“Presentasi bokong murni dan pembukaan hampir lengkap ketika pasien datang, jadi kami tidak punya pilihan selain percobaan partus spontan, Dok.” Itulah alasan yang kukemukakan ketika Dokter Sam–panggilan untuk Dokter Samudra–akhirnya muncul di ruang bersalin. Dia langsung melakukan follow up pasien yang lahiran sungsang. Dengan tergesa-gesa, aku mengikuti di belakang sambil memaparkan anamnesis singkat. Sementara itu, dokter muda yang tengah mengisi berkas rekam medis terpaksa beranjak dari meja jaga sambil membawa bundel tersebut. Dia harus bergerak cepat karena langkah Dokter Sam telah mencapai pintu bilik tindakan. Dia nyaris menubrukku.
Sapaan lantang Dokter Sam menarik perhatian semua orang, termasuk pasutri di ranjang. Dua perawat bayi yang baru menyelesaikan pemeriksaan pun menyisih keluar. Salah satunya adalah Jessika. Sahabatku melayangkan tatapan penuh makna padaku, lalu melirik sekilas ke arah pasien. Anemis, gerak bibirnya. Aku mengikuti arah pandang Jessika, kemudian mendapati Dokter Sam sedang mengamati bayi yang berbaring lelap di dada ibunya. Gerak mata lelaki itu lantas naik dan terfokus pada wajah pasien.
Setelah memperkenalkan diri, Dokter Sam meminta izin untuk memeriksa pasien sebentar. Dia berusaha tidak mengganggu si bayi ketika menekan bagian bawah perut si ibu perlahan. Bagian yang berkali-kali kuperiksa untuk meyakinkan ukuran dan konsistensi rahim di dalamnya. “Berapa banyak perdarahannya, Mbak?”
Pertanyaan untukku dan aku hafal bahwa itu pastinya sebuah perintah. Aku segera meminta izin untuk menyingkap daster salin si ibu, lantas mengintip isi pembalut. Semua tindakan itu kulakukan di balik selimut. Aku sendiri tadi yang membantu memasangkannya pada pasien dan aku bisa menilai perdarahannya masih wajar.
“Banyak?” tebak Dokter Sam ketika menangkap kerutan di dahiku. Kerongkonganku rasanya seret oleh ludah dan dia memang tidak perlu menunggu jawabanku. Dokter Sam ikut melongok untuk memastikan dengan mengobservasinya sendiri. “Plasenta komplet? Derajat ruptur?” Interogasinya mengalir secepat gerakan tangannya yang merapikan pakaian si ibu dengan telaten. Luar biasa.
“Komplet, Dok. Derajat dua, tapi tadi sudah saya pastikan jahitannya bersih.” Jangan tanya bagaimana gugupnya aku menghadapi situasi yang menurutku membingungkan ini. Memang betul pasien tampak pucat, tetapi semua tanda vital bagus dan tidak ada masalah dengan kontraksi rahim. Dokter Sam bertanya langsung kepada pasien.
“Hb terakhir waktu hamil berapa, Bu? Wajah Ibu pucat. Ya, ‘kan, Koas?” Giliran Dokter muda tersadar lantas segera memeriksa konjungtiva pasien dengan menarik sedikit area lingkar bawah matanya, lalu menegaskan bahwa warnanya memang pudar, bukan merah segar. Dokter Sam terus berbicara.
“Tahu golongan darah Ibu?”
“AB, Dokter. Ada di buku KIA.”
“Nanti Ibu diperiksa lab, ya? Bersedia ditransfusi darah jika perlu, ‘kan?”
Si ibu menatap bingung pada suaminya seakan meminta pendapat, tetapi tatapan tajam Dokter Sam terlalu mengintimidasi hingga leher perempuan itu mengangguk tanpa sadar.
“Apa harus transfusi, Dok?”
“Jika kadar hemoglobin tidak membaik setelah transfusi dan perdarahan masih banyak, maka saya akan melakukan kuretase untuk membersihkan rahim. Tapi jika gagal, kemungkinan terburuk adalah rahim istri bapak harus diangkat.”
Aku dan dokter muda berpandangan heran mencerna prognosis dari Dokter Sam yang buruk, sedangkan si bapak memelotot karena sang istri belum terbebas sepenuhnya dari ancaman medis, bahkan kini muncul bayangan yang lebih parah. Namun, aku betul-betul gagal paham dengan jalan pikiran si bapak. Lelaki itu masih mencoba menawar, bahkan kalau bisa membelokkan advis dari Dokter Sam.
“Terima atau menolak, Bapak tetap harus tanda tangan persetujuan. Perlu Bapak ketahui, perdarahan ini dapat menyebabkan gangguan kelenjar di otak sehingga menghambat produksi ASI, bahkan yang paling berbahaya, bisa terjadi gangguan irama jantung dan tekanan darah turun drastis. Jika Bapak ada di posisi istri, apakah Bapak siap bertaruh nyawa?”