Heriten, 10 Oktober 1925.
Cold Revolt meminta gencatan senjata dan menolak keluar masuknya penduduk dibagian selatan negara. Gencatan senjata itu ditandai dengan kembang api riuh di langit perbatasan antara wilayah Cold Revolt dan Carigfield yang tersisa. Kembang api tersebut nampak dari beberapa kota perbatasan seperti Heriten yang menjadi pusat tempat prajurit-prajurit mencari peristirahatan juga hiburan setelah lelah berperang.
Hal pertama yang mereka—para prajurit—lakukan setelah selesai berperang adalah pergi ke kota-kota mencari kedai minuman keras dan teman wanita. Hal kedua adalah mencari tempat beristirahat meski mereka tak akan keberatan tidur dijalanan selagi ditemani minuman keras. Hal terakhir adalah tempat mereka pulang sementara selama gencatan ini berlalu.
Namun bagi Geralt, ia tak ingin pulang. Ia tak ingin kembali ke rumah kosong tersebut. Ia lebih baik tidur di kandang sapi ditemani oleh ternak daripada tidur di rumah besar yang sunyi tersebut. Ia tak punya keluarga inti selain paman dan bibinya di ibu Kota—Dark Valley. Keberadaan paman dan bibinya itu tidak membuatnya lantas ingin bernaung kepada mereka.
Sehingga ia memilih menetap di kota bernama Heriten itu sampai perang benar-benar berakhir. Ia berada dekat dengan perbatasan antara wilayah Cold Revolt dengan wilayah orde kerajaan. Heriten terkenal dengan kesunyian karena tak banyak pengunjung di sana kecuali orang-orang yang ingin menikmati minuman keras terbaik di seantero Carigfield. Kota itu juga dikenal sebagai kota pekerja. Di sana banyak hamparan kekayaan alam yang dapat digali, seperti tambang batu bara, minyak dan logam mulia; selain terkenal sebagai kota penghasil minuman keras terbesar di negeri.
Dan salah satu tempat yang sering Geralt kunjungi adalah kedai minuman. Ia mencoba banyak tempat kedai minuman untuk mencicip cita rasa yang berbeda dan juga mencari teman wanita yang tak kalah cantiknya dari wanita-wanita di kota lain.
Tak lama berganti-ganti kedai minuman setiap malamnya, ia berakhir di sebuah kedai minuman milik seorang wanita muda dan kaya raya karena ia diwarisi oleh mendiang suaminya. Si janda, berambut merah, dan berkulit putih pucat serta bintik-bintik di sekitar pipi dan hidungnya.
Geralt biasa mengunjungi kedai minuman keras juga untuk berjudi dengan teman-teman tentaranya. Namun hari itu berbeda, karena ia tak ditemani oleh temannya—hanya ia sendiri. Kehadirannya sedikit tak menyenangkan oleh pelanggan lain yang ada di sana, meski ia tak begitu peduli. Pelanggan-pelanggan tersebut adalah para tentara platoon lain yang sedang mengejar hati milik si janda kaya raya—berambut merah itu.
Di kedai minuman keras tersebut si janda sedang menuangkan wiski ke beberapa gelas. “Wiski Northen sedang kosong. Namun, Tuan bisa memesan Southern Wiski sebagai gantinya. Anda juga dapat memesan bir,” tutur janda berambut merah tersebut. “Tak perlu khawatir, bir ini saya pula yang menjaga kualitasnya,” tambahnya. Ia melirik Geralt sejak pria itu memasuki kedai tersebut. Sudah jatuh hati pada kesan pertama yang Geralt berikan, bahkan sebelum Geralt mulai bercakap.
Dari gaya Geralt berpakaian, rambut hitam kelimis yang mengkilap, rambut sekitar wajah yang rapih serta seragam tentara yang ia kenakan sangatlah pas dan sedikit mengetat menunjukkan otot-otot yang Geralt miliki. Dari cara pria itu membakar rokok tembakau yang ada dikepitan bibirnya pun membuat leleh hati si janda.
