Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #3

Paradoks

Harus aku akui, tidak sehat untuk mendorong tubuh bekerja tanpa henti. Aliran darahku mulai kacau. Kepalaku terasa berdenyut karena kelebihan impuls. Jika tensiku sampai turun lantaran kurang tidur dan kelelahan, bisa-bisa aku jatuh pingsan di tengah jalan. Tidak lucu jika tenaga kesehatan malah berakhir sebagai pasien. Aku pernah menyaksikan pemandangan miris seorang dokter muda yang berkeliling visite, sementara dia sendiri dipasangi infus karena menderita tifus. Bersyukur karena kondisiku tidak semengenaskan itu. 

Aku pun teringat pada rekanku yang baru saja melahirkan. Dalam situasi pandemi, dia masih bekerja sambil menanggung beban perut yang membuncit. Terpaksa. Ruang bersalin mendadak kekurangan personel semenjak rencana-rencana operasi bukan darurat ditangguhkan, termasuk operasi caesar yang menjadi amat dibatasi, sementara frekuensi perempuan melahirkan tidak mengenal musim. Situasi sulit itu menekan para ibu hingga batas tak masuk akal. Kami pernah menangani persalinan yang dipaksakan per vaginam. Pasien mengalami partus kasip alias persalinan macet lebih dari 24 jam. Beruntung, ibu dan bayi selamat, tetapi si bayi sempat menginap selama dua minggu di NICU karena menderita infeksi intrapartum.

Aku menoleh sekilas lantas merekam adegan yang sedang berlangsung di belakangku. Pasien ini beruntung karena pandemi baru saja berakhir dan aktivitas kamar operasi kembali pulih. Si suami menaruh telapak tangan di atas tangan istrinya yang sedang memegangi perut seakan sedang berbagi kecemasan yang sama. Saat itulah, tanpa sengaja ekor mataku menangkap ekspresi ganjil di wajah sang loper yang sedang mendorong brankar.  

Zul. Hanya nama itu yang kuhafal karena aku tidak mengenal persis lelaki jangkung pendiam itu secara pribadi. Aktivitasnya mengantar pasien ke sana kemari sudah menjadi pemandangan lumrah. Selebihnya, aku tidak ingat apakah rambut pendeknya selalu berpomade dan disisir ke atas seperti hari ini. Namun, senyum miring di wajahnya yang tirus tampak cukup mengganggu. Sorot mata elangnya jatuh padaku dan mengirimkan gelenyar tidak nyaman. Mungkin akibat tatapan tidak suka dariku, Zul lantas mengalihkan pandangan ke lain arah. 

Selain embus lirih pasien, hanya derap langkah dan bunyi roda bergulir yang terdengar dalam irama konstan. Kami berlomba dengan waktu menyusuri lorong-lorong panjang yang dibangun di atas rawa dari sebuah rumah sakit di pinggiran kota yang sedang direnovasi. Setelah melewati satu blok bangsal yang belum selesai, kami berbelok dan tiba di sebuah gedung yang tampak sepi, tetapi aku tahu penuh geliat kehidupan di dalamnya. Tempat ini menyimpan sosok-sosok tersembunyi. Namun, keberadaan mereka sungguh berarti. 

Bau antiseptik dari lantai vinil berwarna hijau mint tercium kuat begitu aku mendorong pintu kaca besar buram. Aku segera meminta suami pasien untuk melepas sepatu dan melapisi pakaiannya dengan baju pasien yang tersedia di ruang ganti. Dia tidak punya alasan untuk keberatan meninggalkan istrinya di atas brankar sebentar karena seorang nakes mengenakan scrub warna biru muda keluar dari balik pintu geser yang terbuka, lalu mendekati brankar seperti tertarik magnet. Bagus juga, aku jadi tidak perlu repot-repot memanggil petugas yang bertanggung jawab menerima operan. 

“Ini pasien preeklamsia?” tebaknya dengan nada bariton serta logat mengesankan. Otot-otot lengannya menyembul dan tampak padat. Perawakannya ideal. Aku mengenalnya sebagai penata anestesi senior. Penata anestesi adalah perawat khusus yang menjadi asisten dokter anestesi dan memiliki kompetensi dalam penanganan kondisi medis darurat di ruang operasi. Menjaga peralatan penunjang keselamatan pasien demi kelancaran operasi adalah tugas utama mereka.

“Iya, Kak. Sedang dosis maintenance MgSO4.” 

Dia mengangguk-angguk mendengar penjelasanku, lalu tangannya bergerilya memeriksa kantung plastik berisi kit dan obat penunjang operasi yang ditaruh di bawah brankar. “Sip,” cetusnya pendek usai mengaduk isi plastik. “Dokter Sam sudah datang. Pasiennya akan langsung dibawa masuk sekalian epidural di dalam.”

Aku terkesiap ketika tahu bahwa Dokter Samudra, spesialis sekaligus Kepala SMF (Staf Medis Fungsional) Obstetri dan Ginekologi sudah hadir. “Kami telat, Kak?” 

Mata sang penata anestesi nyaris tenggelam oleh senyum di wajahnya. “Dokter Sam yang kelewat rajin. Tutup poli langsung ke sini.” Dalam hati, aku mencelus membayangkan ekspresi penuh kerutan halus di wajah Dokter Sam jika skenario itu yang terjadi. Tidak ada yang pernah siap menghadapi pedasnya komentar sang kepala departemen.

“Bikin panik saja,” komentarku spontan sambil terkekeh pelan untuk meluapkan kelegaan. Lelaki berusia matang itu pun balas terkekeh. 

Lihat selengkapnya