Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #4

Hesty Bestie

Motor bebekku melaju menyusuri jalan kecil sempit dan padat di kota madya yang ramai. Bunyi klakson di mana-mana. Setiap pengendara motor seolah berlomba untuk tiba ke tempat tujuan masing-masing; saling menyalip, bahkan menyelinap di antara mobil-mobil karena harus berbagi badan jalan.

Pesan dan panggilan itu terlalu sukar untuk diabaikan. Aku sampai memohon kepada Ibu agar diizinkan keluar malam sebentar. Omelan dan sedikit ancaman pun tidak menyurutkan niatku karena aku bukan gadis kecil lagi. 

Setelah belasan menit membelah jalan arteri yang padat, akhirnya motorku tiba di pusat kota. Ada beberapa rumah sakit terkenal di area sini, tetapi tujuanku adalah sebuah mal yang kini sedang bertransformasi menjadi megamal. Aku berbelok ke sana lantas memarkir kendaraan di area lantai dasar yang hanya bisa diakses melalui pintu masuk timur. Setelah berjalan melewati area parkir yang remang-remang, gemerlap mal menyambut dari balik kaca dengan pintu yang dijaga oleh satpam–yang kuduga seleksinya takkalah ketat dari bintara. 

Sejenak, kemilau cahaya membutakan ingatanku akan ruang bersalin, rumah sakit, bahkan semua tetek bengek di luar sana. Namun, aku harus menjaga pikiranku agar tetap lurus, dan, ekspresiku tidak boleh kelihatan udik diterpa terangnya lampu yang mungkin menghabiskan cadangan batubara di era krisis energi. Aku langsung meraih gawai dari dalam tas lantas menelepon. “Halo, Beb. Kamu di mana?”

Sahutan di seberang terdengar suntuk. Namun, suaranya langsung melengking bersemangat ketika tahu bahwa aku sudah ada di lokasi pertemuan pribadi tapi bukan rahasia kami. Ya, jika di ruang bersalin aku tidak punya serdadu, maka ketahuilah bahwa aku punya pendukung setia tersembunyi. Jadi, bagaimana bisa aku mengabaikan panggilan sahabat terbaikku? Mungkin, satu-satunya, mengingat reputasiku yang masih belum sejajar dengan para bidan senior. Namun, kami tidak bisa mengobrolkan banyak hal di rumah sakit. Kami harus melakukannya diam-diam di tempat lain yang aman dari jangkauan telinga rekan-rekanku. Tentu saja mal adalah pilihan paling gampang karena takkan ada yang tertarik untuk mengamati dua orang nakes berbagi rahasia di sini, bukan? Bahkan, orang-orang mungkin takkan tahu profesi itu selama kami tutup mulut. 

Obrolan kami pun tidak jauh-jauh dari topik pekerjaan. Terkesan norak, memang, seakan-akan kami adalah kaum gila kerja, tetapi ada metabolit pikiran yang mesti dibuang agar tidak meracuni perasaan. Resep terampuh adalah gibah. Bagian yang semestinya bisa kuperbaiki jika aku rajin ikut kajian rohani. Sementara itu, membaca buku dan menonton film untuk menghibur suasana hati jelas terlalu boros untukku yang tidak punya banyak waktu ini. Aku memegang tiga kali sif sore dan malam yang kadang disambung ke sif pagi. Total masa kerjaku dalam seminggu hampir 60 jam, melampaui batas waktu yang ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan. Aku hanya perempuan biasa yang butuh pendengar setia dan kebutuhan itu cuma bisa dipenuhi oleh seorang sahabat macam Jessika. 

Tidak banyak keturunan Tionghoa yang berminat untuk menekuni profesi di bidang kesehatan, apalagi melamar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, tetapi Jessika adalah salah satunya dan dia adalah bestie-ku. Aku mengenalnya sejak mulai bekerja tahun lalu. Banyak program kesehatan menjadi prioritas dalam anggaran negara saat pandemi, termasuk peluang untuk tenaga kontrak dengan kualifikasi D4 kebidanan. Sejak itulah, aku kerap menyaksikan Jessika mondar-mandir menjemput bayi-bayi baru lahir untuk dibawa ke ruang bayi. 

Pernah satu kali aku bertemu dengannya di ruang operasi, Jessika sedang melakukan resusitasi pada bayi berukuran besar yang menggemaskan, tetapi mirisnya mengalami kekurangan oksigen karena lilitan tali pusar. Pasien tidak pernah memeriksakan kehamilan ke layanan kesehatan dan tidak ada buku KIA pink berisi antenatal care yang biasa dibawa ke mana-mana oleh para bumil. Tahu-tahu, pasien diantarkan oleh keluarganya setelah persalinan macet di paraji karena si ibu tidak kuat mengejan lagi. Pasien itu datang dalam kondisi atonia uteri. Rahimnya berhenti kontraksi. 

