwet, yang hanya kumengerti sebatas berita di media. Gayamu benar-benar seperti penggede Negara yang sedang berpidato. Benar-benar sahabat yang kukenal dulu, sangat antusias, optimis dan skeptis. Dengan senyum dikulum aku berkomentar dan berdecak kagum, mengetahui betapa jahatnya dunia tempatku berpijak ini. Mampu mengubahkan setiap orang yang terjun ke dalam waktu yang berbeda.

Sahabat, aku tahu kau telah berhasil sekarang, seperti yang kau katakan dahulu bahwa kesuksesan orang bukan dinilai dari berapa uang yang dimilikinya, tetapi dari berapa banyak waktu yang dicurahkan untuk mencapai kesuksesan itu. Dan aku mengerti betapa kamu termotivasi untuk menjadi lebih dari ayahmu atau lebih dari ibumu yang sekedar ibu rumah tangga. Dan kerja kerasmu membuktikan betapa besar keinginanmu untuk menjadi sukses. Ketika semua teman sedang asyik bercanda dan sibuk dengan urusan mereka sendiri, kamu malah berkutat dengan soal-soal. Dahi berkerut dan bibir bergumam, yang menunjukkan otakmu sedang berputar keras. Dan desah yang keluar dari bibirmu menunjukkan bahwa kau belum beruntung untuk memecahkan soal itu. Disaat itulah kau mengutuk dan berbicara dengan nada skeptis, mengapa banyak orang bisa dengan mudah mendapat nilai yang bagus tanpa harus belajar keras. Bahkan kau mengutuk gaya belajarku yang inkonsisten, namun nilaiku yang lebih baik darimu. Kamu mengutukku yang tidak mengerjakan soal-soal latihan ujian tetapi malah membaca novel yang sangat tebal di kelas. Dan tanpa sadar, kau menjadikanku saingan yang terbentuk secara alamiah.

Aku ingat ketika kita mengikuti lomba membuat blog antar kelas. Dengan iseng aku mencoba mengikuti lomba itu, alasan lain karena tidak ada seorangpun teman di kelas kita yang mau mengikutinya. Aku mengerjakan semua instruksi dalam lomba dengan candaan dan rasa santai, karena aku tidak menuntut apapun selain partisipasiku yang aktif. Dan aku melihat kau yang sangat berminat dengan komputer mengikuti lomba ini dengan semangat. Kau menghias blog itu sedemikian rupa dan menyunggingkan senyum tanda kau siap menerima kemenangan. Tetapi saat pengumuman lomba dikumandangkan, dahimu berkerut dan wajah kecewa tergambar disana. Kamu tidak memenangkan lomba kecil itu. Lalu kau menghampiriku dengan wajah tanpa ekspresi dan berkata kepadaku dengan nada datar. Aku ingat kamu memberiku ucapan selamat karena bisa menjadi juara harapan 1 dan yang membuatku tidak mengerti sampai sekarang adalah kau berkata kepadaku bahwa kau tidak marah dengan kemenanganku.

Ah, namun itu dulu sahabat, kau tak mengerti apa yang terjadi padaku sekarang. Keadaan telah berbalik menjadi lebih jahat daripada yang kita kira. Dan jalan yang kuambil sekarang bukanlah jalan yang kurancangkan dulu. Mungkin ketika kau tahu alur sejarah yang kuambil untuk menjadi seperti sekarang, kau akan jijik kepadaku dan mengutuk kebodohanku. Satu langkah bodoh yang membuat cita-citaku melebur bersama kenikmatan sesaat yang kudapat. Tapi sudahlah, pertemuan hari ini bukan hanya tentang aku, namun tentang kita yang telah menempuh jalan yang berbeda, hasil dari kerja keras yang berbeda pula. Aku belajar bahwa hidup ini bukanlah lotere, yang menandakan bahwa kita tidak mengetahui apa yang akan kita dapat dari sesuatu yang kita ambil. Namun suatu ungkapan membosankan kukatakan, bahwa hidup adalah pilihan.

Dan sungguh indah hari ini sahabat, mengingat bahwa kita masih sahabat, meskipun tidak setiap hari wajahmu kutatap. Tetapi kau tetaplah sama, sahabatku, orang yang kukenal dulu dengan senyum yang tulus dan semangat yang membara dalam memandang masa depan. Aku berharap bisa memandang masa depanku sepertimu. Masih boleh kan seorang single parent dengan status belum kawin mengukir masa depan bersama anak yang keluar dari tubuhnya?

Lihat selengkapnya