Upon The Sorrow

Riski Nasution
Chapter #2

Di Gelapnya Lembah

Dark Valley, 10 Juni 1926.

Seorang wanita muda berseragam pejabat negara berwarna cokelat sedang duduk di ruang kerja milik ratu. Ia merapihkan surat-surat berdasarkan cap surat tersebut di atas meja. Surat tersebut di susun berdasarkan alamat pengirimnya sehingga sang Ratu tak perlu bersusah diri memilih surat mana yang lebih penting. Selepas menyusun rapih surat tersebut, ia meninggalkan meja kerja tersebut dan berdiri di sudut ruangan menunggu si pemilik ruangan masuk.

Pintu terbuka. Seorang pelayan masuk ke dalam seraya tangannya menggenggam gagang pintu; menahan pintu itu terbuka. Si pelayan mempersilahkan sang Ratu untuk masuk ke dalam ruangan. Tetap menundukkan kepala sampai sang Ratu mempersilahkannya untuk meninggalkan ruangan dan menjaga pintu dari luar.

Mereka selalu mengetatkan penjagaan semenjak terjadinya penyerangan terhadap sang Ratu yang pada saat itu ia masih menjadi putri.

“Anda belum membaca surat-surat yang sudah lama tiba, Yang Mulia.”

Sang Ratu tersebut adalah Evaphine, dengan nama lengkap Evaphine Victoria Callesen Poilet. Ia memiliki rambut panjang berwarna hitam mengkilat yang disanggul rapih. Kepalanya bermahkotakan sebuah tatanan logam mulia bercampur dengan batu-batu permata. Ia tampak anggun dan mulia dengan matanya yang tajam berwarna biru. Kepalanya menghadap lurus dan raut wajah yang angkuh.

“Baiklah kau boleh meniggalkan ruanganku sekarang,” ucapnya dengan jelas, lurus dan bernada datar. Ia duduk di kursi kerjanya menghadap pintu ke luar.

Mendengar perintah sang Ratu, ia tinggalkan ruangan itu. Di pintu, ia temui seorang pria menunggu untuk di izinkan masuk. “Sir Adleath Admemor,” sapa wanita itu sebelum ia menunduk memberi hormat.

Pria tersebut adalah sepupu Evaphine—dengan nama lengkap Adleath Admemor. Seorang pria berpakaian resmi pejabat negara dengan rambut kelimis ala bangsawan tinggi dan kulit kuning bersih serta mata sipit—di kelopak matanya tak ada kerutan seperti orang lain pada umumnya—yang membuatnya tidak mirip dengan orang-orang lain yang di lahirkan di Dark Valley maupun Carigfield. Adleath memang bukanlah sepenuhnya keturunan bangsawan dan juga bukanlah keturunan ras asli Dark Valley yang merupakan ras kulit putih. Adleath adalah campuran ras kulit kuning dan kulit putih.

Meski peranakan adalah hal yang wajar di lakukan oleh orang-orang di Carigfield, akan tetapi untuk mendapatkan kehormatan sebagai manusia biasa adalah hal yang sangat sulit. Adleath beruntung bahwa dirinya adalah sepupu sang Ratu, sehingga ia dapat menjabat sebagai penasehat Evaphine.

Mereka lebih menghormati kelahiran asli kulit putih meski lahir tersebut bukan berdarah Carigfield. Ras kulit putih adalah ras yang sudah lama beranak-pinak di benua Nordic Mannlord dan juga di anggap sebagai keturunan manusia pertama dan yang berdarah yang paling mulia. Sehingga, Adleath adalah orang yang paling disingkirkan di antara keturunan bangsawan lainnya meskipun dirinya adalah sepupu dekat Evaphine.

Pandangan Adleath menerawang kosong meski dirinya menghadap wanita itu. “Miss—” ia tidak dapat menyebut nama belakang si wanita. Adleath mengetahui sedikit pun kesalahan yang diperbuat akan selalu dicela oleh Evaphine. Menyipitkan matanya menatap pelan Evaphine dengan rasa was-was. Namun tertangkap basah sudah melupakan nama salah satu pelayan.