Geralt tersenyum sambil merapihkan beberapa helai rambutnya yang tergantung. “Apapun yang bisa kau tawarkan, manis. Aku tak akan menolak.”
Ditambah dengan pujian Geralt, si janda menutup bibirnya menahan senyum juga berusaha menyembunyikan gejolak asmaranya. “Ah, Tuan sungguh rendah hati.” Ia memberikan gelas berisi wiski ke Geralt. Si janda berinisiatif untuk berkenalan. “Prasha,” sebut namanya.
Ia menerima gelas berisikan wiski tersebut sambil giginya menggigit sebatang rokok. “Geralt.” Ia membakar rokok itu lagi ketika bara yang ia nyalakan menghilang; menghisapnya dalam sekali hembusan. “Saintimoux Piper,” lanjutnya.
Prasha menaikkan alisnya mendengar nama belakang Geralt disebutkan. “Oh. Saya Prasha Rochefet.” Prasha menopang dagu di tangan yang ia tegakkan dia tas bar. Ia menatap Geralt dengan tatapan nakal karena tergoda.
Geralt membulatkan bentuk bibirnya sambil mengelap bibirnya dengan ujung jempol tangan kanannya selagi jari telunjuk dan jari tengah mengapit batang rokok tersebut. “Rochefet? Baru pertama kali kudengar. Kau bukan dari negeri ini?” Ia menghisap rokok itu lagi sesudah bertanya.
Prasha menggeleng dan melepaskan tangan dari dagunya lalu mulai mengelap bar dengan kain lap yang ia taruh di bahu sebelumnya. “Saya berasal dari tempat yang dingin. Selatan dari negeri ini. Masyarakat di sini menyebutnya Adaedor.” Prasha kemudian mengambil beberapa gelas lagi dan menuangkan bir untuk pelanggan lain sambil berkata, “Saya tidak mengambil nama mantan suami saya sebagai nama belakang.”
“Mantan Suami? Apa ia menceraikanmu?” Geralt merasa diawasi oleh para pria yang duduk di meja tamu. Mereka menatap Geralt tajam.
Prasha menggeleng lagi. “Beliau gugur dalam perang.” Sambil menuangkan lagi minuman untuk orang lain.
“Dia adalah pahlawan perang. Aku turut berduka.”
Prasha tersenyum dan menggeleng. “Kalau saja beliau masih hidup sekarang. Mungkin beliau akan menghajar wajah anda. Ia sangat pencemburu.”
Giliran Geralt yang tersenyum dan mendesah. “Aku sebenarnya tak nyaman bercakap dengan wanita yang masih mengidamkan mantan atau kekasihnya yang telah tiada. Namun, jika kau berkenan menjadi temanku malam ini, aku pun mau menjadi temanmu. Bagaimana?”
“Saya selalu terbuka bagi mereka yang mau saya ajak cakap. Apakah anda termasuk mereka yang suka bercakap? Bukan maksudku bercakap yang hanya sekedar bicara omong kosong.” Tanya Prasha kembali.
Geralt menyandarkan dirinya ke bar membelakangi Prasha, tapi kepalanya masih melirik janda muda itu. “Kau sendiri, apa yang ingin kau bicarakan?”
“Anda akan mengetahuinya. Namun saya lebih senang hati mendengar anda lebih dahulu. Jika anda sudah mendapatkan sesuatu untuk dibicarakan maka saya akan mengikuti alur percakapan anda. Saya adalah orang yang lentur dalam percakapan.”
Geralt menenggak wiskinya. Menggaruk-garuk kepala memilih harus dari mana ia memulai percakapan. “Semoga kau tak akan jemu untuk apa yang akan ‘ku ceritakan. Aku—ah, sulit mengatakannya—punya banyak keinginan yang tak dapat tercapai sampai sekarang. Salah satunya menaikkan kedudukan di militer kerajaan, sehingga aku bisa bersantai tanpa harus mempertaruhkan nyawaku di medan perang. Namun, tetap menjadi terhormat di negara ini.”
