“Cara dia ngomong ke aku itu frontal banget, Jess! Aku nggak terima. Aku bukan cewek gatelan yang suka godain cogan-cogan rumah sakit. Aku cuma melakukan tugas sebagai bidan! Andai disuruh milih, mending si ibu tunggu Dokter Sam datang, baru dia brojol. Ini bukan di gunung, akses kesehatan gampang, kalau saja mereka nurut waktu disuruh SC. Aku udah nggak ngerti lagi, deh. Nolong pasien, disalahin. Pasiennya selamat, juga dinyinyirin. Kalau kamu di posisi aku, gimana?”
Jessika terbengong-bengong mendengar kisah yang kututurkan dengan ekspresi setengah menangis. Tekanan pekerjaan dan serangan Bidan Retno akhirnya membuatku runtuh juga. Tak tahan, aku bahkan tidak menunggu hingga kami punya tempat yang lebih lega untuk menumpahkan perasaan. Saat itu juga, Jessika kutarik ke kantin di area belakang rumah sakit. Dengan penuh empati, dia mengusap-usap lenganku seakan ingin menyalurkan ketabahan dan mengerti situasi yang kualami.
CInilah tidak enaknya jadi jomlo. Tidak ada pasangan untuk berbagi cerita. Namun, punya pasangan juga takkan menjamin aku punya tempat berbagi rahasia yang bisa dipercaya. Salah-salah, mungkin saja situasiku dihakimi sebagai hal biasa. Persaingan di tempat kerja sudah jadi makanan sehari-hari kaum lelaki. Namun, pengalaman dengan Bidan Retno sungguh mengganggu perasaanku sebagai sesama perempuan.
“Aku yakin, Bidan Retno cuma iri sama prestasi kamu. Apalagi kamu junior dia. Nggak usah diambil hati, Hes.”
Aku pun menarik napas panjang. Apa, sih, yang perlu dicemburui oleh perempuan itu dariku? Posisinya di ruang bersalin tidak terancam sama sekali oleh keberadaanku. Mestinya, dia bisa lebih bersikap demokratis menerima perubahan situasi di tempat kerja.
Ah, Bidan Retno memang berasal dari generasi tua yang lebih kolot. Aku tidak percaya sama sekali jika dia tidak pernah menerima kasus persalinan sungsang sebelumnya. Jam terbangnya sudah tinggi. Mungkin saja Bidan Retno sudah terbiasa dimanjakan oleh SOP rumah sakit dengan mengoper kasus itu ke ruang operasi. Bagaimana tim kami bisa seimbang jika supervisornya tebang pilih kasus lantas melimpahkan yang susah-susah kepada bidan lain? Setidaknya, dia punya punya rasa tanggung jawab untuk pasang badan, bukannya lantas menyalahkan. Aku bukan saluran pelimbahan.
“Anggap saja kompetensimu diakui, jadi dipercaya pegang kasus yang menantang.” Jessika membesarkan hatiku secara positif.
“Tapi, Bidan Retno nggak berpikiran begitu! Dia menuduh aku membangkang!”
Jessika pun memijit kening pusing sambil memejamkan mata. Dia lantas menunjuk wajahku sebagai afirmasi. “Betul, itu. Amannya kamu dengerin dia aja, Hes.”