“Rhaenore, Emilia Rhaenore.” Evaphine menimpali pria itu dengan menyebutkan nama pelayan itu. “Sampai kapan kau melupakan nama-nama pelayanku?” Ia bertanya, tetapi kepala masih menghadap kertas-kertas yang sedang dibaca. Keberadaan pria itu akan mengusik konsentrasi dirinya. Rasa kecurigaan serta rasa kebenciannya terhadap pria itu, juga rasa benci ketika pria itu mengekang dirinya akan membuatnya hilang kendali.

“Kau punya banyak pelayan. Aku tidak bisa mengingat nama-nama mereka,” jawab Adleath dengan nada jengkel. Ia mendekati meja kerja Evaphine dan meletakkan beberapa lagi surat di atas meja tersebut. Surat tersebut tentu ia susun sesuai dengan alamat kota penulisan.

Evaphine cemberut. “Oh Dewa-Dewi. Terlalu banyak surat,” keluhnya dengan surat-surat yang selalu berdatangan tiada henti itu. Sebelum ia menjadi ratu, hanya beberapa amplop saja yang tiba ke ruangan kerjanya dan sekarang surat itu selalu menggunung—menumpuk sejak dinobatkan dirinya menjadi ratu. “Tak ada kabar dari perbatasan mengenai Effraim duncan dan para pengkhianat itu?”

“Aku belum menerima berita apapun dari Mayor Kavitali. Pria tua itu memberikan kabar pada setiap pergerakan yang akan di lakukan oleh Effraim Duncan dan Cold Revolt—kaum sosialis. Mereka punya akses cepat untuk mengirimkan laporan melalui telegram atau telepon. Kau tidak perlu khawatir.”

“Apakah sebutan sosialis cocok untuk mereka? Aku tidak merasakan begitu karena mereka tak mempunyai keserupaan dengan negara tetangga kita, Adaedor yang sekarang menganut orde sosialis.”

“Mereka menyebut diri mereka seperti itu karena mereka merasa tertekan oleh orde monarki.”

“Ah, mereka tak lebih dari para pengkhianat bagiku.” Sembari melihat tangan Adleath yang memegang sebuah surat yang selalu ia nantikan. “Aku ingin membaca yang ini dahulu.” Evaphine menyambar—merebut surat tersebut dari tangan Adleath. Adleath membiarkan dirinya membuka surat tersebut selagi pria itu duduk di kursi yang berhadapan.

Adleath mengambil pisau dan membuka beberapa segel surat yang bersifat resmi untuk dibaca. Dirinya biasa membantu Evaphine membaca surat-surat tersebut lalu menentukan mana yang penting dan mana yang tidak. Juga membantu menentukan persetujuan atau penolakan jika surat itu berisikan petisi. Semua surat akan Adleath baca kecuali surat yang nampak pribadi dan ditulis menggunakan tangan. Seperti surat yang sedang di baca Evaphine sekarang, Adleath tidak akan membacanya.

Surat tersebut adalah surat yang merahasiakan nama penulisnya. Surat rahasia tersebut menceritakan sebuah perjalanan seorang prajurit perang yang beristirahat dari peperangan di sebuah kota kecil di sudut negeri. Prajurit tersebut mendapatkan seorang kekasih di sana. Namun, isi surat tersebut nampak mengecewakan kali ini.

“Sang kekasih sedang sakit-sakitan dan hanya dapat berbaring di ranjang rumah sakit.”