“Setinggi apa kedudukan yang anda inginkan?” Prasha menyandarkan diri di rak minuman. Ia mencari-cari kekurangan Geralt untuk ia rendahkan—sedikit saja—untuk menjaga percakapan agar tidak jemu. Dalam permainan mengobrol, Prasha percaya bahwa selalu memuji seseorang hanya akan membawa percakapan tersebut ke arah yang buntu. Setidaknya ada sedikit perdebatan—tidak besar—agar percakapan tetap mengasyikan.
“Mayor? Entahlah mungkin tidak setinggi itu.” Ia menjawab pertanyaan dengan nada pelan ragu-ragu. Geralt belum mendapatkan premis yang sebenarnya ia ingin bicarakan sehingga sebuah premis lain muncul seketika.
Prasha mendapatkan sebuah ide yang muncul untuk memainkan Geralt. “Anda tak pantas menjadi Mayor dengan pemikiran seperti itu. Anda terdengar egois tanpa memikirkan prajurit-prajurit yang berada di garis depan.” Prasha memutar bola matanya. Ia bisa melihat watak rakus Geralt dari situ. Namun, ada sesuatu yang mengganjal karena dari gaya bicara Geralt; pria itu nampak tidak serius.
Geralt menghirup asap rokoknya dalam. “Kau benar. Aku tidak pantas menjadi Mayor. Aku sembarang berbicara. Sebenarnya yang kuinginkan adalah sebuah teman hidup dan rumah di pinggir pantai atau danau dan berakhirnya perang dingin antara kerajaan dan Cold Revolt.”
Prasha berhasil membuka diri Geralt. “Apa anda menuturkan hal-hal tersebut tulus dari hati anda?” Ia melanjutkan percakapan dengan bertanya dan berharap ia bisa masuk ke dalam hati Geralt melalui keinginan-keinginannya.
Geralt mengangguk. “Dari dalam hati. Tulus.”
“Seperti apa teman hidup yang anda inginkan tersebut?” Prasha menembakkan panah ke jantung Geralt. Ia sudah melempar umpan tinggal menunggu pria itu bereaksi.
“Seseorang yang bernasib sama denganku. Seorang teman yang sama-sama bertualang dan berhenti setelah menemukan teman hidupnya.”
Prasha menatap kebawah sedikit kecewa karena Geralt sudah menghadang umpannya tersebut. “Anda tak menyebutkan ciri-ciri teman hidup yang mirip dengan saya. Namun, hidup di negara asing dan membuka kedai minuman di kota kecil termasuk petualangan bagi saya.”
“Apakah kau mau menjadi teman hidupku?” Dengan nada menyindir. “Aku masih terikat kontrak dengan kerajaan. Aku masih harus menyelesaikan perang sebelum aku berhenti menjadi prajurit. Aku bisa saja suatu hari gugur di medan perang dan akhirnya kau harus ditinggal lagi seperti suamimu dulu meninggalkanmu.”
“Anda benar. Saya memang takut untuk menerima keadaan seperti itu. Saya sangat takut untuk yang kedua kalinya.” Usahanya untuk mendapatkan hati Geralt pun juga nantinya akan sia-sia.
Geralt menekan bara api di rokoknya ke asbak rokok yang teredia di bar. “Jadi marilah kita berteman saja tanpa harus mengikatkan sebuah tali cinta. Walaupun saja dirimu—oh Dewi, sangat memikat!” Seru Geralt dari balik bar itu. Ia mengedipkan sebelah mata dan menerawang si janda itu melalui gelas yang ia tunggitkan ke mulut.
