Dua Dini Hari

Noura Publishing
Chapter #3

16 JUNI

16 JUNI

Kanti menyingkap tirai biru penutup jendela, dan ja­tuh­lah jutaan serbuk debu keemasan menumpahi ram­but­nya. Dia mengibas serbuk-serbuk itu dengan tangan. Ma­tanya tertuju lekat kepada tirai itu. Harus segera diganti, begitu pikirnya. Warna biru membuat kamar yang sudah sumpek dan kusam itu terlihat semakin kotor. Hatinya terasa getir setiap kali harus terbangun di kamar itu. Besok pun begitu. Dia jenuh melihat dinding yang sudah keropos, juga kawat nyamuk yang sudah bolong, tetapi itulah kamar terbaik yang bisa dia peroleh dengan tabungan yang sudah menyerempet kiamat.

Panas. Entah sudah berapa kali dia menarik selot kunci dan menekan permukaan jendela. Tak ada yang terjadi. Daun jendela itu mengatup seperti dilem akibat sudah bertahun-tahun tak pernah dibuka. Yah, memangnya apa yang bisa dinikmati dengan jendela terbuka di tempat gersang dan bising seperti itu? Bunyi alat las, pukulan palu bertalu-talu, klakson, derum motor dan mobil, teriakan dan rum­pian orang-orang yang menyerbu dari tiap sisi.

Dia mencoba memahami realitas baru yang terpampang di balik jendela itu. Realitas yang tak pernah dia inginkan. Namun, semakin dia berusaha menerima realitas itu, semakin keras pula dia meratapi kesialan yang menimpanya.

Dia memandang berkeliling. Dia telah berusaha semam­punya. Gambar-gambar tak berpigura ditempelkannya di tem­bok, vas kecil berwarna putih diletakkannya di atas meja, cermin dengan hiasan bunga-bunga kering digantung­kannya pada paku di dekat pintu. Namun, kamar itu tak kun­jung jadi indah.

Perhatiannya tertumpah kepada kuas dan cat yang ter­simpan rapi dalam kotak dekat jendela, siap digunakan pada malam-malam ketika daya kreasinya membara. Begitu kuno, tetapi dengan cara itulah dia mencari nafkah. Dia tak bisa melakukan hal lain.

“Emang di sini nggak kejauhan, Mbak, dari kampus­nya?” Dayat, si pemilik kos berambut jarang, bertanya dua hari lalu ketika Kanti baru pindah. Mulutnya terbuka, me­ringis, seperti yang selalu terjadi saat dia berbicara dengan orang lain.

“Nggak, Pak, saya cuti semester ini,” jawab Kanti seraya melempar sekilas senyum.

Cuti. Sampai batas waktu yang belum ditentukan. Untuk beberapa lama, dia gelisah memikirkan apa yang harus dia katakan kepada teman-teman kuliahnya guna menjelaskan situasinya yang sedang kacau. Namun, kegelisahan itu ter­bukti sia-sia karena toh tak satu pun dari teman-temannya itu menanyakan kabarnya. Ini bukan kali pertama dia hidup di tengah kesendirian sehingga dia sudah mulai terbiasa. Wa­lau begitu, tak bisa dimungkiri sesekali dia melongok smart­phone-nya, berharap ada satu saja notifikasi pesan dari seseorang, siapa saja. Namun, tak ada. Tak pernah ada.

Maka, dia mengatur janji dengan dirinya sendiri, pergi ke luar sendiri, memilih kafe atau warteg sendiri, makan dan minum sendiri. Tiap sore, dia berjalan-jalan sedikit, se­suatu yang tak bisa dia lakukan tanpa iring-iring siulan dan panggilan para lelaki kurang kerjaan yang nongkrong di ping­gir jalan. Belum lagi motor-motor yang menyelonong lewat, memotong jalannya dengan gaya serampangan.

Tatkala rekeningnya sedang seret, dia harus melakukan manuver penghematan. Sesekali dia memasak, meski hanya telur dadar atau mi. Mau tidak mau, dia meracik menunya di dapur kos yang tidak terawat, sambil menahan bau tidak enak serta pemandangan menjijikkan berupa lemak-lemak dan ceceran bumbu.

Ada tiga lantai di kos itu. Lantai dua untuk kamar-kamar lelaki, lantai tiga untuk perempuan. Sang kosbas, Dayat, tinggal di lantai paling bawah. Dia punya usaha jualan sembako dan jamu. Untuk menuju kamar-kamar kos di lantai atas, ada sebuah tangga lingkar besi yang merambat seperti ular di pinggir rumah.

Suatu kali, Kanti berjumpa tetangga selantai. Wanita itu berambut keriting dan selalu dicepol. Umurnya tiga puluh sembilan, menurut pengakuannya. Suaranya lantang bukan main ketika berbicara. Dengan para penghuni lain, Kanti ti­dak pernah bertatap muka. Dia hanya bisa mendengar suara-suara mereka dari balik dinding saat malam.

Dia tersadar dari lamunannya dan warna biru tirai itu tampak lebih mencolok dibanding sebelumnya. Dia tahu warna itu akan melekat terus di otaknya.

“Ini ada buah-buahan sama camilan, Mbak Kanti,” ujar Dayat sambil meringis. Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan celana panjang abu-abu dan kaus biru. Setelan itu demikian longgarnya hingga lengan-lengan yang hanya tinggal tulang itu tampak lebih mengenaskan. Di tangannya, ada sebuah piring berisi dua apel dan dua jeruk, serta sekotak kaasstengels.

“Repot-repot sekali, Pak,” Kanti yang terkejut menerima piring tersebut. Dia tidak begitu suka diganggu siang-siang.

“Iya, nih, Mbak, baru dapet parsel saya. Saya pikir bu­at anak-anak kos saja,” jawab Dayat. “Sama ini ada beras ken­cur campur kunyit, Mbak.” Kali ini, dia mengulurkan sebotol jamu. “Bagus buat perempuan, biar sehat dan kuat. Minum malam, pencernaan sehat paginya,” ujarnya, memperlihatkan gayanya sebagai tukang jamu tulen.

Tiba-tiba, terdengar pekikan-pekikan dari bawah.

“Duh, biasa itu, mas-mas yang di bawah kalau nonton TV ya pada berisik gitu. Maklum, ya, Mbak, di sini suka kedengeran kalau rame, rumah tua soalnya,” lanjut Dayat canggung.

Lihat selengkapnya