Bau Hujan

Dita Sofyani
Chapter #3

Mimpi Kakakku

Kakakku adalah seorang wanita yang cerdas, gesit, rajin dan memiliki kharisma kepemimpinan yang kuat. Sebagai anak pertama perempuan, kakakku sangat mengayomi aku dan adik-adikku. Selama masa kuliahnya yang padat dan berbagai kegiatan sosial yang dia ikuti, kakakku masih sempat mengurus kami bertiga. Apalagi adikku yang paling kecil berjarak 12 tahun dengan kakakku. Terasa sekali kalau kakakku menjadi seperti ibu bagi kami.

Setelah lulus kuliah pun kakakku tidak pernah mau pergi ke luar kota untuk bekerja. Dia memilih memberi les dan mengajar privat dari rumah ke rumah. Waktu aku bertanya kenapa dia tidak mencari pekerjaan yang mapan di kantor, dia hanya mengatakan tidak ingin jauh-jauh dari keluarga.

“Kalau mau gaji besar ya jangan cari di kota ini. Kota kecil ini ga mampu ngasih kita gaji yang layak, dek. Buat apa aku berkerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam tapi ga ada hasil yang significant.”

Akhirnya dia hanya mau bekerja di sebuah SD kecil di pinggiran kota. Tentu saja gaji yang dia terima tidak sebesar gaji-gaji yang telah ditawarkan oleh beberapa perusahaan. Tetapi kakakku tidak pernah sekalipun mencoba untuk berkarier ke luar kota.

Kakakku berencana menikah pada waktu berusia 25 tahun. Dia dan pacarnya sudah menjalin hubungan selama hampir enam tahun. Aku mendengar selentingan dari ibu tentang kakakku yang akan diboyong ke kota kekasihnya setelah menikah dan akan menjadi ibu rumah tangga di sana. Rencana ini pasti bukan rencananya, tapi mas Bram, pacar kakakku, punya pekerjaan yang sangat mapan dan tidak ingin kalau istrinya nanti bekerja. Tetapi mendekati hari pertunangan, kakakku membatalkan semua rencana itu. Sampai ibu benar-benar marah dan kecewa, tapi kakakku tetap teguh pada pendiriannya. Dia tidak ingin buru-buru menikah.

Tentu saja ini tidak masuk akal bagi kekasihnya itu. Usianya sangat matang untuk suatu pernikahan tetapi dia menolak dengan alasan seperti itu. Perbedaan prinsip dalam pernikahan hanya akan membuat masalah lain, Rin, jawab kakakku singkat ketika aku bertanya mengenai masalah yang sebenarnya terjadi.

Setelah itu, kakakku selalu terlihat sendiri. Tidak pernah aku tahu bahwa dia dekat dengan laki-laki lain. Kakakku hanya sibuk mengajar, mengajar dan mengurus kami bertiga. Bahkan ketika aku mulai berani membawa pacarku pulang ke rumah, kakakku tetap sendiri. Atau lebih tepatnya dia tidak memberi respon apapun kepada laki-laki yang berusaha mendekatinya. Entah lelaki seperti apa yang dia inginkan.   

Kakakku hampir berusia 28 tahun, ketika aku mengatakan kepada ibu kalau aku ingin menikah. Ibu hanya menangis tersedu-sedu. Bukan karena ini adalah berita sedih baginya, tetapi karena kakakku masih sendiri.

“Sudahlah bu, ga apa-apa kalau Rina melewati saya. Apa salahnya tho?”

Masalahnya ini adalah budaya Jawa kak. Tidak mungkin seorang adik melewati kakaknya dalam hal pernikahan. Apalagi dia perempuan. Bisa dikatakan sebagai perempuan tidak laku atau perawan tua kalau sampai hal ini terjadi.

Pernah terbersit untuk mundur dan menunggu kakakku menikah. Aku tidak mau membuatnya malu karena aku menikah terlebih dahulu. Kakakku sudah terlalu banyak berkorban untuk kami. Dan tidak masalah kalau aku juga berkorban untuknya.

Tetapi dia berbicara denganku suatu malam dan menasehatiku untuk tidak menunggunya. “Aku punya jalanku sendiri, buat apa aku memaksakan keadaan untuk menikah tapi aku ga bisa bergerak dengan bebas,” katanya dengan mimik yang serius. “Ini keinginan dan pilihanku, Rin. Percayalah.”

Kakakku menangis ketika memelukku malam itu. Dan aku benar-benar ingat bagaimana dengan sedih dia membujukku untuk tetap melanjutkan rencana ini. Ya, akhirnya aku menikah diiringi dengan bisik-bisik tetangga yang mengatakan bahwa kakakku tidak laku. Namun ini sama sekali tidak mempengaruhinya. Dia terlihat bahagia di hari pernikahanku. Kebaya merahnya semakin membuatnya cantik dan bercahaya.

Waktu berjalan dengan cepat. Kakakku masih mengajar dan aktif di suatu organisasi. Lima tahun kemudian kakakku meminta ijin kepada ibu untuk pergi ke suatu daerah di Papua Barat. Dia akan menjadi guru di daerah terpencil yang belum memiliki pendidikan yang layak. Tentu saja ini ibu tidak mengijinkan kakakku pergi. Usianya hampir 35 tahun dan belum menikah dan sekarang memutuskan untuk pergi jauh dari rumah.

Lihat selengkapnya