Prasha tersenyum karena ia sudah mendapatkan hati Geralt. “Saya paham. Sangat paham dengan ucapan anda. Saya akan membatasi rasa penasaran dan terpesona saya terhadap anda.” Prasha mengisi gelas dengan minuman yang lebih kental dan gelap. “Namun, jangan coba-coba lari dari kedai ini dan berhenti berkunjung setelah anda menolak saya; setelah anda merayu saya. Saya akan mencari anda sampai ke ujung dunia.” Ia lalu menyodorkan gelas berisi minuman keras yang berwarna pekat tersebut.
Geralt terkekeh sambil menerima gelasnya. Ia tak tahu jelas minuman yang diisi dalam gelas tersebut. “Maafkan aku sudah merayumu. Parasmu sangatlah menawan dan aku adalah seorang pria yang tak bisa berdiam diri melihat wanita dengan rupa yang seindah dirimu. Kau seperti bunga yang kutemukan selama ku berjalan menelusuri medan perang.” Ia melipat tangan dan menghisap nafas dalam. “Aku juga tak bisa menjamin keintiman ini akan berhenti. Bisa saja malam ini ‘ku akan menciummu karena sudah tergoda dari awal bertemu.”
Prasha mendekatkan wajahnya ke Geralt. “Maukah anda mencium saya sekarang?” Tanya janda tersebut. “Anggaplah ciuman anda sebagai hutang yang harus dibayar karena sudah merayu saya.”
Geralt meminum minuman keras yang Prasha berikan sebelumnya dan memberikan tatapan dengan wajah yang merah membara. “Aku bersungguh-sungguh tak ingin mengusik dirimu; kau memang memesona. Aku juga sedang tak ingin bersaing dengan pria-pria lain yang dari tadi menatap marah ke arah kita berdua. Bisa-bisa aku babak belur sepulang dari kedai ini; selepas mencium bibirmu itu.”
Prasha terkikik. “Anda memang sedang bersungguh-sungguh. Apalah daya seorang penjaga kedai minuman keras ini.”
“Penjaga kedai yang—oh Dewi, sangat cantik luar biasa,” timpal Geralt.
*
Dark Valley, 25 Desember 1925.
Semua pejabat istana mengenakan pakaian hitam. Mereka sedang berkabung karena meninggalnya seorang raja. Evaphine hanya mematung menatap kekosongan setelah semalaman ia menanigs membuat matanya sembab. Hari ini adalah hari pertama Evaphine menjadi anak yatim piatu.
Jika dua tahun lalu ia kehilangan ibunya, hari ini ia kehilangan ayahnya. Evaphine hanya ingin menjadi anak yang taat pada orang tua. Namun bila ketaatannya hanya dibalas dengan rasa sepi, maka ia tak bisa berdiam diri hanya menjalani takdir dan menerima keadaan. Ingin sekali terbebas. Tak ada lagi alasan untuk menjadi putri yang taat kepada orang tuanya, atau putri yang masyhur di mata masyarakat.
Evaphine mengambil segenggam tanah dari tumpukan di sisi liang. Ia menaburkan tangan digenggamannya itu ke atas peti mati ayahnya. “Aku harap Ayahanda tenang di sana. Tak perlu lagi pikirkan rakyat yang tak setia. Tak perlu lagi pikirkan aku yang tak sempurna dimatamu. Tak perlu lagi pikirkan ibu yang lebih dulu pergi meninggalkan kita.”
Semua orang menunjukkan rasa empatinya ke Evaphine yang kelak akan menjadi ratu. Salah seorang dayangnya memegang lengan wanita yang lemah itu. Ia merasa dirinya goyah dan tubuhnya gemetaran. Lututnya pun menyentuh tanah terjatuh karena tak sanggup menahan dirinya yang lemah. Si dayang membantu dirinya berdiri, tetapi Evaphine tak mau berdiri. Ia membiarkan dirinya berlutut di sisi liang.
Adleath mendekat dan merengkuh Evaphine dekat ke dadanya. “Tak maukah kau sedikit saja menguatkan diri? Kau masih punya banyak orang-orang yang setia kepadamu termasuk diriku.”
