Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan melihat ke arah jam dinding. Sudah jam 8. Seharusnya aku segera bangun dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Namun rasanya ada sesuatu yang menahanku untuk tak segera beranjak. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh kamar, memandangnya seolah-olah ini adalah ruangan asing yang belum pernah kumasuki. Dulu kamarku sangat berantakan, benda-benda yang kumiliki selalu berserakan di lantai kamar. Ibuku pun tak pernah memarahiku karena kamarku yang selalu berantakan, hanya sekali-kali ibu mengingatkanku untuk membersihkan kamar. Tapi selebihnya ibuku tidak peduli atau aku tidak peduli apakah ibuku peduli atau tidak.
Kehidupan remajaku hanya seputar aku, diriku, duniaku dan masalahku. Aku yang suka menyendiri, diam dan memandang penuh minat pada keadaan di sekelilingku. Ya, aku suka memandang. Aku suka memandangi diriku setiap hari dan berdiri lama-lama di depan cermin. Berharap ada perbedaan ketika aku melihat pantulan bayanganku di cermin. Namun setiap kali aku melihat ke cermin, aku selalu melihat sosok yang sama, seorang anak yang biasa. Menyedihkan.
Aku suka memandangi teman-temanku yang bahagia dengan hidup mereka yang menyenangkan. Melihat mereka yang tertawa terbahak-bahak hanya karena candaan klise yang biasa. Aku suka memandangi mereka yang berjalan bergerombol, tertawa keras-keras untuk menarik perhatian. Memandang mereka yang berada di dalam toko baju sedang mematut-matut diri. Apakah menyenangkan menjadi salah satu dari mereka? Memiliki teman akrab, dibutuhkan dalam kelompok, memiliki pacar yang bisa dipamerkan kepada orang lain. Tidak sendiri seperti aku yang selalu menyendiri.
Aku juga suka memandangi temanku sejak kecil. Memandanginya ketika dia bercerita tentang ibunya yang sangat perhatian kepadanya, ayahnya yang sering mengajaknya memancing ketika hari minggu. Aku ikut tertawa dengan cerita-cerita tentang ayahnya yang jenaka dan suka bercanda. Dia tak akan tahu seperti apa keluargaku dan bagaimana rasa iriku kepadanya. Aku suka memandanginya karena dia pintar dan cantik. Semua orang menyukainya. Dia populer dan aktif di kegiatan-kegiatan sekolah. Teman-teman laki-laki di kelas suka mengajaknya mengobrol, bahkan bercanda dengannya. Tawa manjanya semakin membuatnya terlihat manis. Suara merdunya membuat semua orang suka mengobrol dengannya. Mereka tidak terlalu peduli kalau harus mengabaikanku yang duduk di sampingnya. Ketika berjalan bersamanya, teman-teman dari kelas lain akan menyapanya, mengajaknya pergi bersama atau mengundangnya ke pesta ulang tahun. Dan sekali lagi, mereka mengabaikanku yang berdiri di sampingnya. Mereka hanya memandangku sekilas atau memberiku senyuman kecil tak berarti. Aku ini bayangannya. Bayangan temanku yang memiliki segudang kelebihan. Bayangan yang sama sekali tak akan dianggap. Tidak akan dicari. Tidak akan dibutuhkan. Tidak akan berpengaruh apa-apa.
Aku pun berusaha mengabaikan mereka. Yang kukenal hanya diriku sendiri. Yang kusayangi hanya diriku sendiri. Diriku adalah temanku. Aku selalu menikmati kesendirianku, hanya ada aku dan diriku. Tak akan ada yang mengabaikanku, tak akan akan ada yang mencelaku dan diriku tak akan menolak berteman denganku. Karena diriku pun sama seperti aku yang tak punya kelebihan apa-apa. Sama-sama menyedihkan. Tetapi aku semakin kecewa dengan diriku. Diriku terlalu biasa, tak ada yang bisa dibanggakan dan tak memiliki kelebihan apapun. Keluargaku pun tak bisa ku andalkan. Hanya ada ibuku dan segudang pekerjaannya. Mungkin Tuhan pun sudah lupa denganku karena Dia sudah puas mengambil ayahku ketika umurku 10 tahun. Aku benar-benar kecewa. Kecewa dengan ibuku, kecewa dengan hidupku, kecewa dengan kelebihan teman-temanku dan kecewa dengan Tuhan. Aku mulai mengasihani diri sendiri dengan membayangkan diriku memiliki kehidupan yang menyenangkan, punya segalanya yang ku inginkan dan punya banyak teman. Ya, aku suka melamunkan kehidupan-kehidupanku yang absurb, keluar dari realita yang seharusnya kuhadapi. Namun, setidaknya aku aman dalam pikiranku, aku merasa diterima dalam khayalanku. AKU AMAN, BAHAGIA, DITERIMA DAN AKU SOSOK YANG HEBAT DALAM IMAJINASIKU.
Namun, suatu saat keadaan pasti berubah, aku tahu itu. Seperti temanku sejak kecil yang tiba-tiba berubah sibuk. Dia akan mencari-cari alasan agar tidak menemaniku ke perpustakaan, tapi selalu ada ketika teman-teman barunya mengajaknya ke kantin. Dan aku tahu, dia sekarang punya pacar. Jadi aku harus sadar bahwa waktunya telah habis untuk pacarnya dan teman-teman barunya. Setiap hari aku kembali ke rumah dengan perasaan senang, namun dengan lesu aku kembali ke sekolah keesokan harinya.
Sekarang aku menjadi lebih sering berdiri di depan cermin, aku semakin suka memandangi diriku. Aku suka mencerca diriku, memusuhinya, seakan-akan ingin melepaskan raga yang kumiliki ini. Namun aku semakin kasihan pada diriku, karena diriku telah menemaniku selama ini, diriku mau menjadi temanku dan berkhayal bersamaku. Sehingga aku melunak terhadap diriku. Aku berpikir bahwa aku harus mendadani diriku dan mulai memperhatikan diriku. Lalu aku pergi ke toko baju, memilih baju seperti yang dipunyai temanku dan mematut-matut diriku seperti mereka. Dan aku melihat temanku sejak kecil juga sedang mematut-matut diri bersama teman-teman barunya. Dia melihatku, tersenyum padaku, berjalan ke arahku dan menyapaku. Dengan kaku dan agak malu aku menjawab sapaannya, aku menyadari bahwa lama sekali aku tidak mengobrol dengan teman sejak kecilku. Namun teman-teman barunya menarik tangannya agar bisa menyingkir dari hadapanku dan aku melihat mereka tertawa ke arahku.