Bau Hujan

Dita Sofyani
Chapter #7

Cinta Pertama

Lalu lintas sore tampak sangat padat oleh aktivitas masyarakat dari berbagai strata. Trotoar pun tampak semakin mengecil sehingga tidak mampu menampung masyarakat yang lalu lalang. Terlihat karyawan yang pulang dengan wajah lelah, berkebalikan dengan pedagang yang sepertinya tidak lelah menawarkan dagangannya. Pengemis yang semakin mengiba agar mendapatkan tambahan uang lebih banyak dan anak-anak sekolah dengan wajah kusut namun dipenuhi canda tawa, bahkan pengamen juga menyanyi dengan riang di depan pintu caffe. Pemandangan dari jendela caffe yang belum pernah kulihat sebelumnya. Jarang sekali aku menikmati sore hari di sebuah caffe yang terletak di sudut jalan. Pemandangan yang selalu kulihat adalah tulisan-tulisan yang terdisplay di layar komputer.

Aku menyeruput kopi mocca yang ternyata sangat enak. Dan kembali menekuni layar laptopku. Mencoba menulis. Seringkali dalam anganku terbersit asa untuk menjadi penulis, bukan hanya menjadi orang yang membaca dan mengedit karya orang lain. Dan kali ini dengan keyakinan seseorang yang pernah menulis puisi terbaik di kelas membuatku berani mengambil langkah untuk menulis.

Perhatianku teralih ketika terdengar sayup lagu yang indah. Sejenak aku berhenti berpikir dan membiarkan alunan melodi itu bernyanyi dalam benakku.

 

Apakah yang kau cari selama ini?

membuat pikiranmu teralih,

Hasrat dan emosimu teraduk

Bahkan membuatmu menangis

Tidak cukup puaskah kamu mencari?

Dan mengabaikan ragamu,

Membuatmu menggenggam semakin erat

Namun tak ada yang kau dapatkan

Bahkan tak juga setitik cinta

 

Aku terkesiap. Jantungku berdetak dengan keras. Aku mengenal lirik lagu ini. Aku mengenal suara ini. Dan mataku mulai mencari-cari sumber suara itu. Sampai aku terpaku pada seorang pengamen di seberang jalan yang menarik perhatian beberapa orang dengan suara merdunya. Ega. Bisikku dalam hati. Aku limbung beberapa saat, tak percaya pada penglihatan di depanku ini. Bahkan aku tidak menyadari kalau air mataku tak kuasa dibendung lagi.

Aku menangis. Dan bahuku tergoncang dengan hebatnya. Berbagai pertanyaan muncul dalam otakku. Dimana selama ini kau, Ga? Mengapa menghilang tiba-tiba dan tidak ada kabar berita selama 6 tahun? Apa yang kau lakukan di kota ini? Mengapa dalam keadaan aku telah mengubur kenangan tentangmu dalam-dalam, kau muncul di tempat yang tak terduga dan dalam keadaan tak terduga ini? Aku menyadari beberapa orang dalam caffe memandangiku, namun aku tidak peduli. Segera kuberesiku barang-barangku, menuju meja kasir dan pergi menyeberang jalan. Aku berdiri agak jauh, agar tidak menarik perhatiannya.

Suara merdunya kembali mengisi memori-memori yang hampir terhapus oleh waktu. Membuatku semakin tenggelam dalam metafora-metafora yang dulu pernah ada diantara kita. Lagu. Puisi. Bintang. Merah. Gelembung sabun. Alam. Dirinya. Diriku. Cinta. Mataku kembali berlinang ketika semua orang yang mendengarkan dia menyanyi bertepuk tangan dengan meriah. Ternyata kamu masih sama, seorang yang mampu menarik perhatian orang lain dengan mudahnya.

“Maaf, saya bukan pengamen. Saya hanya menyukai sebuah apresiasi musik.” Orang-orang pun bubar dengan bisik-bisik kekaguman dan yang berlalu lalang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Aku tetap berdiri dalam jarak yang tak begitu jauh darinya. Melihatnya duduk di trotoar dan mengobrol dengan seorang anak muda.

Lihat selengkapnya