PROLOG
Jumat, 16 November 2018
07.28 WIB
Gue kedinginan.
Asli, musim hujan tahun ini gue rasa termasuk Top 5 Paling Dingin sepanjang hidup merantau gue di Jakarta ini. Ditambah lagi, semuanya kelihatan biru di mata gue. Kalau bukan biru, ya kelabu. Gara-gara apartemen gue terletak di lantai 25, gue merasa selalu keguyuran hujan lebih dulu daripada manusia lain yang ada di permukaan tanah. Gue seharusnya berpikir lebih bijak sebelum hujan-hujanan kemarin malam.
Kenapa gue hujan-hujanan, ya, kemarin malam?
Dan, kenapa perabotan gue jadi lonjong semua?
Wow, antibiotik ini berfungsi dengan cepat.
Sambil mengamati pemandangan dari jendela dengan selimut tebal memeluk tubuh gue yang rapuh, gue mencari nama Mas Ba’im di hape. Gue menghirup cairan dari nostril, berdeham sekencang burung hantu dari rumah angker, dan berusaha mengeluarkan suara normal. Terakhir kali gue ngomong pas lagi ingusan, Mas Ba’im bilang suara gue kayak Ellie Goulding kegencet.
“Pagi, Mas Ba’im ...,” sapa gue lirih dengan suara parau. Sialan, kerja keras gue tadi berakhir sia-sia. “Boleh izin sakit dulu hari ini, Mas? Kena hujan kemarin malam. Sumpah, aku enggak bohong, Mas.”
Tawa membahana langsung menggema.
“Nama lo November, tapi kok bisa-bisanya lemah sama hujan?” sahut Mas Ba’im yang sangat terhibur dengan ironi yang sedang terjadi.
“Ya, ya, ya ...,” gumam gue datar. “Pertanyaan itu sebaiknya Mas ajukan ke bokap-nyokap. Aku usahain masuk kantor lagi Senin besok.” Mas Ba’im enggak doyan formalitas dan enggak punya banyak tuntutan. Betapa langkanya bos sesantai ini—apalagi di dunia perbankan Indonesia yang lama-kelamaan makin kayak film dramedy Meryl Streep. Mendengar betapa suburnya tawa Mas Ba’im, kelihatannya kerjaan di kantor lebih membosankan daripada biasanya.
“Yah, yang penting lo sehat dulu aja. Ada yang ngejagain lo enggak di sana?”
“November ini wanita dewasa, Mas. Bisa jaga diri sendiri.”
“Oke. Gue ganti pertanyaan gue: apa ada pria dewasa yang ngejagain lo di sana, Nov?”
“Maksud Mas perampok zaman sekarang doyan ngincer karyawati ingusan dengan BPJS Kesehatan kelas 3?
“Lo tahu betul apa maksud gue.” Mas Ba’im mendengkus. Saat gue lagi rapuh sekalipun, doi masih bersemangat membahas kehidupan cinta gue yang berstatus quo. Kayaknya beneran lagi ngebosenin banget di kantor sana. “Apa lo mending minta petugas lobi gedung apartemen lo buat ngecek sejam sekali? Kemarin gue lihat orangnya lumayan oke, tuh.”
“Ha-ha. Lucu banget, Mas.” Tapi, gue membatin, sebenarnya Mas Ba’im enggak salah-salah amat juga. Petugas lobi baru kami kayaknya emang pernah jadi model sampul—astaga, influenza mengubah gue menjadi singa betina.
“Gue cuma mau bilang, istri gue pernah cerita kalau cewek lebih ngerasa kesepian daripada kesakitan pas lagi musim hujan. Gue enggak mau lo jadi melankolis dan tahu-tahu besok minta resign, terus nge-Eat Pray Love ke luar negeri atau semacamnya. Gue tahu gaji lo berapa, Nov. Kayaknya ke Bandung aja udah mukjizat buat lo.”
Komentar barusan berhasil menyeret dua kaki gue kembali ke bumi. “Mas Ba’im, biasanya dua kata cepat sembuh udah lebih dari cukup.” Gue pun tersenyum mendengar sarkasme gue sendiri.
“Enggak plong rasanya kalau gue enggak bikin lo jengkel, Nov. Anyway, kalau ada apa-apa, lo masih simpen nomor istri gue tercinta, ‘kan? Gue jamin enggak ada dokter THT yang lebih canggih dari doi.”
Gue terkekeh. Mas Ba’im lebih sering mempromosikan klinik bininya daripada produk deposito bank tempat kami jadi buruh kantoran. “Oke, Mas. Have fun at work,” tutup gue.
Gue mendekapkan hape ke dada sambil berusaha mengatur napas. Kerongkongan gue masih terasa sakit dan kering dan gue rasa udah saatnya buat bikin seduhan teh campur madu dan sirop min.
Mata gue masih terpaku ke jendela. Hujannya udah kebangetan dan ini baru sekitar pukul setengah delapan pagi. Gue takut menanggalkan selimut gue.
“Nama lo November, tapi kok bisa-bisanya lemah sama hujan?”
Gue pernah denger pertanyaan itu sebelumnya. Kapan, ya? Dan, dari siapa?
Hanya perlu lima langkah lebar sampai gue tiba di dapur mungil gue. Sambil menunggu air mendidih, gue menyiapkan gelas favorit gue (yang ada gambar Aquaman-nya. Jason Momoa bikin mood gue membaik. Don’t judge me). Lalu, gue menuangkan (well, lebih tepatnya melimpahkan) madu dan sirop min serta sejumput gula rendah kalori. Mengingat efek antibiotik kemarin malam masih bersarang dalam kranium gue, apakah gue sebaiknya minum antibiotik lagi pagi ini?
“Nama lo November, tapi kok bisa-bisanya lemah sama hujan?”
Gue tersipu sendiri. Sebenernya, sih, gue suka banget sama nama gue. Gue lahir persis pukul 11 malam tanggal 31 Oktober. Kebanyakan orang mungkin bakal ngerasa agak sedikit ngeri dengan timing kelahiran seperti itu, tapi emak gue bilang gue lahir gara-gara gue pengin dan pengin banget ngerasain bulan November secara full.
“Saya suka nama kamu. Lucu.”
Hmm, siapa, ya, yang pernah ngomong begitu?
Dan, kenapa ada benak lain selain benak gue sendiri di dalam kepala gue?