November

Noura Publishing
Chapter #2

FREDIO

FREDIO

Senin, 20 November 2006

09.15 WIB

Fredio Mikaela, ya?

Agak malu juga buat mengakui bahwa gue enggak fa­milier sama nama itu. Habisnya, gue emang enggak terlalu ngikutin berita olahraga, apalagi basket. Itu bukan cabang olahraga fa­vorit gue. Gelar prestisius tersebut masih gue persembahkan buat voli. Sampai sekarang, gue bahkan enggak tahu aturan permainan bola basket itu kayak apa. Gue masih belum me­nemukan jawaban kenapa ada keran­jang di atas tiang.

Gue rasa tanpa status “atlet muda basket” sekalipun, Fredio pasti bakal tetep dikerumuni banyak orang. Dia ting­gi dan ganteng dan rambutnya nyaris mohawk dan denger-denger nilainya juga enggak jelek-jelek amat. Denger-de­nger lagi, dia pindah ke SMA ini cuma karena lokasinya lebih de­ket sama akademi basket yang dia datengin abis jam sekolah dan, denger-denger juga (informan gue banyak soalnya), ini anak emang kepengin banget jadi atlet profesional. Kesim­pulannya? Dia masuk sekolah ini bukan buat mencari teman. Terlepas dari itu, gue secara tulus berharap dia tetep enjoy sa­ma sekolah ini. Gue harap dia juga enjoy sama Kota Bogor ini. Enggak kayak Jakarta, begitu bulan November tiba, di sini hawa di­ngin langsung mengetuk pintu bagai malai­kat pencabut nyawa di lobi rumah sakit.

Gue melongo ke langit di atas. Begitu biru dan kelabu. Be­gitu gue merentangkan satu jari ke udara, tetesan air nyaris bikin bulu kuduk di lengan gue berdiri tegak. Mudah-mudahan hujannya enggak awet sampai pukul dua siang nan­ti. Gue lupa, apa Bang Den bawa payung ke kampus ha­ri ini? Itu orang te­ledor melulu kalau musim hujan begini.

Jadi begini, Guys. Gue punya semacam ritual tiap kali is­ti­rahat pagi dimulai. Sepanjang lima belas menit ke depan, gue bakal nongkrong sendirian di lorong depan kelas dan men­­ce­burkan kepala gue ke dalam lamunan khas November Ralin. Lamunan seperti apa yang gue maksud? Macam-macam dan tergantung mood. Gue juga harus mengakui, be­gitu suasananya hujan melankolis kayak begini, lamunan gue makin menda­lam dan dramatis. Sebagai contoh, sekarang gue memba­yang­kan gue lagi ada di dalam video klip “Behind These Hazel Eyes”. Gue literally mengkha­yal­kan diri gue adalah si pengantin kabur yang pengin nam­pol calon suami sendiri dan berimajinasi bahwa vo­kal gue nyampe empat oktaf. Belakangan, gue lagi kesengsem sama cewek-cewek pop rock gitu. Sejujurnya, gue emang me­nik­­mati aktivitas bengong sendirian kayak gini. Bukan berarti gue enggak punya teman atau gue segitu garingnya di sekolah. Gue cuma merasa masa remaja adalah waktu ketika ma­nusia seharusnya bengong sepuas-puasnya dan mengkha­yal segila-gilanya sebelum realitas datang dan—

Gue merasakan dua batang jari mengetuk pundak gue.

“Halo,” terdengar sapaan malu-malu.

Gue enggak kebayang atlet SMA yang hampir dua meter tingginya ini punya kepribadian yang pemalu. Ke­lihatannya dia sudah selesai (atau, lebih tepatnya, berhasil melarikan diri) dari kerumunan anak sekelas yang pengin ngebelai dia (baik dalam arti metafora maupun dalam arti harfiah. Anak-anak cewek di kelas gue emang agak agresif. Denger-denger juga, hormon estrogen mereka mendidih pasca nonton bareng film Heart).

“Halo juga,” sapa gue balik sambil tersenyum kepada Fredio.

Gue lanjut mengembalikan perhatian ke rintik-rintik hu­jan. Sampai di mana lamunan gue tadi? Oh, iya! Gue cuma merasa masa remaja adalah waktu ketika manusia seharusnya bengong sepuas-puasnya dan mengkhayal segila-gilanya sebelum realitas datang dan—

Gue kembali merasakan dua batang jari mengetuk pun­dak gue.

Gue berbalik dan Fredio kembali mengucapkan satu kata, “Halo.”

“Halo juga.” Gue kembali tersenyum. Apa maksud ini bocah? Gue kira saling sapa barusan udah selesai.

Fredio mulai mengusap-usapkan kedua telapak tangannya ke katun celana pada bagian paha. Doi tampak enggak nyaman. Kalau doi enggak nyaman, ngapain doi deket-deket sama gue? Tapi, gue rasa, sebagai ‘tuan rumah’, sudah sepan­tasnya gue ber­sopan santun kepada sang tamu kehor­matan. Lagi pula, Mama selalu mengatakan: “November, kamu boleh hobi bengong, tapi jangan hobi jadi assh*le.”

“Jadi, udah mulai kerasan di sini, Fredio?” tanya gue sambil menyunggingkan senyum sopan. Seharusnya, dia udah bisa menjawab pertanyaan itu setelah seminggu la­manya jadi anak pindahan. Tapi, yah, gue rasa emang ter­gantung orangnya juga, sih ....

“Lumayan, lumayan ...,” gumam Fredio sambil meng­ang­guk dua kali. Doi masih tampak enggak nyaman. “Ngo­mong-ngomong, ng, makasih banyak, ya.”

Gue mengernyit, tapi masih bertenaga buat memper­tahankan senyum sopan gue. “Makasih buat apa?”

“Lo udah baik sama gue. Selalu minjemin gue pulpen atau buku tiap kali gue kelupaan.”

Lihat selengkapnya