Evaphine kecewa dengan satu baris kalimat tersebut. Membayangkan betapa berdukanya prajurit itu, ia membalik kertas dan mendapatkan satu atau tiga paragraft lagi. Tak biasanya si penulis surat melampirkan hal lain. Namun dari yang terlihat, tiga paragraf tersebut berisi sesuatu yang penting sehingga Evaphine membacanya. Isi surat tersebut dapat di telaah sebagai berikut:

Anda pastinya sangat menginginkan ‘tuk mendengar bagaimana akhir kisah tersebut. Namun, saya sengaja untuk tidak menuliskannya langsung di surat dan semoga anda tidak kecewa. Saya bukan siapa-siapa—saya pun tak punya kedudukan penting untuk mengirimkan surat resmi kepada anda. Maka petisi ini saya selipkan di balik surat yang saya harap selalu anda baca. Karena saya mendengar kalau anda adalah penikmat cerita-cerita romansa dan penonton setia opera, saya selalu mengirimkan cerita yang bersambung ini.

Sekolah Francis Sinclair tak lagi mendapatkan donasi buku-buku baru dari Istana. Pada tahun-tahun sebelumnya, sekolah selalu menerima buku-buku tersebut. Buku-buku tersebut sangat berarti bagi para pelajar yang berkemauan ‘tuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Mungkin saja terjadi kesalahpahaman di istana sehingga buku tersebut tak lagi diterima oleh sekolah Francis Sinclair. Saya pun paham pemerintahan anda belum genap satu tahun. Dari kenyataan tersebut tentu semua raja atau ratu akan berbeda dari ratu sebelumnya. Jika Raja sebelumnya selalu mengiriman buku tersebut, anda tidak lantas harus mengirimkannya karena anda tidak serupa dengan Raja sebelumnya. Maka dari itu petisi ini saya tunjukkan untuk menggerakan hati anda supaya dapat mengirim buku-buku itu seperti yang mendiang Raja lakukan pada masa pemerintahannya.

Jika memang benar buku-buku tersebut tak ingin anda donasikan untuk sekolah Francis Sinclair, maka saya tak dapat menyembunyikan rasa kekecewaan terhadap anda. Saya akan berhenti mengirimkan anda surat sampai petisi yang saya tunjukkan anda setujui. Apabila anda menyetujui petisi ini, maka saya akan memberanikan diri untuk menunjukkan identitas asli saya dan meminta izin berkunjung ke istana.

Dari isi surat tersebut Evaphine dapat mengira-ngira sifat si penulis. Ia menggambarkan bentuk watak penulis sebagai seorang terpelajar yang bersifat lancang dan tak memiliki rasa takut kepada orang yang berkedudukan tinggi darinya. Namun, dari cerita yang si penulis miliki, sifat lembut dan gemulainya selalu muncul sehingga Evaphine juga menggambarkan si penulis adalah seorang wanita.

“Hmm, baru menulis roman saja sudah berani mengancamku,” gumam Evaphine. Namun, ia menyetujui petisi tersebut dengan menuliskan memo untuk pelayannya. Buku tersebut akan segera di donasikan lagi sesuai perintah Evaphine melalui memo tersebut.

Evaphine menaruh memo tersebut bersamaan dengan lembar kerja lain lalu memberikannya ke Adleath. Ia melanjutkan kerjanya yang akan memakan waktu, belum lagi nantinya pertemuan-pertemuan kepada pejabat negara. Ia akan merasa letih dan akhirnya tertidur di sore hari. Akan terbangun menjelang malam, setelah itu ia tak akan tertidur hingga fajar tiba.

Akhirnya Evaphine berinisiatif. “Kau lanjutkanlah baca petisi-petisi itu. Setujui saja yang mana menurutmu baik. Aku ingin beristirahat. Sepertinya aku sedang tidak sehat.”

