“IBU PERGI,” ayahmu berkata ketika kamu memergokinya duduk sendirian di kegelapan, di antara pakaian berserakan dan koper-koper menganga di lantai. Ayah termenung, sama sekali tidak mengangkat kepala untuk menatapmu saat menyampaikan kabar mengejutkan itu. Kamu butuh waktu beberapa detik untuk mencerna maksud perkataan Ayah dan tertawa karena kamu tidak mengerti.
Kamu baru pulang pagi itu. Semalaman, kamu berada di tempat Akar dalam sebuah pesta yang sangat seru. Akar menjamu teman-temannya untuk perayaan satu tahun kafe di perpustakaan milik keluarganya. Kamu membuka pintu apartemen dan mendapati ruang tamu yang kosong. Biasanya, Ibu sudah membuka gorden-gorden pukul segini. Dia sangat menyukai pemandangan saat hari terang dari apartemen di lantai enam itu. Namun, ruang tamu remang-remang belum terjamah matahari. Kamu mengabaikan gorden-gorden itu dan terus berjalan menuju kamarmu karena mengantuk. Setelah perutmu kenyang menyantap sarapan lezat buatan mami Akar, kamu membayangkan ranjangmu yang nyaman dan berniat langsung melanjutkan tidur.
Namun, ketika melintasi kamar orangtuamu, kamu mendapati pintu terbuka lebar dan melihat Ayah tengah termangu. Dia terduduk lunglai dengan sorot mata kosong. Kamu spontan berhenti di ambang pintu. Ayah yang menyadari kehadiranmu langsung mengumumkan berita buruk itu.
“Ibu pergi ke mana, Yah?” Kamu terheran-heran.
Pelan-pelan, kepala Ayah bergerak, menoleh dengan ekspresi tidak berdaya.
“Kabur. Ke luar negeri. Demi selingkuhannya.”
Matamu langsung membelalak. “Hah? Kabur ke luar negeri?! Kabur gimana maksudnya, Yah?! Ayah bercanda, ya? Ibu sama Ayah mau bikin surprise buat aku, ya? Surprise apa, sih? Ulang tahun aku kan masih lama! Ayah beliin aku apa, hayooo? Ayah sama Ibu bikin home theatre, ya? Ibu sembunyi di home theatre itu, ya? Udah, Ayah berdiri aja. Kejutannya udah ketahuan, nih! Hahaha ….”
Ayah menatapmu dengan ekspresi geram. Kamu masih sempat terbahak, menganggapnya bercanda. Namun, kemudian Ayah menyergah, “Ibu kamu meninggalkan kita! Dia kabur ke luar negeri karena selingkuhannya!”
“Selingkuhan apa, sih, Yah?! Kok Ayah ngomongnya ngawur gini?! Ibu mana?!” Kamu jadi agak kesal karena tidak biasanya Ayah menaikkan suaranya sampai setinggi itu.
Ayah seketika berdiri dan mencengkeram kedua bahumu. Dia berteriak sambil mengguncang-guncang badanmu, “Ibu kamu pergi ke London nyusul si Henry! Dia selingkuh! Si jalang itu lebih milih si berengsek daripada kita!”
Kamu tidak terima ibumu dipanggil jalang. Semua ini membuat aliran darahmu berdesir terlampau kencang sampai-sampai jantungmu terasa siap meledak. Informasi yang Ayah lontarkan mulai tertancap dalam benakmu sebagai sebuah kenyataan, tetapi kamu tetap tidak mau menerimanya.
“Bohong!” kamu pun memekau sambil melepaskan kedua tangan Ayah dari bahumu. Kemudian, kamu buru-buru berjalan ke luar kamar sambil mengambil ponsel dan menelepon Ibu. Ponselnya tidak aktif.
Sambil berdiri di antara sofa dan televisi dalam ruang keluarga yang terletak di depan pintu kamar orangtuamu, kamu langsung membuka aplikasi chat dan mengetik pesan untuk Ibu.
Ibu di mana?
Ayah ngomongnya ngaco, nih.
Ibu cepat pulang.
Pesanmu hanya menunjukkan centang satu, maka kamu mengirim satu pesan lagi dengan harapan kali ini akan mengubah ketiganya menjadi centang dua.
Ibu di mana???
Namun, yang ini pun tetap hanya centang satu.
“Cepat bereskan barang-barangmu! Kita ke rumah Nenek sekarang,” ujar Ayah.
“Ngapain ke rumah Nenek? Aku nggak mau ke rumah Nenek! Aku mau nunggu Ibu pulang!” sahutmu.
“Ibumu tidak akan pulang!” seru Ayah.
Tangismu meledak, dan kini kamu mulai menjerit dan melolong, “Kenapa Ibu ninggalin kita, Yah?! Ibu nggak mungkin ninggalin kita! Ibu nggak mungkin ninggalin kita!”
Kamu berlari ke kamarmu dan membanting pintu, melepas tas dari pundak dan melemparnya begitu saja ke lantai, lalu melompat ke kasur. Kamu tersedu sedan, kepalamu buncah akan situasi ini. Pikiranmu belum berhasil mencerna, tetapi perasaanmu sudah tahu bahwa situasi ini sangat buruk.
Pintu kamarmu terbuka dan kamu mendengar Ayah melangkah masuk. Dia menghampirimu dan duduk di tepi tempat tidur sambil membelai rambutmu. “Ve ….” Tangannya kini mengelus-elus dan sedikit memijat bahumu lembut. “Tenang … Ayah masih di sini walaupun Ibu sudah pergi …. Ayah tidak akan meninggalkan kamu, Ve.”
Kamu berbalik dan tergugu. “Ibu beneran pergi, Yah? Kenapa Ibu pergi? Kenapa Ibu bisa tega gini ninggalin kita?”
“Ayah juga tidak tahu kalau selama ini ibumu menyembunyikan rahasia dari kita,” jawabnya. “Sekarang, yang penting kita menenangkan diri dulu. Kita pergi dari sini. Kita ke rumah Nenek. Nanti kita pikirkan ke depannya harus bagaimana. Ayo, bereskan barang-barangmu.”
Masih tersedak tangismu sendiri, kamu mengangguk, lalu memeluk Ayah. “Kenapa jadi kayak gini, sih, Yaaah …? Aku nggak percaya Ibu pergi gara-gara Henry ….”
Ayah tidak mengatakan apa pun kali ini. Dia hanya sebentar mengusap punggungmu, kemudian beranjak pergi. Ayah keluar dari kamarmu dan menutup pintu. Kamu kembali menelungkup dan memeluk bantal, lantas menangis lebih keras. Tidak pernah terlintas di benakmu bahwa kamu akan pulang pada keadaan buruk yang menghancurkan keluargamu seperti ini.