KAMU MENANGIS semalaman. Foto Bapak di seberang tempat tidur seolah menjadi saksi bisu saat kamu mencurahkan perasaan rindumu kepada Ibu. Kamu kesal sekali atas sikap Ibu, tetapi kamu juga ingin tahu, sesungguhnya apa yang membuat Ibu tiba-tiba pergi? Kapan dia akan menghubungimu?
Meski menonton film kesukaanmu dari ponsel, berada di kamar ini tidak membuatmu betah. Kamu juga merasa bosan. Kamu ingin berada di tempat yang membuatmu bahagia. Kamu ingin berada di perpustakaan Akar.
Pada Senin pagi, Ayah berangkat bekerja seperti biasa. Sekarang, jarak yang ditempuhnya untuk mencapai kantor perusahaan interior tempatnya bekerja semakin jauh sehingga dia harus pergi lebih pagi. Setelah terdengar Ayah keluar dari rumah, kamu pergi mandi. Selesai bersiap-siap, kamu pun memesan taksi online. Permintaanmu diterima oleh seorang sopir yang lokasinya tidak jauh dari sini. Sekarang kamu tinggal berjalan ke jalan raya sebab mobil tidak bisa masuk ke Gang Bapak. Mobil Ayah saja diparkir di lapangan tepi jalan raya. Lalu, kamu mencari-cari Nenek untuk berpamitan kepadanya. Namun, Nenek tidak terlihat di mana-mana, dan pintu depan pun tidak dikunci. Kamu pergi tanpa berpamitan, lalu meluncur menuju daerah apartemenmu.
Rumah Akar terletak di jalan yang sama dengan apartemenmu, di mulut cabang jalan yang menganga ke jalan raya. Setelah menyusuri jalan hingga agak ke dalam, barulah kamu mencapai rumah Akar. Ada sebuah tiang dengan lampu kuning berkedap-kedip di depan gerbangnya, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang hendak berkunjung.
Kamu menyeberangi halaman depan dan memasuki perpustakaan yang berada di bagian depan rumah. Perpustakaan ini telah dibuka untuk umum sejak mami Akar masih kuliah jurusan Sastra Indonesia. Dan hingga sekarang tetap menjadi tempat nongkrong anak-anaknya dan teman-teman mereka. Kamu menyapa seorang perempuan muda yang duduk di belakang meja kasir, tempat orang-orang meminjam dan mengembalikan buku atau membayar makanan dan minuman pesanan mereka. Kemudian, kamu terus berjalan melewati lemari-lemari penuh buku, film, dan album musik, serta meja-meja kayu yang sedang penuh oleh pengunjung. Keluar di teras belakang perpustakaan, kamu menghadap sebuah paviliun mungil yang terletak di seberang taman belakang yang dilapisi rumput hijau yang rapi dan dihiasi petak-petak bunga tapak dara berwarna ungu. Akar, seperti biasa, sedang duduk dan membaca di teras paviliun yang terletak di taman belakang perpustakaannya.
Cowok itu segera melihatmu dan melambai. “Hai, Ve!” serunya, seraya menaruh buku di meja kecil di samping kursinya.
Kamu balas melambai, melompati teras belakang perpustakaan, dan menyeberangi taman ini sampai paviliun Akar.
“Mau kopi?” Akar menawari, begitu kamu tiba di teras paviliunnya.
“Mau. Biasa,” jawabmu, seraya menarik kursi lain ke samping Akar.
“Bentar, ya.” Akar beranjak menghampiri seorang pelayan yang baru saja mengantar minuman untuk pengunjung yang sedang membaca buku di teras belakang perpustakaan.
Cowok itu memberi tahu sang pelayan bahwa kamu ingin kopi susu hangat dan tempe mendoan, seperti pesananmu biasanya. Ketika Akar kembali ke teras paviliun, kamu telah duduk di kursi yang hanya dipisahkan dari kursi Akar oleh meja kecil.
Akar duduk di sana dan menatapmu prihatin. “Mata kamu bengkak banget.”
“Iya ….” Kamu tahu, memakai eye shadow cokelat dan eye liner hitam tebal-tebal tidak bisa menyembunyikan bukti kamu menangis hebat semalaman.
“Ve, kenapa kamu harus tinggal di rumah nenek kamu?” tanya Akar.
Kamu menggosok-gosok wajahmu yang mulai terasa panas dan siap mengucurkan air mata lagi. Namun, kamu sungguh tidak mau menangis di sini.
“Ibu pergi, Kar …,” jawabmu, pelan.