Adleath mendesah kecewa; mengerutkan dahi melihat Evaphine. “Aku mau saja mengerjakan semuanya. Namun, kau harus tahu aku ini bukan pelayanmu. Aku adalah penasehatmu sekaligus sepupu dekatmu. Sebagai seorang ratu kau harus mau mengerjakan semua ini karena ini adalah tugasmu. Sebagai seorang penasehat aku sedang menasehatimu,” protes panjang Adleath dengan nada sedikit marah. Sejak dinobatkannya Evaphine, Adleath diangkat bersamaan pada waktu itu sebagai penasihat. Ada banyak alasan mengapa ia memilih jalan yang tidak banya ditempuh oleh keturunannya dan memilih untuk menjadi penasihat Evaphine; salah satunya adalah keinginannya untuk selalu dekat dengan gadis itu. Rasa kecemasan dan ibanya tiada henti disampaikan untuk sang Ratu, si sepupu, atas kekejaman dunia di sekitarnya.

“Aku sedang tidak enak badan, itu saja. Aku tak perlu meminta izinmu untuk beristirahat.” Evaphine tanpa mengindahkan pria itu langsung meninggalkan ruang kerja menuju kamarnya. Hatinya tak pernah tenang semenjak dinobatkan menjadi ratu. Kalakian duduk ia di taktha, senyuman tak pernah nampak lebar dan memaniskan.

“Tentu kau benar. Aku hanyalah seorang penasehat.” Ucapan-ucapan yang disampaikan hanya menjadi angin berlalu bagi gadis itu, tapi Adleath sangatlah penyabar. Sudah sejak kecil menjadi bahan ejekan orang-orang, membuatnya menjadi orang yang kuat. Mengingat semua cemoohan yang dilontarkan tak berpengaruh pada dirinya, Adleath malah bertambah kuat.

*

Heriten, Juni 1926.

Kereta kencana yang membawa Evaphine harus terpaksa berhenti ketika salah satu rodanya patah. Evaphine menunggu dibawah pohon sambil memandang sebuah kota terbentang di depannya. Sebuah kota kecil yang tak nampak memiliki batas dari tempat ia berdiri. Mungkinkah sebuah kota yang disebutkan dalam cerita dari surat kaleng tersebut? Evaphine berandai. Ia mengenal kota tersebut, tapi tak pernah berkunjung. Ia bersama pengawal setia berjalan masuk ke dalam. Orang-orang lantas menunduk dan mereka yang memiliki status lebih rendah seperti budak akan bersujud ketika menyadari kedatangan seorang Ratu. Evaphine gentar setiap kali berhadapan dengan orang yang banyak.

Sepanjang perjalanannya tak terasa nyaman. Kakinya berhenti di sebuah persimpangan yang sepi dan menemukan seorang lelaki bersama anjing; sedang duduk di bawah monumen patung. Melihat tingkah laku anjing yang menggemaskan, sebabkan hati Evaphine menjadi hangat. Si lelaki sedang bermain dengan peliharaan tanpa sadari keberadaan sang Ratu. Evaphine mendekat ke monumen terebut; dan pikirannya bertaut kepada patung tersebut. Tembaga sudah berwarna lumut, sebuah patung pria dewasa dalam bentuknya tengah memakan apel dan menggenggam punggung buku, “Francis Sinclair.”

“Francis Sinclair? Aku pernah mendengarnya,” pikirannya yang tertaut kepada patung pun bertanya untuk memastikan kebenaran. Evaphine banyak membaca buku-buku di perpustakaan istana, tapi dari kebanyakan buku yang ia baca; sangat sulit baginya untuk mengingat sebuah nama. Sehingga ia meragu akan peristiwa kala ia mengingat nama tersebut berdasarkan dari buku-buku yang pernah dibaca.

“Benar Yang Mulia. Francis Sinclair adalah profesor yang mengajarkan ilmu pengetahuan alam. Ia sendiri terpelajar di bidang astronomi.”

Mendengar jawaban si pengawal, Evaphine tak lantas bersemangat. “Astronomi? Tak pernah mengesankan bagiku. Pantas saja aku baru mendengarnya.” Evaphine berdeham saat mendekat ke pria dengan anjing yang asyik bermain.

