Guru honorer itu menjatuhkan spidol untuk kesekian kalinya. Dengan tangan gemetar, diambilnya spidol itu, kemudian kembali menulis sambil membelakangi murid-muridnya, menghindari kontak mata agar kegelisahannya tidak terpampang nyata. Seolah para siswa tengah mengepungnya dengan tatapan curiga, menuduhnya sebagai guru tak becus.
Wanita itu berdiri dengan gestur kaku, sementara keringat turun perlahan di keningnya. Wanita itu terus membatin, bertanya-tanya kapan jam pelajaran usai. Rasanya, dia tak sanggup lagi menahan suasana mencekam yang intimidatif di kelas itu. Ketika bel berbunyi, wanita itu diserbu rasa kaget yang melegakan. Lekas dia keluar setelah menutup kelas dengan satu kalimat pendek.
Calya, Afreen, dan Isvara saling melempar tatapan, kemudian mata mereka mengikuti punggung guru honorer tersebut sampai hilang dari pandangan. Senyum aneh menghiasi bibir mereka.
Menunggu kedatangan guru berikutnya, untuk kesekian kali Calya mengecek akun Instagram-nya. Dia mengembuskan napas kesal saat melihat jumlah like postingan swafotonya semalam tetap tak beranjak, kalah telak dibandingkan foto Pak Arifin yang dia unggah sehari sebelumnya. Para pengikut Calya rupanya hanya tertarik kepada cerita-cerita sekolahnya.
Masih jengkel, dia mencari akun Pak Arifin. Namun, akun guru ekonomi yang terkenal killer itu tidak dia temukan. Calya lalu menyimpan ponsel pintarnya ke tas, setelah sebelumnya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Satu lagi akun media sosial milik gurunya dinonaktifkan.
Pikiran Calya kemudian teralihkan oleh sosok Pak Arifin yang jangkung, plontos, dengan badan berisi yang baru saja memasuki kelas. Guru itu sejenak menatap Calya tajam. Calya membalas dengan pandangan ramah dan hormat yang dibuat-buat. Pak Arifin kemudian membuang pandang ke seisi kelas yang tampaknya belum menyadari kehadirannya. Siswa-siswinya masih saja gaduh. Dia lalu berdeham keras untuk mendapatkan perhatian anak-anak didiknya. Sontak saja seisi kelas menoleh kepadanya.
Sesungguhnya, kelas pagi itu biasa saja. Pak Arifin mengajar layaknya hari-hari sebelumnya. Masih dengan gayanya yang tegas. Namun, guru Calya itu lebih berhati-hati dalam bersikap dan memilih kata-kata, seolah segala tindak tanduknya sedang diawasi oleh agen rahasia dari badan intelijen dunia. Seperti yang dirasakan guru honorer tadi dan seluruh guru di SMA Ibu Bangsa. Sejak kasus Bu Rina mencuat, atmosfer sekolah berubah mencekam untuk para guru dan seluruh staf. Sekolah Calya memang masih diawasi media dan yang mesti diwaspadai justru bukan orang luar, melainkan siswi-siswi mereka sendiri. Calya, Afreen, dan Isvara, para selebritas baru dunia maya. Itulah sebabnya para guru menutup akun media sosial mereka.
Calya jelas menyadari ketegangan di sekolahnya. Tak ada lagi guru yang berani menegurnya, dan dia menikmati itu. Satu postingan keluhan saja darinya akan membuat siapa pun yang berani menyentuhnya terkena masalah. Dia begitu percaya diri. Dalam kurun waktu dekat-dekat ini, semua ceritanya akan terus viral selama warganet masih mengenangnya sebagai ‘korban’. Betapa menyenangkan mengendalikan segalanya lewat kata-kata di media sosial. Lagi pula, memangnya siapa yang berani macam-macam kepadanya? Dia selalu bersikap manis, bukan?
Calya berdiri gelisah di pinggir lapangan, tangannya bergerak lincah memainkan tas selempangnya. Sudah lebih dari sepuluh menit dia menunggu Dafis di sana. Tidak biasanya kekasihnya itu terlambat seperti ini. Lama-lama, Calya merasa berubah menjadi maneken.
Calya membuang napas lewat bibir mungilnya yang penuh. Kepalanya yang lonjong bergerak ke kiri kanan, membuat rambut bergelombangnya ikut terayun-ayun. Ekspresinya sudah menampakkan rasa bosan paripurna. Saat matanya yang agak sipit melihat Bu Heni, dia ingat gurunya itu belum masuk dalam koleksi fotonya. Tangannya kemudian dengan cekatan mengambil foto candid Bu Heni, tetapi detik berikutnya dia tersentak oleh cengkeraman seseorang di lengannya. Calya menoleh kesal, tetapi menurut juga saat orang itu menyeretnya ke bagian koridor sekolah yang sepi. Bukan apa-apa, insting Calya mengatakan orang itu ingin mengajaknya berbicara serius dan dia tidak ingin jadi bahan tontonan jika terlibat perdebatan panas di pinggir lapangan—spot yang terlihat dari berbagai sudut sekolah.