Aku dan Jessika bekerja selama beberapa menit menegangkan dengan ambu bag. Kami mengusap perut, dada, dan punggung si bayi dengan cepat; menepuk-nepuk telapak kakinya dengan kuat agar refleks bernapasnya bangkit. Ketika terdengar tangis lemah si bayi dan kulitnya mulai tampak memerah, perasaan kami juga seakan ikut terlahir kembali. Semua orang yang ada di sana bernapas lega. Dengan sigap, Jessika memindahkan si bayi ke ruang NICU–ruang perawatan intensif khusus bayi baru lahir yang mengalami komplikasi kesehatan. 

Sejak itu pula, pandanganku menjadi lebih terbuka. Tiada seorang pun mengharapkan kondisi darurat mengancam nyawa. Tidak pula ibu hamil dan keluarganya yang abai terhadap pemeriksaan prakehamilan. Tugas seorang bidan tidak hanya terbatas menolong persalinan dan segala komplikasinya di ruang bersalin atau merujuknya ke kamar operasi, tetapi juga mendidik kesadaran masyarakat. Tidak seperti dulu, ilmu kesehatan kini berkembang ke arah preventif karena mencegah lebih baik daripada mengobati.

Kembali pada Jessika. Satu hal yang paling kusuka darinya adalah etos kerja yang kuat, tipikal orang Tionghoa. Selain itu, ia juga tepat waktu. Aku melambaikan tangan penuh antusias ketika melihat sosok Jessika sedang duduk di kafe cokelat. Celah sempit kelopak matanya terpicing di kejauhan, lalu lambaiannya memaksaku berlari kecil mendatangi. “Panjang umur, kamu, Beb. Baru … aja aku mau hubungi kamu. Hari ini rasanya aku mau makan orang!” 

Pilihan katanya berada pada skala paling agresif. “Kamu kalah arisan lagi?” sindirku curiga lantaran melihat ekspresinya yang berarti pada satu hal paling buruk. Uang. Ada aturan tidak tertulis di kalangan PNS untuk ikut arisan rutin rumah sakit dengan jumlah fantastis. 

Jessika langsung menekuk bibir masam karena prediksiku ternyata salah. Aku tidak tahu kalau ada yang lebih buruk daripada pemborosan uang bagi Jessika di saat anggaran pernikahannya jadi taruhan. Mengalirlah cerita dari mulut gadis berkulit putih cerah itu tentang gesekan yang sempat terjadi di ruang nifas. Ada bidan senior yang mempromosikan satu merek susu formula ke pasien pascaoperasi karena ASI si ibu belum lancar. 

“Ibu itu masih latihan DBF dengan kami. Lagi pula, wajar ASI-nya belum keluar banyak karena menyesuaikan kebutuhan bayi yang masih sedikit. Gimana nggak pusing coba kepalaku, Hes! Aku mesti nulis laporan apa di status nanti? Kami sudah pernah kena amuk Ndoro Ajeng soal ini.” Jessika menyebutkan panggilan untuk seorang spesialis berdarah keraton dari SMF Anak. 

“Bentar. Kita sedang ngomongin pasien post-SC dengan ERACS kemarin?” Aku mencoba meluruskan inti pembicaraan kami dan langsung diangguki oleh Jessika dengan tatapan berkobar. Drama antara nakes pro-ASI dan sufor sudah seperti penyakit kronis. Sebagian bidan, terutama senior memang masih bersikap lunak tentang pemberian sufor. Sementara, SMF Anak telah punya SOP tersendiri untuk kasus begini. Ibu yang belum mahir atau punya kendala untuk menyusui secara langsung pun masih bisa dipandu untuk pumping ASI. 

Aku menyedot banyak-banyak minuman cokelat rasa mint yang dipesan lebih dulu oleh Jessika. Tidak ada pelototan protes darinya. Status Bebeb di antara kami memang bukan sekadar panggilan mesra di telepon, tetapi juga dalam hal kelonggaran berbagi saliva secara tidak langsung. Jika besok-besok Jessika kena infeksi tenggorokan, bisa dipastikan tersangkanya adalah aku. Sarafku mesti didinginkan segera karena mendengarkan curahan hati Jessika yang sebelas dua belas dengan kasusku, jelas membuatku berapi-api. Kami para junior seringkali harus menjaga sikap dan mengalah di depan para senior. Meskipun kami datang dengan ilmu yang lebih baru dan sesuai fakta lapangan, tetap saja peraturan senior harus dianggap benarlah yang berlaku. 

Itu cerita Jessika hari ini. Aku pun tidak mau kalah mengungkapkan kekesalan sif jagaku yang molor hingga berlanjut ke jatah istirahat. Aku dan dia saling mengadu siapa di antara kami yang kondisinya paling nahas. Jessika mempertaruhkan idealisme dan standar pelayanan demi keuntungan segelintir pihak, sedangkan aku mesti mengorbankan hak dan kesehatanku demi kepentingan orang banyak. 

Lihat selengkapnya