Evaphine melepaskan pelukan yang tak hangat baginya itu. Belum bisa memaafkan pria itu semenjak insiden perserikatan pemberontak atau yang sekarang di kenal Cold Revolt yang mendatangi istana. “Tak perlu omong kosong,” ucapnya ketus dengan tatapan penuh kebencian ke Adleath. Evaphine pun berdiri dan meninggalkan upacara pemakaman ayahnya kembali ke kereta kencana. Ia tak ingin lagi diperhatikan oleh orang-orang sekitar—yang bagi dirinya—mereka hanyalah pura-pura peduli, kecuali bibinya.
Bibinya, West Beckbutton Poilet, tengah menggendong bayi kecil dan berdiri di depan pintu kereta kencana. Ia mengetuk pintu kereta kencana tersebut dan menghimbaukan nama Evaphine, “Evaphine Victoria Callesen Poilet!”
Evaphine membuka pintu kereta kencana setelah mendengar suara panggilan dari bibinya. Ia membiarkan bibinya melangkah masuk ke dalam kereta kencana dan duduk di sampingnya. “Bibi!” Seru Evaphine yang lantas memeluk bibinya itu meski di dada bibinya ada bayi yang sedang di gendong. “Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.”
Bibinya tak menjawab hanya menatap keponakannya itu sambil mengusap air matanya. Mereka tenggelam di duka untuk waktu yang lama.
*
Beberapa petinggi kerajaan seperti penasehat raja dan perdana mentri menunggu di depan bilik Evaphine. Di sana juga para dewan, tetua adat kerajaan juga menanti Evaphine untuk dinobatkan sebagai ratu. Tak lama mereka menunggu, akhirnya Evaphine keluar dengan mata sembab. Gaun yang ia pakai berwarna hitam untuk menunjukkan dirinya yang masih berkabung.
Penobatan tersebut sangat sederhana. Evaphine nantinya akan dinobatkan pula di depan umum dan disaksikan oleh perwakilan diplomatik dari negara-negara lain jika perang telah mereda. Hanya ada beberapa dewan dan juga Adleath. Mereka sudah membuat rapat antara para dewan untuk mengangkat Adleath menjadi penasehat pribadi Evaphine. Juga hasil rapat yang ingin disampaikan ke Evaphine sebelum penobatannya.
Menjadi penasehat Evaphine adalah hal capaian tertinggi yang bisa ia dapatkan sebagai pria berdarah campuran. Orang-orang akan selalu mencari cara untuk menjatuhkannya. Bukan hal yang wajar bagi pria campuran untuk bernaung di istana, apa lagi untuk menjadi penasehat. Darah bangsawan yang dimiliki Adleath berporsi besar dalam peruntungannya di gelanggang tersebut. Adleath adalah rusa yang bernaung bersama kawanan singa; sekali langkah salah akan menjadikannya sebagai sebuah mangsa.
Dirinya pun diminta untuk menjelaskan hasil rapat tersebut. Bahwa mereka meminta persetujuan Evaphine untuk memberikan orde baru untuk menghindari pemberontakan-pemberontakan lagi di masa mendatang. Orde itu berupa hak khusus kepada dewan untuk memilih pemimpin-pemimpin pada setiap sektor kota dan pedesaan. Sektor-sektor tersebut nantinya akan diberikan otoritas sendiri tanpa harus meminta persetujuan dari sang Ratu.
Namun, Adleath menolak hasil rapat tersebut meski ia sendiri yang menyampaikannya. Ia meminta Evaphine untuk berhati-hati dalam memberikan keputusan.
Mereka baru saja memberikan sesuatu yang paling berharga untuk pria itu dan berharap agar pria itu mau saja bermain di dalam lingkaran yang mereka berikan. Adleath sengaja disingkirkan jauh dari pejabat lain dengan diberikannya gelar penasehat tersebut. Namun, balasan yang diberikan Adleath untuk para dewan tidak setimpal.
