Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #5

Aroma Bayi

Pertanyaan yang sama untuk Bidan Retno: kenapa dia ada di ruang bayi? Selain statusnya yang di-poligami, aku juga tahu cerita tentang Bidan Retno yang belum punya anak di usia menjelang menopause. Maka, praktis cuma kami berdualah bidan di ruang bersalin yang belum punya momongan. Semestinya, kami bisa menjadi akrab, tetapi jelas tidak senasib. Tentu saja aku belum bisa punya anak jika belum punya pasangan, bukan? Turut berduka untuk Bidan Retno. 

“Kakak juga di sini?” tanyaku basa-basi.

“Mau cium bau bayi.” 

Sapaan ringan tadi saja sudah cukup membuat dia naik darah, padahal aku bertanya secara baik-baik. Aku bisa merasakan sensitivitasnya naik setiap kali berada di dekatku seakan-akan aku adalah benda asing yang menempel di bulu hidungnya, lantas membuat ia bersin-bersin. Menjadi alergen seorang senior bukan cara bertahan yang bagus di tempat kerja. Aku lebih senang jika Bidan Retno menganggapku rekan, alih-alih saingan. 

Aku yakin, kalimat bernada sindiranku berikutnya pasti membuat dia jauh lebih sentimental.

“Pasien preeklamsia post-SC kemarin aman, Kak. Operasinya baru selesai jam tiga.”

Aku ingin tahu bagaimana reaksinya mendengar kabar tersebut meskipun sah-sah saja kusampaikan karena pasien itu juga pernah berada di bawah tanggung jawabnya. Namun, ekspresinya tampak datar walaupun kulit putih tidak alaminya itu kini memerah bagai terbakar sinar ultraviolet. Wah, sepertinya dia betul-betul marah. Aku sudah cukup lama untuk menyadari bahwa Bidan Retno adalah tipe orang tak acuh yang lebih senang mengabaikan jika membenci sesuatu. 

“Aku duluan, Kak.” 

Sia-sia saja memergoki Bidan Retno dan berada di ruangan ini bersamanya. Lebih baik aku cepat kembali ke habitatku sebelum dia mulai mencari alasan untuk menyingkirkanku dari jalannya. Akan lebih baik pula jika kami tidak bicara lebih dari lima menit karena energi kami berdua sepertinya tidak cocok dekat-dekat. 

Aku pun tidak menyesali keputusan itu kemudian karena kulihat sebuah brankar meluncur cepat menuju ruang bersalin. Lagi-lagi, Zul si loper. Yah, petugas antar jemput pasien di rumah sakit ini memang sedikit. Tidak heran jika aku pasti akan bertemu loper itu-itu lagi. Bahkan, Zul kadang merangkap sebagai petugas antar jemput kotak sampah sehingga frekuensi kemunculannya di ruang bersalin menjadi lebih sering. Orang yang bisa mengalahkan keluwesan Zul mungkin hanya dokter muda yang mondar-mandir macam setrikaan dan analis kesehatan yang mengambil sampel darah ke ruangan-ruangan. 

Otakku pasti sudah kacau karena mulai memperhatikan aktivitas si loper. Mungkin Jessika benar, secepatnya aku harus cari pacar. Andai ada pacaran syar’i. 

Lihat selengkapnya