Bau Hujan

Dita Sofyani
Chapter #8

Hati yang Baru

Hujan turun sangat deras malam ini, saya mendengar kilat menyambar dan suara deru hujan yang semakin keras. Namun saya merasa aman di tengah kumpulan kerabat yang datang berkunjung dan berbincang dengan papa. Mereka berceloteh dengan riang dan menikmati makanan yang mereka bawa sendiri. Dalam tengah percakapan pun mereka masih bertanya tentang pengalaman saya selama bersekolah di Jawa. Padahal pertanyaan itu sudah sering saya jawab karena sudah hampir sebulan saya berada di rumah. Namun saya tetap menjawab sembari menjelaskan pekerjaan saya di rumah sakit kecamatan.

“Sekarang, Awer[1] so punya bidan sandiri.[2]” Semua yang berkumpul di situ tertawa terbahak-bahak mendengar candaan pa’ade Nima sedangkan saya hanya tersenyum. Dalam hati ada sedikit rasa bangga karena saya adalah orang pertama dalam keluarga yang menuntut ilmu sampai tinggi bahkan sampai menyeberang pulau.

“Saya masih belajar dengan bidan senior di rumah sakit, pa’ade.” Mereka mengangguk tanda mengerti dan kembali memuji saya sebagai orang yang hebat dan rendah hati. Brak!!!

Kami semua menoleh ke arah pintu dan melihat sesosok tubuh jangkung namun kurus yang telah basah kuyub. Nafasnya terengah-engah dan dia sangat kusut. Dengan badan yang gemetaran dan lafal yang terbata-bata dia mengucapkan kata yang berulang-ulang “Tolong saya ibu bidan.” Saya terkesiap. Hati saya berdesir dan bibir saya terkatup rapat.

Dengan sigap papa segera menyuruhnya masuk dan memberinya handuk untuk mengeringkan badan. “Istri saya mau melahirkan sejak tadi pagi-pagi buta, namun sampai sekarang bayinya belum keluar, dan istri saya mulai lelah mengejan.” Nada bicaranya sudah mulai tenang, namun disertai nada khawatir yang kuat. Sedangkan saya masih berdiri mematung menatap sosok laki-laki di depan saya ini. Kak Andri. Kak Andri. Kak Andri. Nama itu terus terulang dalam benakku.

Dalam hati saya menangis karena kak Andri telah menikah dan akan menjadi seorang bapak. Saya hanya teringat kisah yang tersesat dalam hati saya dan tidak bisa keluar sampai sekarang. Dan pertemuan tidak terduga ini hanya membuat kisah-kisah indah itu berhamburan keluar.

***

Sekarang musim menuai padi. Di ladang sangat ramai dengan penduduk desa yang beramai-ramai datang ke sawah untuk memanen padi-padi mereka. Anak-anak kecil ramai berlarian di sekitar pematang sawah dan bermain di titila[3]. Anak-anak lelaki membawa ketapel untuk menangkap burung dan anak-anak perempuan membawa bekal makan siang untuk dimakan bersama keluarga mereka. Matahari bersinar cerah, diiringi oleh suara kicau burung yang menambah suasana bahagia di desa kami.

Begitulah suasana selama seminggu di desa kami saat panen, akan ramai dan penuh canda tawa. Namun, hari ini berbeda. Awan-awan hitam bergulung menuju arah desa kami dan langit terlihat sedikit muram. Kami mengetahui tanda ini, sehingga kami segera menyelesaikan petak sawah yang belum di panen. Saya semakin giat mengayunkan ani-ani, saya tidak ingin hujan datang sebelum batang-batang ini disimpan.

“Reta! Reta!.” Seorang laki-laki berlari tergopoh-gopoh mengahampiri saya.

“Kak Andri, bikiapa kong datang[4]?“ saya menyadari kalau pipi saya bersemu merah.

Kita[5] akan bantu pa ngana[6], bapak Reta dan ngana memanen padi. Torang[7] so selesai panen padi,” Saya mengangguk dan membiarkan dia membantu kami. Papa juga senang dengan bantuan yang datang ini. Dengan tambahan satu tenaga ini, pekerjaan kami semakin cepat selesai. Di sela-sela gerakan tangan kami, kami berbincang mengenai banyak hal, sehingga saya tahu kalau kak Andri sudah tidak memiliki ayah, dan dia harus bekerja keras untuk ibu dan tiga adiknya.

