Suicide Knot

Noura Publishing
Chapter #2

Knot #1 After You Left

Kamu tahu apa itu kesepian?

Ah, tentu saja tidak.

Karena itu terjadi setelah kamu pergi.

Sepuluh, sembilan, delapan ….

Aku memejam, kemudian melanjutkan hitungan itu dalam hati.

… tujuh, enam, lima, empat ….

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya per­lahan; mencoba mempraktikkan teknik pernapasan yang entah pernah kudengar di mana. Oke, seharusnya se­mua baik-baik saja. Aku tinggal melangkah masuk ke kelas dan menjalani hari seperti biasa. Everything will be fine and it SHOULD be fine.

… tiga, dua, satu. Saatnya masuk kelas! Namun ….

Dalam sekejap, aku langsung menyesali keputusanku masuk sekolah. Pasalnya, begitu aku melangkahkan kaki, atmosfer kelas berubah dalam sekejap. Keriuhan yang selama beberapa menit kudengar dari luar seketika lenyap, seolah ada yang menekan tombol senyap dan—hei, tunggu dulu. Mengapa mereka semua menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan penampilanku—selain mata yang bengkak parah karena kelenjar air mata yang tak berhenti produksi selama beberapa hari terakhir, lengkap dengan hidung semerah rusa kutub karena terlalu banyak diusap dan dipencet.

Sialan.

Diam-diam, aku mengumpat dalam hati. Seharusnya aku bolos saja seperti kemarin-kemarin. Sayangnya, hari ini aku kehilangan selera untuk bolos. Selain karena sudah kelamaan absen dan hari ini ada ulangan bahasa Indonesia, juga karena pasangan bolosku tak lagi bisa menemaniku.

Anne.

Perasaan kehilangan pun kembali menyapa. Kenangan saat aku menolak pergi dari sisi peti mati Anne selama beberapa hari ini dan, secara histeris, mencoba mencegah agar peti itu tidak ditutup dan ditimbun oleh tanah pun terbayang kembali. Sialnya, kenangan itu membuat ke­lenjar air mataku lagi-lagi berproduksi. Seakan belum cukup, cobaan lainnya kurasakan saat melihat vas berisi setangkai lili putih yang diletakkan di atas meja Anne yang berada tepat di belakang mejaku. Sori, maksudku, bekas meja Anne. Keberadaan bunga penanda dukacita itu seketika membuatku kembali merasakan sesak yang amat sangat; seolah ada yang tiba-tiba mencengkeram paru-paruku.

Astaga!

Sadar bahwa mood-ku pagi ini memburuk dengan ce­pat, aku buru-buru duduk dan membenamkan wajah di balik lipatan tangan; berusaha agar genangan air mata ini sedikit terserap oleh lengan sweter yang kukenakan. Ja­ngan sampai aku menangis lagi, setidaknya jangan di kelas ini. Sepenuh hati, aku berdoa semoga hari ini berlalu lebih cepat. Semoga tidak ada yang mengajakku bicara karena—

“Hei.”

Suara itu terdengar cukup jelas dari arah sebelahku. Sepertinya dia—siapa pun itu—mencoba menyapaku. Na­mun, peduli amat. Memangnya dia tidak bisa lihat bahwa mood-ku berantakan?

Lihat selengkapnya