Si lelaki baru menyadari dan langsung menunduk. “Yang Mulia,” hormatnya. Ia memeluk si anjing yang sedang menggigit sebuah bola tenis supaya Evaphine tak terusik. “Ada yang ingin Yang Mulia inginkan?” imbuhnya saat ketegangan melanda. Ketakutan yang ia tunjukkan kepada sang Ratu hanya membuat gusar keduanya.

Evaphine menggeleng. “Aku hanya terpesona oleh patung Francis Sinclair. Aku baru mengetahui siapa dirinya setelah selama ini hanya namanya yang kudengar.”

“Francis Sinclair adalah pengajar di sekolah ini. Sebelum ia meninggal, sekolah ini belum memiliki nama. Dan kami para pelajar memutuskan untuk memberikan nama sekolah sesuai dengan pendiri sekolah tersebut.”

“Ah, tentu. Seorang terpelajar yang membuka diri untuk berbagi ilmu dengan orang lain.”

Pria itu mendongak dan menatap Evaphine di matanya. Pengawal Evaphine melototinya geram. Ia menyadari bahwa sangat lancang menatap mata Evaphine secara langsung dan segera tunduk kembali. “Ma-maafkan saya, Yang Mulia. Pendekatan saya kepada orang-orang memang berbeda. Saya tak memandang siapa seorang yang sedang saya ajak bicara melalui kedudukannya. Saya menatap wajah Yang Mulia hanya untuk membuat percakapan senyaman mungkin. Namun, jika saya membuat anda tak nyaman, saya tak akan mengulanginya.”

“Tak mengapa. Bagiku sudah seharusnya manusia bersikap seperti itu. Membuat kesalahan bukanlah sesuatu yang ganjil bagi manusia.” Evaphine Tersenyum. “Dan juga dosa ringan tak lantas kuberi hukuman. Kau juga tak seperlunya meminta maaf. Dunia sudah berubah, tak lagi seperti dulu. Memang benar kedudukan tak lagi penting semenjak perang ini.” Ia mendekatkan diri dan menatap pria itu dekat. “Sebutkanlah namamu. Aku ingin tahu siapa keluargamu.”

“Dobric Jindrak Sinclair.”

Mendengar nama belakang lelaki itu, Evaphine bertanya, “Apa kau mempunyai hubungan darah dengan Francis Sinclair?”

“Tidak, Yang Mulia. Sinclair hanya margaku.”

Evaphine mengangguk sebelum kembali menatap patung Francis; memikirkan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. “Sebagai Cendekiawan tentu kau punya pandangan politik. Sebutkanlah sedikit ketidaksesuaian pada pemerintahanku dan sebutkan bagaimana kau akan memperbaikkannya? Apakah kau pendukung yang demokratis atau kau menuntut untuk mengembalikan aristokrasi seperti tradisi-tradisi yang kita miliki? Mungkin pertanyaan ini terlalu berat. Namun, ini adalah hari pertama menjejakan kaki di luar istana sudah beberapa bulan berlalu. Juga hari pertama bertemu dengan rakyatku secara dekat.”

Dobric menenggak ludah. “Maafkan jika jawaban saya akan mengecewakan. Karena, saya sudah bertahun-tahun belajar dan fokus pada bidang saya saja. Bidang saya adalah astronomi sama seperti Francis Sinclair guru saya. Kendati demikian, saya sudah sedikit banyak berpengalaman dalam kehidupan sosial. Dengan begitu saya sedikit banyak sudah memiliki pandangan politik meski tak sehebat anda, Yang Mulia. Bagi saya keadilan adalah hal yang penting dalam peradaban. Manusia selalu setara dengan manusia yang lain; dan tak punya kedudukan khusus; yang lantas bisa membuatnya bertindak semena-mena. Saya bukan pendukung sosialis ataupun aristokrat. Hanya bagi saya, manusia harus diperlakukan secara sama tak penting ia seorang dari keluarga bangsawan maupun rakyat biasa.”

