November

Noura Publishing
Chapter #3

FREDIO

FREDIO

Senin, 11 Desember 2006

14.45 WIB

“Lo enggak nge-fans sama basket?” ulang Fredio eng­gak percaya.

“Enggak,” ulang gue lagi dengan tengilnya.

“Kalau nonton pertandingan basket?”

“Enggak juga,” jawab gue mantap.

“Kok bisa?” tanya Fredio takjub.

“Enggak ngeklik aja di hati gue.” Gue meng­angkat bahu. Setelah gue jalani pelan-pelan, ternyata memang perlu waktu dua mingguan untuk bisa se­ratus persen membiasakan diri ber­gaul bareng Fredio. Doi ternyata enggak sedingin yang gue kira. Malah sebaliknya, orangnya emang beneran hangat dan ber­sa­haja. Musim hujan ini ternyata enggak dingin-dingin amat.

“Jadi, yang ngeklik di hati lo apa?” pancing Fredio.

“Tentu aja voli. The one and only!” sahut gue sambil meng­acungkan jempol dan meniru model iklan sambal. “Menurut gue, voli itu multidimensional, makanya menarik banget!”

Fredio langsung tertawa. “Lo mung­kin satu-satunya ce­wek yang gue kenal, yang gam­pang banget make kata ‘multi­di­mensional’!”

Gue mengangkat bahu dengan polosnya. “Apa yang ada di KBBI itu gratis buat dipake. Itulah manfaat menjadi WNI.”

Fredio masih bergumul dengan air mata kebahagiaan pada mata kirinya. “Lo itu emang makhluk hidup yang unik, ya?”

“Aaargh, lo baru aja ngebandingin gue sama Hamtaro!” gue mengerang bete.

“Dan, buat informasi lo juga, November: basket itu juga ‘multidimensional’!”

“Beda, Bro. Kalau basket kan lebih memprioritaskan tinggi badan. Lo enggak sadar apa kalau lo harus bungkuk banget tiap kali masuk angkot?”

“Badan tinggi enggak menjamin kemenangan, Nov. Gue pernah one-on-one ngelawan pemain yang hampir se­tengah tinggi gue dan sumpah, kardio gue ngadepin dia.”

“Jangan salahin pemain pendek gara-gara lo punya paru-paru mungil. Enggak ada gunanya perut six-pack kalau enggak bisa jogging.”

“Ha-ha. Lucu banget,” ejek Fredio sambil menyikut gue. Doi ternyata juga mulai berani niru tawa datar khas gue. Mes­ki, terus terang, gue enggak keberatan. Bagaimanapun nada­nya, tawa Fredio selalu enak didengar.

“Kalau gitu ceritanya, kenapa lo enggak gabung ekskul voli aja?” Fredio lanjut bertanya.

Gue kembali mengangkat bahu. “Enggak punya ba­kat. Gue cuma pundit yang berdedikasi. Tapi, gue selalu pengin gerakin badan habis sekolah dan gabung pasukan pengibar bendera bagus buat ngebentuk postur gue.”

“Oh, ya?”

Lihat selengkapnya