Aku mendongak ketika merasakan ada tangan yang menepuk pundakku. Dan dihadapanku terlihat sebuah senyuman manis dan sangat kukenal. Aku membalas senyuman itu dengan anggukan ringan dan kembali bermain game.
“Kamu bermain apa?” dia merebut joystick yang sedang ku gunakan dan menggerak-gerakkannya. Aku berusaha merebut kembali permainanku, namun dia lebih lincah dariku. Sehingga aku memilih diam dan memasang tampang pasrah. Seperti yang biasa kulakukan kalau dia sedang berbuat jahil kepadaku. Tak berapa lama dia menyerahkan joystick itu kepadaku sambil menjulurkan lidah kepadaku.
“Kalah” aku mengangkat bahu dan kembali meneruskan permainanku.
Dia adalah temanku sejak kecil. Eira namanya. Rumahnya persis berada di samping rumahku. Seringkali aku menjulurkan kepalaku melalui pintu dapur untuk melihat apakah dia ada di rumah. Kalau dia melihatku juga, pasti dia segera datang ke rumahku dan kami akan berbincang atau bermain game sampai malam. Dia polos, spontan, selalu ceria dan manis. Aku suka. Tapi aku takut kalau dia mengetahui perasaanku. Aku minder karena aku tidak sebanding dengannya.
Tiba-tiba dia mengangkat sebuah bungkusan dan menunjukkan ke hadapanku. Aku tertawa dan segera pergi ke dapur mengambil dua mangkok untuk dua porsi mie ayam yang dibawanya. Makanan kesukaan kami. Kami menyebutnya ritual. Makan mie ayam yang dibumbui sambal yang banyak dan makan krupuk yang dicelupkan ke dalam kuah mie ayam setelah mienya habis. Sungguh nikmat rasanya.
“Enak. Pasti beli di tempat biasa?” dia hanya mengangguk sambil melahap krupuknya. Aku tertawa melihatnya kepedasan, membuat bibirnya menjadi merah sekali. Dia pun juga tertawa ketika mie ayamnya sudah habis, dan mengelus perutnya tanda kalau dia sudah kenyang.
Aku kembali melanjutkan permainan. Dan dia hanya duduk saja di sampingku sambil melihat. Itulah yang selalu dia lakukan kalau dia tidak ikut bermain. Beberapa saat kemudian aku menoleh ketika dia memegang lenganku. Mata coklatnya sedang menatap lurus kepadaku dan membuatku gugup seketika. “Ada apa?” dia menggeleng. Meskipun kami berteman sejak kecil, bagiku tidak mudah memahami sifatnya yang seringkali tidak terduga. Terkadang aku melihat senyumnya tersungging di bibirnya, namun matanya sayu seperti menyimpan kesedihan. Aku juga tidak selalu bertanya apa yang terjadi, karena dia selalu menceritakan masalahnya kepadaku setelah masalah itu telah berlalu.
Kami bertatapan cukup lama, sampai akhirnya dia menunduk. Seringkali aku tidak mengerti sikapnya yang diam seperti ini. Kecanggunganku saat ini pun membuatku menunggu apa yang akan dia katakan.
. “Tolong ceritakan cerita lucu kepadaku.” Lekat-lekat aku menatap wajahnya dan memahami permintaan anehnya ini. Permintaan yang selalu dia lontarkan ketika dia sedang sedih dan butuh untuk tertawa. Aku tersenyum kepadanya dan mengangkat bahu.
“Apa ya? Aku bingung.” Dia merengut. Aku tertawa dan berpikir sejenak, mencari-cari cerita yang mampu membuatnya tertawa. Aku kembali tersenyum. Lalu aku menceritakan peristiwa yang dulu pernah kualami ketika masih SMA, ketika ada kesalahpahaman antara guru dan temanku. Sehingga menyebabkan seluruh kelas bingung dan pada hari itu tidak ada pelajaran. Itu karena temanku yang konyol karena menyampaikan informasi yang salah kepada guru bantu yang baru saja mengajar di sekolah. Dia tertawa dan menutup mulutnya ketika dia sadar kalau aku melihatnya. Terkadang aku juga tidak bisa memahaminya mengapa dia bisa sedih dan tertawa setelahnya. Itulah keunikannya, dia selalu menunjukkan sikap spontan yang tidak terduga. Lalu kami kembali terdiam.
“Kakak tingkat yang kusukai menyatakan cinta kepadaku,” katanya tiba-tiba.
Aku tersentak. Dia sangat menyukai kakak tingkatnya itu. Bahkan di setiap perbincangan kami, dia sering menceritakan kakak tingkat itu. Ingin sekali aku bahagia karena apa yang selama ini dia inginkan telah tercapai. Namun aku tidak ingin dia menjadi milik siapapun, karena aku mencintainya. ”Bagus. Kamu pasti juga menyatakan perasaanmu kan?” kataku tanpa senyuman.
“Aku menolaknya.” Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti. “Aku sadar kalau aku tidak mencintainya, hanya sebatas kagum.”
”Kagum?”