Evaphine terkekeh mendengar penjelasan Pria itu. “Caramu bertutur sangat rendah diri dan bertele-tele. Apa kau tak punya pandangan khusus? Tentu semua orang meminta keadilan tak memandang kedudukan yang mereka miliki. Katakan padaku. Pentingkah kedudukanku sebagai seorang ratu, apakah perlu kita memilih pemimpin lain yang bukan tergolong bangsawan?”

Dobric menggeleng. “Saya tidak punya pendapat mengenai hal itu.”

“Meski aku nantinya akan menjadi Ratu Kejam seperti yang orang-orang katakan mengenai ayahku?” tanya Evaphine memancing jawaban yang dapat ia bantah. Dia berusaha keras untuk mencari kelemahan dari pelajar itu; untuk dapat ia rendahkan, karena Evaphine menentang ilmu pengetahuan yang dapat menyesatkan pemerintahannya. Ideologi-ideologi yang tak sejajar dengan kemonarkian menjadi hal yang Evaphine gusarkan, lantaran terciptanya Cold Revolt juga berdasarkan tindak kemanusiaan yang menentang jalannya monarki dan aristokrasi.

“Seorang raja atau ratu yang murka adalah tanda dari ketidaksetiaan rakyatnya. Mengapa Raja terdahulu murka dikarenakan para pemberontak—yang dapat dikatakan pengkhianat meminta untuk mendirikan negara mereka sendiri; sehingga terjadinya perang saudara tak terelakan. Begitulah bagi saya, seorang raja yang Murka dikarenakan ketidak-setiaan rakyatnya.”

Evaphine bergeming selepas mendengar ucapan pelajar tersebut. Selama hening, ia pun memandang ke arah pertokoan disekitar monumen tersebut tersebut. Orang-orang yang tengah berdagang juga masih sibuk membersihkan reruntuhan akibat perang. Evaphine merasa bersalah atas perang tersebut; dirinya turut andil dalam pertarungan kedua pihak tersebut.

Mengingat kembali tujuan perjalanannya, Evaphine meminta bantuan kepada pelajar tersebut. “Kereta kencana yang kukendarai tak dapat berjalan akibat roda depannya patah dan para pengawalku tak dapat mengganti roda tersebut; karena tak tersedia peralatan untuk memperbaikinya.”

Dobric mengerti Evaphine meminta pertolongannya. Namun, dirinya sendiri pun sedang dikejar oleh tanggung jawab untuk membersihkan reruntuhan di sekolah. Ia baru saja menghabiskan waktu makan siang dan mengajari anjingnya bermain dengan bola tenis. Dobric tak dapat menolak perintah sang Ratu—ia pun menunduk setuju. “Baiklah Yang Mulia. Saya akan memanggil beberapa teman dan peralatan untuk memperbaiki roda kereta kencana Yang Mulia tumpangi.”

“Baguslah kalau seperti itu. Aku akan sangat berterimakasih dan akan membalas kebaikkanmu nantinya. Kau hanya perlu mengingat hutang ini dan menagihnya kapan pun kau mau setelah aku melanjutkan perjalanan ini.”

Dobric meninggalkan Evaphine di bawah monumen untuk memanggil teman-teman sekolahnya—untuk membantu memperbaiki roda kereta kencana tersebut. Dobric membawa tiga teman lelakinya yang mengenakan apron bengkel yang kumuh. Sepertinya mereka adalah murid kelas insinyur yang paham untuk mengganti roda kereta kencana.

Salah satu jari-jari roda kereta kencana terlepas dari bingkainya, dan juga pelumas di bearing sudah tak bekerja dengan semestinya. Mereka mulai memperbaiki roda tersebut dengan memakukan kembali jari-jari dan mengganti bearing dan memberikan pelumas yang cukup.

Salah satu seorang teman mengeluhkan kekesalannya ke Dobric saat memperbaiki roda tersebut. Ia mengeluhkan mengapa sang Ratu tak menggunakan mobil atau berkendara dengan kereta. Kenapa ia harus berlama-lama menghabiskan waktu di perjalanan dengan kereta kencana. Ia tak sedang berkunjung ke sebuah pesta atau pemakaman—perjalanannya tidak sesakral itu.

