Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #2

Ruang Bersalin

Aku kurang tidur semenjak kemarin malam. Seorang rekan cuti melahirkan hingga jadwal sif jaga berubah. Karena terhitung paling junior, tentu saja aku kebagian porsi lebih banyak daripada yang lain. 

Minum kopi instan di pagi hari tidak banyak membantu. Mataku tetap saja menuntut untuk terpejam barang sejenak. Lorong memanjang yang memisahkan bilik-bilik sempat meliuk dalam pandangan. Sinar matahari yang masuk lewat jendela di pintu belakang pun  gagal mengusir kesan suram ruangan hingga memperparah sakit kepalaku. Sementara itu, lampu tabung di plafon sesekali berkedip akibat jaringan listrik yang katanya bermasalah lantaran sedang ada renovasi rumah sakit. 

Kurang tidur, kelelahan, serta kedatangan pasien yang tidak putus-putus bukanlah kombinasi bagus. Aku keluar dari salah satu bilik menuju meja jaga, masih mengenakan handscoon berlumur darah kering milik pasien yang perineumnya baru selesai kujahit. Aku lantas mendengar obrolan antara dua orang tentang paraji. Rupanya, Bidan Retno mengajak sang dokter muda berbual. Dia memanggil pemuda itu waktu aku mengajarkan teknik hecting luka episiotomi padanya.     

Aku terheran-heran, bagaimana bisa mereka berdua bersikap santai di tengah arus kesibukan ruang bersalin yang tanpa jeda? 

Dokter muda alias koas di sampingku terpingkal-pingkal usai Bidan Retno menamatkan ceritanya dengan mulut berbuih-buih. “Hebat. Itu baru namanya emansipasi,” ujarnya dengan bahu berguncang. Dokter muda itu cukup manis jika tertawa. Deretan giginya rapi dan ada lesung pipit di kanan kiri. Namun, Bidan Retno membalikkan komentar tadi dengan sinis. “Bukan emansipasi, tapi eman-si-sapi itu orang. Menyesatkan!” Keluar umpatan dari bibirnya yang bergincu merah dan tebal. “Sudah dikasih teguran supaya nggak pakai embel-embel ‘bidan’ di tempat praktiknya, tetap saja ngeyel.”

Jujur, aku merasa cukup terluka ditinggal begitu saja menyelesaikan sisa pekerjaan. Sikap Bidan Retno memang kadang tidak jelas. Aku yakin, kisah itu hanya skema untuk menarik perhatian si dokter muda. Dia tidak perlu bersusah payah sebetulnya. Kulit 45 tahunnya yang dirawat dengan glowing skincare–yang aku yakin isinya pasti emas 24 karat–masih sekencang dan semulus kulit 24 tahunku. 

Keabsurdan wanita itu tidak boleh dibiarkan. Deretan bilik di ruang bersalin terisi penuh dan kami tidak punya waktu untuk berbasa-basi mengisi setiap detik yang berjalan. Sambil mengangkat telapak tangan di depan dada, aku memindai jejeran partograf dalam bundel-bundel status yang terbuka, lalu memanggil si dokter muda sebelum dia kembali diracuni oleh cerita berseri lainnya dari seniorku.

“DM, pasien bilik 4 sudah saatnya observasi!” Sengaja kutekan dan kulambatkan kata terakhir hingga si dokter muda terlonjak bangun dari kursi putarnya yang kini menghadap ke arahku. “Ya, Kak. Siap!” sahutnya terburu sambil membetulkan posisi snelli. Tatapan Bidan Retno pun terhunus tajam pada handscoon di tanganku sehingga kulepaskan benda itu, lalu kubuang ke kotak sampah medis warna kuning. Namun, tetap saja dia enggan beranjak dari tempat duduknya yang nyaman di belakang meja. 

Aku masih mencoba bersabar. Sebagai bidan senior, dia berhak menjadi supervisi. Namun, hanya sebatas mengawasi kami berkeliling ruangan untuk menilai kemajuan persalinan setiap pasien. Keterlaluan jika Bidan Retno tidak sampai turun tangan di saat kami kewalahan melakukan tindakan. 

“Permisi, Pak. Bu. Dokter mau periksa dulu, ya?” Aku membuka pintu bilik yang tidak tertutup rapat. Seorang ibu muda berbaring menyamping seraya ditunggui oleh suaminya. Ibu itu pun melirik dokter muda di sampingku, lalu telentang dan menekuk kaki seolah hafal tindakan yang akan dia terima. Kami memang dianjurkan menyebut para koas sebagai dokter. Kasihan betul koas perempuan karena sering tertukar dengan suster alias perawat.

Dengan manut, dokter muda telah berada di sisi ranjang seraya memasukkan tangan kanannya ke dalam handscoon. “Permisi, Bu. Saya periksa dalam dulu, ya.” Dia bersiap melakukan vaginal toucher untuk menilai pembukaan mulut rahim. Dahinya berkerut, senada dengan ekspresi kesakitan yang tampak pada wajah si ibu. Entah nyeri akibat kontraksi rahim atau akibat tindakan dokter muda tadi.

Lihat selengkapnya