Hei, beri tahu aku,
cara lain untuk berjumpa denganmu.
Aku kesepian dan itu menyakitkan.
Jika bisa … jika bisa aku ingin menganggap stiker H.E.L.P yang menempel di pigura putih itu bukan apa-apa. Mengenai posisi pigura yang berubah tempat, aku ingin sekali berpikir bahwa Tante Hetih ataupun Mbak Menur, asisten rumah tangga, yang sengaja melakukannya untuk mengubah mood kamar. Namun, saat memastikan itu kepada Tante Hetih, dia malah terlihat sangat heran.
“Tante nggak tahu soal itu, Sayang,” katanya. Dia terlihat berpikir keras sebelum menepukkan kedua tangannya. “Ah! Tante baru ingat! Beberapa hari sebelum, yah, sebelum kejadian itu,” Tante Hetih berhenti sejenak dan aku mengerti bahwa yang dia maksud adalah peristiwa kematian Anne, “Anne emang kelihatan tertekan banget. Tante sering lihat dia nangis sendirian, tapi nggak pernah jawab kalau ditanya ada masalah apa. Dia juga sempat nggak mau keluar kamar, dan—” Tiba-tiba, Tante Hetih mendekap mulutnya sambil mengamati bingkai yang kupegang. “Ya, ya, ya—Tante ingat lagi. Anne pernah bilang tolong tunjukin bingkai itu ke kamu kalau kamu main ke sini. Cuma waktu itu Tante nggak nanya kenapa, terus tiba-tiba Anne—” Perbincangan itu selesai sampai di sana karena Tante Hetih kembali terlihat larut dalam dukanya dan aku tidak cukup kejam untuk memaksanya bercerita lebih lanjut. Hanya saja, kini aku semakin yakin bahwa Anne memang menginginkanku melihat bingkai itu. Namun, mengapa?
“Duh ….” Tanpa sadar, aku mengeluh dan mengembuskan napas panjang sambil menelungkupkan kepala di lipatan tangan. Kepalaku terasa pening. Sekilas, aku mengingat kembali bingkai Gudetama itu, yang memajang foto kami berdua. Dalam hati, aku bertanya-tanya, Sebetulnya apa yang pengin kamu tunjukin ke aku, Ne? Apa kamu cuma pengin supaya aku inget terus sama kamu; sama persahabatan kita? Kalau emang itu maksud kamu, nggak usah khawatir. Tanpa kamu perlu nunjukin bingkai foto pun aku nggak akan bisa ngelupain kamu. Percayalah.
Tapi, gimana dengan stiker H.E.L.P itu? Cuma kebetulan, atau ada hal lain yang pengin kamu sampaikan?
Aku mengerang panjang dan menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Hal-hal yang membutuhkan kerja otak seperti ini memang bukan keahlianku. Berbanding terbalik dengan Anne yang memang menyukai kisah-kisah misteri dan segala teka-tekinya. Karenanya, sekalipun pertanyaan ‘kenapa’ terus menghantuiku sejak pulang dari rumah Anne kemarin, sampai hari ini semuanya masih terasa buram.
Merasa bahwa kepalaku mulai berasap karena terlalu banyak berpikir, aku mengeluarkan buku sketsa dan beberapa pensil. Tanganku mulai menggerakkan pensil itu di atas kertas kosong dan membuat sketsa wajah; sambil berharap bahwa sedikit doodling pagi ini dapat mendinginkan otakku. Untung saja saat ini jam pelajaran kosong dan kami diizinkan melakukan apa pun selama tidak membuat keributan ataupun keluar sekolah. Gara-gara itu, sebagian kecil siswa kini sibuk dengan ponsel masing-masing. Sebagian lainnya sudah melenggang ke kantin, sementara kaum minoritas yang selalu meraih peringkat atas tengah menyibukkan diri di perpustakaan.
“Aneh, ‘kan?”
Seruan pelan dari arah sudut belakang kelas terdengar tepat saat aku tengah membuat garis gelombang untuk rambut. Tentu saja aku mengabaikannya karena bukan urusanku.
“Iya. Si Anne kayak aneh gitu, euy ….”
DEG.
Penyebutan nama Anne membuat gerak tanganku melenceng dari jalurnya. Aku berdecak kesal. Namun, kekesalanku cepat berganti menjadi rasa penasaran sehingga aku pun menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya, ada tiga teman sekelasku yang sedang asyik menonton sesuatu dari ponsel mereka sambil sesekali berbisik. Kenapa mereka menyebut nama Anne? Meski secara tulisan nama Anne cukup pasaran, tetapi pelafalan ala Indonesia-nya—An-ne, bukan En—membuat nama itu memiliki ciri khas, jadi kurasa yang mereka bicarakan memang Anne.
Lukas, salah satu dari tiga orang itu, kini menunjuk ponsel yang tengah dipegang Daniel. Wajahnya terlihat serius.
“Tuh, ini juga aneh,” katanya. “Si Anne kenapa, ya?”
Lagi-lagi mereka menyebut nama Anne. Kali ini, aku tidak bisa menahan diri untuk berdiri dan menghampiri mereka.
“Kenapa sama Anne?” Pertanyaan itu sebetulnya kuucapkan dengan nada yang, menurutku, biasa saja. Namun, mereka bertiga terlihat kaget luar biasa. Lukas terlompat dari tempat duduknya, sementara Alvon kumat latahnya. Daniel malah lebih parah karena dia sampai melepaskan ponsel yang ada di tangannya hingga jatuh ke dekat kakiku. Heran dengan reaksi mereka, aku memungut ponsel itu.
“Jangan!” teriak Daniel, sebelum mulutnya dibekap paksa oleh Lukas. Terlambat, karena aku sudah melihat apa yang tengah mereka tonton dan ….
Aku langsung membekap mulutku.
Napasku tertahan sementara mataku terbeliak. Nyaris saja aku membanting ponsel itu jika Alvon tidak buru-buru merebutnya. Untung saja tanganku lebih cepat menahan dan menjauhkannya dari jangkauan Alvon hingga ponsel itu tidak sampai berpindah tangan.
“Berengsek kalian! Jahat!” Suaraku bergetar. Wajahku memanas. Tinggal tunggu waktu saja sampai air mataku kembali berulah. Emosi, aku menunjuk Daniel, Lukas, dan Alvon—yang kini terlihat seperti maling yang tertangkap basah. “Meski udah meninggal, Anne tetap teman kita! Ngapain kalian ngelihat rekaman ini?”