Ve

Noura Publishing
Chapter #2

Limbung

NENEK TELAH menyiapkan makan siang sebelum kalian sampai. Berbagai macam lauk-pauk disajikan di meja makan, termasuk tempe bacem kesukaan Ayah. Kamu menaruh tas di sofa ruangan tempat menonton televisi, dan mengikuti ajakan Ayah untuk langsung ke dapur. Kalian bertiga duduk mengelilingi meja makan yang terletak dalam area dapur. Wajah Ayah tampak lebih cerah setelah duduk di meja makan. Dia makan dengan lahap dan kamu senang melihatnya.

“Ve, Nenek senang sekali Ve ke sini,” kata Nenek, membuka pembicaraan denganmu.

“Aku juga senang, Nek,” jawabmu.

“Ve nanti tidur di lantai dua, ya,” lanjut Nenek, tersenyum lebar kepadamu. “Kamar yang biasa Ve pakai istirahat.”

“Iya, terima kasih, Nek ….”

“Ve yang betah ya di sini …. Nenek senang sekali Ve tinggal di sini, menemani Nenek. Nenek jadi tidak sendirian lagi, deh.”

“Iya, Nek. Sambil aku belajar buat persiapan kuliah.” Kamu menekankan bahwa kamu tidak bermaksud tinggal di rumah ini selamanya. Kamu punya rumah dan rencana kehidupan sendiri.

“Kuliah apa? Bukannya kamu tidak jadi ke luar negeri?” kata Nenek.

“Yaaa—” Kamu melirik Ayah sejenak untuk mencari dukungan. “Mungkin kuliah di sini aja, Nek. Nanti aku tinggal cari jurusan sama kampus yang cocok.”

“Tidak usah buru-buru! Nanti saja! Ve sudah lulus SMA, ‘kan? Itu sudah cukup. Sekarang tinggal di sini saja, temani Nenek, ya?” ujar Nenek. “Selama ini Nenek tinggal sendirian, lho. Kalau ada Ve, Nenek jadi tidak kesepian lagi ....”

Kamu berpaling kepada Ayah lagi, sungguh berharap Ayah akan bicara untuk membelamu. Apa pun yang terjadi, kamu ingin tetap kuliah walaupun pada akhirnya tidak jadi pindah ke luar negeri. Kamu tidak ingin jadi anak lulusan SMA yang sehari-hari diam saja di rumah, tinggal di daerah asing, dan hanya berinteraksi dengan neneknya.

“Iya, sementara kita tinggal di sini saja dulu,” kata Ayah.

“Nah, begitu, dong. Ini kan rumah kalian juga,” sahut Nenek, seraya menyodorkan sekali lagi piring tempe bacem yang sudah berkurang setengahnya kepada Ayah.

Ayah mengambil banyak sekaligus, sangat bersemangat dan bernafsu makan. Sedangkan kamu jadi malas-malasan menyendok nasi dan lauk dari piringmu. Nenek menaruh piring tempe bacem kembali ke tengah meja makan, dan perhatiannya beralih pada piringmu.

“Tambah lagi nasinya,” katanya, langsung meraih bakul dan menyendok nasi.

Kamu tersenyum agar tetap terlihat sopan. “Nggak usah. Makasih, Nek.”

“Eeeh, masa makannya sedikit begitu?! Ayo, tambah lagi!” desak Nenek, siap menaruh satu centong penuh nasi ke piringmu.

Kamu cukup terganggu dengan pemaksaan semacam ini. Meski kecil, sesungguhnya sejak tadi banyak interaksi yang mengusik teritorial pribadimu. Kamu sudah memiliki rencana hidupmu sendiri, kamu pun tahu porsi makanan yang cukup untuk tubuhmu sendiri. Desakan ini tampak sebagai suatu kewajaran, tetapi pada hakikatnya berarti pemaksaan kehendak dan serangan terhadap tubuhmu. “Makasih, Nek. Nanti kalau mau tambah, aku pasti ambil sendiri,” tolakmu sopan.

Sambil masih memegangi bakul nasi, Nenek menatapmu tajam. Ayah ikut melirikmu dengan sorot sengit, tetapi terus pura-pura tenang menyendok makanannya.

“Ve kan tahu, tidak boleh membantah apa kata orang tua.” Nenek tersenyum lebar.

“Tahu, Nek. Tapi, aku lebih tahu apa yang aku butuh buat tubuhku.” Kamu balas tersenyum.

Nenek menaruh centong nasi, kemudian berbicara lagi, “Ve, apa kamu ingat, apa yang Nenek ceritakan sejak kamu masih kecil? Tentang Bapak ….”

“Iya, aku ingat, Nek .…”

“Harus ingat, kata Bapak Saya, perempuan baik-baik itu tidak pernah melawan orang tua. Orang tua pasti paling tahu apa yang terbaik. Kalau melawan terus, nanti hidupmu sengsara, lho,” lanjut Nenek, diakhiri dengan senyuman simpul.

Lihat selengkapnya