Tentu penasehat hanya akan berani bermain-main di balik ketiak sang Ratu dan tidak punya hak untuk bersuara di rapat dewan. Adleath sangat cocok untuk menempati gelarnya, ia tidak akan digaduh oleh para pejabat lain, dan ia juga tidak punya kekuatan untuk mengaduh pejabat-pejabat tersebut.
Evaphine tak ingin bersuara. Ia hanya ingin mendengar hasil rapat itu sesegera mungkin supaya ia bisa kembali beristirahat. “Aku akan mengabulkan semua keputusan kalian,” ujarnya begitu saja tanpa rasa semangat.
Para dewan pun berdiri dan memulai penobatan.
Namun, Perdana Mentri tidak ikut berdiri. Ia menentang keputusan dewan. Ia memahami kondisi Evaphine sekarang adalah kondisi dimana ia dilarang mengambil keputusan. “Sang Ratu masih dalam keadaan berkabung. Keputusan yang ia berikan juga terdengar pasrah saja. Jangan jadikan duka dari sang Ratu yang malang ini sebagai kesempatan untuk kalian para pejabat negara dan dewan dalam berpolitik. Setidaknya kita harus menunggu sampai Yang Mulia pulih dari kesedihannya.”
Adleath ikut tidak berdiri. “Aku pun juga berspekulasi seperti itu. Raja Gale Poilet baru saja meninggal. Namun, kalian pejabat negara sudah meminta yang tidak-tidak kepada sang Ratu.”
“Yang tidak-tidak?” Seorang dewan menyela.
“Apa guna seorang ratu jika hak-hak khusus itu diberikan kepada setiap sektor. Kutakut diri mereka tak akan lagi menghormati sang Ratu akibat hak-hak tersebut.”
Evaphine mengeraskan genggamannya di atas lutut. “Ini bukan keinginan ayahku melihat kalian berdebat. Keinginan terakhir ayah adalah melihatku berdiri di tempatnya menjadi orang yang terhormat. Jika dengan memberikan hak-hak khusus tersebut membuat mereka menghormatiku, maka ‘ku akan mengabulkan permintaan itu.”
“Yang Mulia. Anda masih dalam keadaan terguncang. Sebaiknya anda tidak mengambil keputusan tersebut tergesa-gesa!”
“Apa kau sedang membungkamku, Perdana Mentri?”
Adleath langsung berdiri. “Lima tahun! Berikan saya lima tahun kesempatan untuk menasehati sang Ratu. Itu akan menjadi tugas mulia bagiku. Setelah lima tahun tersebut maka kita akan mendengar keputusannya yang bulat!”
Evaphine berdiri dan mendorong kursi tempat ia duduk terjatuh kebelakang. “Oh Dewa-Dewi, biarkan aku mati saja kalau kalian masih saja membangkang!” Pekiknya. Membentak semua orang di ruangan kecil itu, membuatnya kehilangan tenaga seketika. “Aku—biarkan aku—” Ia terbata-bata. Matanya mengabur dan tertutup. Badannya jatuh menimpa tangan Jean yang sudah bersiap menangkap wanita itu terjatuh. Evaphine tak sadarkan diri.
Adleath nyaris menghajar para dewan tersebut karena telah memanfaatkan ketidakseimbangan emosi yang Evaphine miliki. Namun, ia lebih memilih untuk menjaga Evaphine yang digendong Jean kembali ke biliknya.
Sedang, para dewan dan Perdana Mentri kembali membincangkan rapat yang mendadak tersebut. Sesudah rapat ini, Adleath tidak akan mengusik mereka lagi karena gelarnya yang tidak memiliki kekuatan yang sama dengan dewan dan pejabat lain.
*
Melihat Evaphine yang masih tertidur di atas ranjang, Adleath khawatir sepupu yang ia cintai ini akan jatuh sakit. Suhu badan wanita itu pun sudah meninggi. Namun, Evaphine membuka matan dan melihat Adleath di sisi ranjang.
“Kau diberi lima tahun untuk membuktikan pemerintahanmu akan lebih baik dari yang mereka kira.”