Bau Hujan

Dita Sofyani
Chapter #5

Seandainya Bulan Ada Dua

Kegelapan di kejauhan itu tampak indah dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Bintang-bintang yang membentuk pola yang indah. Terkadang aku melihat meteorid yang saling bertabrakan sehingga menimbulkan garis cahaya di langit. Bintang jatuh kata orang. Minta saja apa yang kau inginkan dan kau akan mendapatkannya. Aku menekuk lututku dan meletakkan kepalaku di atasnya. Aku tidak mempercayainya, karena semakin sering aku melihat bintang jatuh, aku merasa keinginan terbesarku semakin jauh denganku.

“Dingin ya?”

Aku melihatnya sekilas dan menggeleng. Aku sudah terbiasa dengan hawa dingin di sini, daerah lereng pegunungan yang sangat panas ketika siang hari dan dingin pada malam hari. Bahkan aku sudah terbiasa melewatkan waktuku sepanjang malam untuk mengamati bintang. Bintang-bintang itu seperti menunjukkan harapan yang muncul di tengah kegelapan.

“Aku tidak tahu harus berkata apa.”

“Tidak perlu berkata-kata, aku juga tidak membutuhkannya.”

“Kamu marah?”

“Tidak. Aku memang tidak berhak marah kan?”

Dia menghela nafas panjang. Kami terdiam dalam pikiran kami masing-masing.

“Seandainya waktu bisa berputar ya?” kataku tiba-tiba

“Kamu selalu mengatakan hal itu. Seolah-olah kamu menyalahkan keadaan.”

“Tidak. Aku tidak menyalahkan keadaan, juga keadaan kita yang hanya bisa seperti sekarang.”

Dia menundukkan kepalanya dan diam.

“Katakan kau......mencintaiku.” Dia menatap mataku dalam-dalam. Bibirku menjadi kelu dan pikiranku tidak mau kuajak untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku. Kata-kata itu menjadi tabu bagiku. Di sisi lain, aku benar-benar tidak berani untuk memastikan perasaanku. Takut menerima kenyataan bahwa aku mencintainya dan takut kehilangan dia. Posisiku sekarang sulit untuk mendefinikan hubungan kami yang orang pikir hanyalah hubungan antara dua orang sahabat.

“Meskipun aku mengatakannya apakah itu mengubah semuanya kan?” kataku akhirnya.

Dia hanya bergeming dan kembali menatap bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Tempat ini selalu menjadi favorit kami, bangku bambu yang berada di belakang rumahku. Rumahku memang berada di tanjakan jalan dan merupakan daerah tertinggi di sini, sehingga memungkinkan bagi kami untuk bisa melihat lampu-lampu kota dan bintang hanya dengan duduk di lincak tersebut. Sebelumnya kami hanya berbincang saat berada di komunitas sosial yang kami ikuti. Lalu sama-sama memikirkan masalah yang ada dan menjadi penggerak aktif di dalam komunitas. Itulah yang membuat kami sering bertemu, berdiskusi dan sering terlihat bersama. Rumahnya hanya 15 menit berjalan kaki dari rumahku, sehingga kami sering menghabiskan malam di sini sambil berbincang mengenai banyak hal. Hal inilah yang membuat kami menemukan banyak kecocokan, kesaamaan dan rasa nyaman. Awal dari semua perasaan ini muncul.

Lihat selengkapnya