"Kita me so tara ada mama.[8]Berkebalikan dengan kakak.”

Kak Andri tersenyum, saya tahu bahwa dia berusaha menghibur saya dengan mengatakan bahwa kita harus membuktikan kepada mama dan papa kita, meskipun kita tinggal di desa, kita bisa menjadi orang yang berguna. Saya mengangguk. Namun dalam hati tetap sedih karena saya tidak pernah melihat mama sejak saya lahir. Saya perempuan dan saya yang menyebabkan mama meninggal saat melahirkan saya.

“Saya ingin jadi bidan kak, saya tidak ingin melihat ada ibu yang melahirkan lalu meninggal dunia karena melahirkan.” Pandangan mata saya berubah menjadi sayu, dan gerakan tangan saya menjadi lambat.

“Kalau begitu ngana harus belajar yang rajin agar bisa memajukan desa kita. Jangan seperti kakak yang tidak semangat sekolah.” Suara kak Andri memecah keheningan dan saya tertawa mendengar cara bicaranya yang lucu. Matanya menyipit dan bibirnya tertawa lebar, menimbulkan kesan kocak yang manis pada wajahnya. Namun dalam hati saya membenarkan kata-katanya.

Perbincangan kami terhenti saat hujan gerimis datang dan menyadarkan kami bahwa batang-batang padi harus diselamatkan dari hujan. Papa dan kak Andri segera mengangkat batang-batang padi dan membawanya ke titila. Dari kejauhan saya melihat sosoknya dari belakang, sosok lelaki yang telah membuat saya merasakan indahnya mencintai seseorang. Dia menghampiri saya dan menangkupkan tangannya di atas kepala saya, bermaksud untuk melindungi saya dari gerimis. “Reta, saya suka kamu.” Saya memandangnya sesaat dan menunduk, namun saya tersenyum dari dalam hati. Dan detik ini saya memutuskan bahwa saya menyukai hujan. Juga menyukai moment indah ini.

***

Papa membawakan tas saya dan membimbing tangan saya, karena kami melewati jalan setapak yang licin dan pematang sawah yang sempit. Terpaksa kami melewati jalan ini karena jalan ini merupakan jalan terdekat ke rumah kak Andri di ujung desa. Pantaskah saya masih memanggilnya ‘kak’, padahal sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah? Kak Andri belum mengucapkan kata-kata selain permintaan tolong tadi kepadaku. Satu sisi, saya benar-benar kecewa karena kami seperti tidak saling mengenal sebelumnya, namun di sisi lain saya lega karena saya tidak perlu mencari kata-kata yang tepat untuk berbicara dengannya. 

Semesta tidak mendukung. Hujan turun semakin deras dan membuat kami basah meskipun kami telah memakai jas hujan dan payung. Beberapa kali saya terpeleset mengikuti langkah cepat mereka, namun papa dengan sigap menopang saya. Sedangkan kak Andri sama sekali tidak terpengaruh dengan keadaan, langkahnya tetap cepat dan mantap. Saya tahu bahwa dia tidak sabar untuk segera sampai di rumah dan melihat keadaan istrinya. Benar-benar menandakan semangat seorang ayah muda yang penyanyang. Hati saya menjadi dingin karena membayangkan peristiwa yang akan saya hadapi nanti. Bias.

Kak Andri segera membuka pintu rumahnya segera setelah kami sampai di sebuah rumah yang memiliki pekarangan yang luas, dan menuntun kami menuju ke sebuah kamar. Di sana telah terbaring seorang wanita yang bertubuh mungil yang menahan sakit. Para ibu dan biang desa[9] yang berada di sampingnya berusaha menguatkan dan ada yang memijat-mijat tubuhnya. Melihat istrinya, kak Andri segera menghampiri istrinya dan mengelus kepalanya. Tatapan matanya lekat pada istrinya dan pandangan matanya memancarkan aura cinta yang kuat.

Hati saya luluh. Dengan segera saya menghampiri wanita yang tergolek lemah itu dan memeriksa keadaannya. Partus yang tertutup air seni. Itulah yang menyebabkan dia tidak kuat mengejan karena adanya air seni yang juga ingin keluar dari tubuhnya. Ini bisa terjadi karena calon ibu muda ini sudah mengalami bukaan jalan lahir sejak subuh. Itu artinya sudah lebih dari 12 jam.

Lihat selengkapnya