Telapak tangan Dokter Sam mampir sejenak di bahuku. Dengan senyum samar dan tatapan tajam yang menembus ke ulu hati, lelaki itu berucap bangga, “Terima kasih atas bantuannya hari ini, Mbak Hesty.”
Tepat saat itu, Bidan Retno tergopoh-gopoh muncul dari pintu depan, lantas terpaku sekian meter jaraknya dari kami. Sekujur tubuhku langsung menegang. Biasanya, ungkapan penghargaan itu senantiasa tertuju pada Bidan Retno selaku koordinator ruang bersalin. Bidan Retno adalah asisten kesayangan Dokter Sam. Namun, aku seolah merebut posisi itu darinya sekarang.
Delik perempuan itu menjalarkan sensasi tidak nyaman ke punggungku bagai aliran gelombang panas El Nino. Mata bundar dan berkisi tajam oleh sapuan celak miliknya pun tampak menghakimi.
Aku tertunduk. Dengan sengaja, dia mendengkus lewat di depanku sebelum menyusul Dokter Sam, lalu menyapa sang kepala SMF dengan ramah dan senyum paling cerah. Aku tidak berminat menguping mereka dan sengaja melambatkan langkah untuk menghindar. Sebisa mungkin gerakanku tidak terdeteksi oleh radar Dokter Sam dan Bidan Retno yang sedang berdiskusi sambil berdiri di luar meja jaga.
Ucapan Dokter Sam barusan di luar perkiraan. Namun, aku tidak ingin terjebak berlarut-larut dalam pujian. Keselamatan ibu dan bayi sudah menjadi tanggung jawabku. Bahkan, aku merasa Tuhan telah bermurah hati tadi hingga aku mampu melewatinya meski banyak drama.
“Kak Hesty.” Si dokter muda memanggil seraya mempertontonkan lesung pipitnya padaku. Dia tampak senang karena berhasil menarik perhatianku kembali dari kekosongan udara–tidak sepenuhnya, karena sudut mataku masih tersita oleh gerak-gerik dua orang lain di sana.
“Kak, temani aku ke PK, dong.” Dia mengacungkan satu spuit penuh darah berwarna merah pekat. Dulu-dulu, aku menanggapi dingin ajakan serupa. Namun, tawarannya datang di saat yang tepat dan langsung kuterima dengan anggukan cepat. Aku memilih berjalan menuju bank darah daripada menelepon. Semua demi menguraikan serangan syok akibat bahasa tubuh agresif dari seniorku. Miris betul, semudah itu rupanya aku kena mental Bidan Retno. Padahal, aku getol mewanti-wanti Jessika agar berani membusungkan dada. Saran itu terasa mengejek setelah aku berada di posisi yang sama.
Sambil melangkah gegas, dokter muda tidak membiarkan waktu kami berlalu begitu saja. Senyum di balik deretan giginya yang rapi terulas menawan tanpa perlu dimanis-maniskan sama sekali. “Kak Hesty tadi berkilau sekali. Tegas seperti komandan perang.”
“Oh, ya? Terima kasih.” Pujian darinya kuterima dengan datar. Dia salah mengira bahwa hidungku bakal kembang-kempis, “Profesi kita memang dituntut tegas karena taruhannya nyawa. Justru aku berterima kasih dibantu sama kamu. Mungkin si ibu jadi bersemangat dibimbing sama dokter muda yang cakep dan perhatian,” ucapku tulus tanpa bermaksud merayu. Walaupun sering dianggap sebagai kacung di rumah sakit, peran dokter muda juga patut dihargai. Merekalah yang paling sering bergadang menerima dan menjaga pasien. Beban kerja mereka juga tak kalah banyak, meskipun tanggung jawab tetap dipegang oleh kami. Para dokter muda itu sering dianggap seperti makhluk gaib. Ada, tetapi tidak berperan secara nyata.
“Nggak usah tersanjung gitu, aku juga pernah jadi mahasiswa dan masih ingat rasanya di posisi kamu,” tukasku cepat-cepat karena hidung dokter muda itu seolah membesar mendengar apresiasiku. Dia pantas menerimanya, andaipun pujian yang dia tujukan padaku tadi sekadar untuk menjilat atau mengamankan posisi seperti sikap lumrah mahasiswa terhadap senior. Saat masuk ke ruang bersalin, dia adalah rekanku, dan kami setara. Selama punya prinsip yang sama, kami adalah sekutu.
“Bisa diulangi lagi, Kak, bagian terakhir tadi?”
Lidahku kelu. Dia melemparkan pertanyaan jebakan setelah ucapanku yang begitu lancar memujinya barusan. Yah, mau bagaimanapun, dia adalah kaum lelaki yang pada dasarnya suka dibelai egonya dengan puja-puji. Sebagai pengingat bahwa aku harus lebih berhati-hati lain kali.