Dunia. Katakanlah dunia yang mereka tatap adalah dunia sejak mereka dilahirkan, dibesarkan, dan dunia dimana mereka mati; mendengar, membaca, dan melihat apa yang diberikan dari orang-orang sekitar; belajar dari guru dan pengalaman semasa hidup mereka. Kendati demikian, tak satu kalipun tersentuh sebuah ide radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sama. Hitam atau putih, merah atau kuning warna kulit mereka, tak lantas merubah derajat hidup mereka sehingga si hitam diperlakukan seperti sampah dan si putih diperlakukan seperti dewa.
Ketika berada di dalam dunia yang seperti itu—meski acapkali keluar-masuk kuil untuk berdo’a—meminta kepada para dewa-dewi supaya diberikan sedikit saja kekayaan, tak akan mereka kabulkan jika sudah dari lahir ditakdirkan miskin. Meminta sedikit saja untuk dihargai sebagai manusia. Bagaimana bisa jika sudah digariskan hidup menjadi budak? Bertani di bawah terik matahari yang panas, sebabkan kulit legam.
Seperti itulah ideologi yang mereka percaya; para tokoh kita percaya bahwa dewa sudah menempatkan mereka dengan takdir masing-masing. Para insan yang berdarah biru menetap di bawah naungan tingginya langit-langit kastil. Sedang para manusia hina bekerja gigih untuk mendapatkan makan, tidur tak nyenyak, karena harus memikirkan esok yang tak gamblang; harus bekerja atau berpuasa dari waktu ke waktu.
Bahkan di tempat lain di dunia ini; mereka yang sudah menganut pemerintahan baru, tetap melarang orang-orang yang bukan berkulit putih untuk ikut serta dalam berpolitik. Memilih pemimpin baru yang muda berkarya, berduit, lincah kakinya, dan tajam pemikirannya. Sedikit lebih maju pemikirannya dari negeri tempat para tokoh kita bernaung,
Carigfield. Tempat raja dan ratu memerintah para subjek-setianya sampai mereka mati dan menurunkan takhta juga harta mereka ke anak, cucu, serta cicit yang bahkan tak pernah mereka kenal dekat. Sedingin apapun hubungan budak dan tuannya, lebih dingin lagi hubungan Putri dan Raja yang tengah memimpin negara tersebut. Negara yang katanya berbudi dan berbahasa tinggi; tradisinya pun tak terputus sejak berabad-abad hingga sekarang.
Meski pemberontakan memuncak pada tahun 1925 akibat kebuasan sang Raja yang rakus akan kehormatan, hilang kepercayaan diri dan kepercayaannya kepada masyarakat. Rumor bertebaran di antara darah biru—bangsawan kaya raya, bermartabat tinggi—menjatuhkan nama Raja yang mereka sebut kejam, tak berakal mulia, dan hilang kendali diri. Karenanya, jatuh hukuman-hukuman mati di setiap kali seseorang menyebutkan keburukan sang Raja. Si miskin yang tadi tak dapat pekerjaan akhirnya memutuskan untuk mencuri berbagai harta para bangsawan, tetapi ditangkap dan dipergunakan untuk menakut-nakuti orang lain—dibunuh secara kejam, disalib dan digantung di setiap sudut kota dengan alasan penghinaan terhadap Raja yang dipalsukan untuk menekan jumlah rumor dan omong kosong tentang Raja. Penggosip membuat seolah-olah tindakan pencuri tersebut adalah salah satu protes kepada Raja membuat mata masyarakat buta—hanya memandang Yang Mulia sebagai Raja yang hilang akal dan tak berperasaan. Sang Raja yang hanya memiliki seorang putri diragukan untuk menjadi ahli warisnya; serta dorongan kuat untuk memindahkan takhta ke nama lain; meski berhubungan darah dengannya.
Sang Putri muda berumur enam belas tahun jarang sekali menginjakkan kakinya keluar dari istana kecuali untuk berkunjung ke rumah sanak saudara. Sejak kecil dibubuhi dongeng dari mulut-mulut para pelayan yang tak terpelajar. Sudah dewasa pun tak pernah memulai langkah diri berpolitik karena ayahnya mengharapkan ahli waris seorang anak berjenis kelamin laki-laki. Dengan mengendap-endap masuk ke perpustakaan istana—mempelajari dunia luar dan pemerintahan—tak banyak asam-garam dari buku-buku yang ia pelajari, belum mencukupi dirinya untuk paham sedikit-banyaknya politik; serta Ilmu-ilmu yang ia cari sendiri untuk menutupi kelemahan-kelemahannya. Namun, itu semua belum cukup menyingkap tabir ayahnya—yang tak lagi berkendali; hanya mengiya-atau-tidakkan sebuah rencana yang sudah disusun oleh pejabat-pejabat negaranya yang katanya setia, tapi berotak kosong dan hati yang tak jelas entah dari mana mereka dapatkan.