Evaphine mendengar percakapan itu dan berdeham keras.

Dobric langsung menampar mulut temannya dan langsung menarik tangan temannya ke tanah. Akibat itu, si teman tunduk dan bersujud selaras dengan Dobric mengarah Evaphine. “Maafkan kami, Yang Mulia. Maafkan kami yang tak pernah diajarkan dengan ramah-tamah.”

Si teman kikuk.

Evaphine mengeraskan rahangnya. Relung hatinya sesak. “Benar untuk menggunakan kereta kencana akan lebih pantas jika berziarah ke sebuah makam. Menggunakan mobil atau berkendara dengan kereta akan membuat orang-orang gusar, aku tak ingin membuat mereka ketakutan atas hadirnya diriku di perjalanan; tak ingin mereka mengira bahwa aku sedang merencanakan peperangan. Di kala orang-orang tengah berkabung kita harus menunjukkan kesederhanaan, apalagi tujuanku berkunjung ke makam ibuku adalah kebutuhan yang ingin kupenuhi tanpa merugikan orang lain—sama sekali bukan tujuan dipolmatik untuk negara. Berziarah juga sakral bagiku.”

“Tentu berziarah adalah upacara yang sakral, Yang Mulia.” Mereka kembali memperbaiki roda tersebut. Dobric juga memotong rerumputan untuk memberikan kuda yang membawa kereta kencana itu makan. Setelah kereta kencana itu siap untuk melanjutkan perjalanan, Evaphine berbicara kepadanya.

“Aku berhutang kepada kalian. Jika kau nanti mengingat hutang ini, temui aku kapan saja setelah aku menyelesaikan ziarah ke pusara dan kembali ke istana. Aku juga akan mengingatkan penjaga kerajaan untuk menerima kalian kapanpun kalian berkeinginan untuk mengunjungi istana.”

“Saya dan teman-teman sangat bersyukur, Yang Mulia. Saya merasa derajat ini telah ditinggikan.”

Evaphine tersenyum dan menyambut tangan pengawalnya yang membantu untuk menjaga keseimbangan saat melangkah naik ke atas kereta kencana. Evaphine melirik kosong ke sudut dan berucap ke pengawalnya, “Bukankah Francis Sinclair adalah sekolah dimana penulis yang mengirim petisi tersebut?”

“Benar, Yang Mulia.”

Evaphine sedikit terheran. “Tak kusangka.” Kereta kencana berjalan dan Evaphine membenarkan posisi duduknya. Evaphine tersenyum licik. “Tak kusangka seorang pengarang cerita sebagus itu mau sekolah di kumpulan orang-orang penyembah ilmu pengetahuan yang tak beragama dan sulit berkompromi secara emosional itu. Bukankah kau setuju mereka sedikit menyedihkan? Mereka hanya memikirkan pekerjaan dan ilmu pengetahuan tanpa menghabiskan waktu untuk membebaskan batin mereka memilih. Mereka hidup seperti mesin-mesin yang mereka ciptakan, hanya untuk digunakan semata lalu mati tanpa berharap ruh mereka diberikan kesadaran lagi. Mereka tak peduli jika orang-orang akan mengingat diri mereka.”

“Pengarang cerita tersebut mungkin tak seperti yang anda telaah.”

“Mungkin saja.”

Sesampainya di tanah makam yang jauh dari istana, tak banyak yang Evaphine lakukan selama berziarah selain mengirimkan harapan-harapan ke para dewa dan para penyelamat. Kemudian, ia juga mengucap sedikit-banyaknya rindu yang sudah terpancar semenjak kepergian ibu yang disayang; sebelum ia meninggalkan satu buket bunga dan pergi kembali ke kereta kencana dengan wajah yang berduka.

Lihat selengkapnya