15 JUNI
Dia tahu bahaya itu memburunya. Dia tidak menciumnya, dia tidak mendengarnya, dia tidak melihatnya. Nalurinya yang lebih primitif, naluri kebinatangannya, yang membisikkan tanda-tanda itu. Dengan gugup, dia menoleh ke belakang. Kosong. Hanya ada beberapa sampah yang menari-nari, berputar tertiup angin malam. Anginnya sendiri tak bersuara. Kalaupun ada suara, hanya berasal dari pesawat televisi yang terdengar sayup, dari seberang yang jauh entah di mana, mungkin dari gang sebelah masjid. Dia tahu malam itu sedang ada pertandingan akbar sepak bola. Liga yang mana, dia tidak ingat. Kepalanya sudah terlalu terbelenggu oleh seutas firasat buruk. Ya, malam itu semua terasa buruk, padahal tadi sore masih santai-santai saja, sebelum dia terlelap di sudut emperan kios servis ban yang sudah tutup.
Tak disangkanya dia ketiduran hingga malam melarut dalam kepekatan yang dingin. Suatu perasaan halus tetapi mengancam membuatnya menggigil dan terjaga, dan mendapati segalanya telah gelap gulita. Orang-orang sudah surut dari jalanan dan trotoar. Dua-tiga kalong berseliweran melewati kabel-kabel tiang listrik. Tinggal perasaan tadi yang membayangi. Ada seseorang yang mengawasinya, mengincarnya.
Kini, dia diburu, seperti binatang. Sehari-hari, dirinya memang sering dikatai binatang. “Anjing!” kata mereka, “Babi!” kata mereka. Bah! Apa pun kata mereka, dia bisa membalas balik perkataan semacam itu. Diburu? Dia sudah sering diburu. Diburu polisi, diburu preman, diburu anjing penjaga, diburu, diburu, diburu! Namun, yang ini berbeda. Menjadi binatang yang dikejar pemangsa yang tak terlihat pada malam buta!
Dia tersengal. Bunyinya menguik, persis babi yang tengah melarikan diri. Kakinya terjeblos ke lubang trotoar sehingga dia setengah terjatuh. Saat itu, dia mendengar si Pemburu seakan ikut tiba-tiba menghentikan langkah. Dia menengok. Tidak ada orang, tidak ada! Ini membuatnya frustrasi! Dengan jelalatan, menatih kaki yang terpelintir ototnya akibat menahan jatuh, dia menajamkan mata, mencari sosok orang yang bisa dia kenali. Siapa saja! mohonnya dalam hati. Di mana mereka? dia membatin putus asa. Kampret! Pasti gara-gara sepak bola! makinya.
Suara televisi tadi kini tak kedengaran lagi. Lenyap sudah harapannya. Tak peduli ke mana pun dia melangkah, gang mana pun yang dia ambil, sang Pemburu dengan gigih mempertahankan jarak yang tak jauh di belakangnya. Jantungnya berdegup tak keruan, takut sewaktu-waktu muncul sosok ganas yang menerkamnya dari gang-gang gelap. Dia sudah mulai berlari. Berlari. Dia tak punya masalah dengan berlari. Sejak dulu, dia tidak punya rumah untuk pulang, dia selalu berlari. Bukan berlari dari kenyataan seperti ungkapan dalam adegan sinetron atau drama picisan, melainkan berlari untuk bertahan hidup. Hidup dalam arti yang sesungguhnya: nyawa. Meski begitu, yang terjadi kepadanya malam ini tidak sama dengan bertahan hidup yang biasanya dia lakukan. Siapa pun yang tengah memburunya memiliki aura bengis, dia bisa merasakan itu.
Dipaksanya otaknya bekerja, berusaha mengingat atau menerka siapa yang mungkin mengincarnya. Dia pernah berkonflik dengan anak geng stasiun, tetapi itu sudah lama, mereka tak pernah bertatap muka lagi setelah insiden itu. Pernah pula dia berseteru dengan sopir-sopir angkot hingga dia nyaris dikeroyok. Itu pun, pikirnya, sudah terselesaikan beberapa waktu lalu. Lagi pula, yang terjadi kepadanya malam ini tidak cocok dengan pola konflik sopir atau gelandangan. Mereka bisa menyergapnya kapan saja jika mau, memukulinya beramai-ramai. Cara meneror seperti ini jauh dari gaya mereka. Pemburunya saat ini jelas seseorang dengan geliat nafsu yang melampaui pikiran maupun tendensi kaum jalanan, membidik sasaran dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan, sabar menunggu saat yang tepat untuk mencekaunya.