Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #10

Ironi

Alarm darurat berbunyi keras di kepalaku ketika melihat sesosok perawat laki-laki keluar dari bangsal isolasi. Tampaknya, dia baru menyelesaikan sif jaga karena tidak mengenakan APD lengkap. Aku memilih berjalan cepat-cepat sebelum perawat itu melihatku. Namun, tetap saja aku mendengar dia memanggil namaku seraya menyongsong dengan setengah berlari. 

Yusuf. 

Berpapasan dengannya akan senantiasa terasa canggung bagiku setelah peristiwa perkenalan kami yang tidak biasa. Dulu, aku kerap melihatnya lalu-lalang dalam hazmat yang hanya memperlihatkan area mata. Dia diperbantukan sebagai petugas keliling untuk membawa tabung-tabung oksigen karena SMF kami kekurangan staf laki-laki. Tidak mungkin kami selalu mengandalkan Zul atau menyuruh-nyuruh Dokter Sam menjadi agen dadakan, bukan? 

Celakanya, waktu itu aku masih sering keliru mengenali orang karena tidak hafal setiap wajah. Tanpa merasa janggal, kupanggil dia ‘Mbak’ karena kelopak matanya yang dihiasi rambut lentik terkesan cantik. Tinggi badannya pun tidak menjulang. Aku baru menyadari kesalahan tesebut setelah mendengar suaranya yang bernada bariton. Laki tulen. Sejak itulah, aku jera bertingkah sok akrab terhadap orang baru. Aku takut melakukan kesalahan fatal saat mengidentifikasi gender seseorang.

Yusuf hanya tertawa menanggapi dan menganggap perkenalan kami amat berkesan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin saja dia menduga yang tidak-tidak bahwa itu hanya modus dariku. Tapi, sungguh, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Yusuflah yang berkeras mempertahankan kesalahpahaman itu sampai sekarang. 

“Hesty,” panggilnya serak dengan terengah-engah. Suaranya memang tidak semerdu wajahnya, tetapi amat khas dan langsung bisa dikenali. Kubalik punggung pasrah karena sia-sia saja menghindar setelah tertangkap basah. Yusuf akan terus memanggil dan mengejarku sepanjang lorong. Bisa kulihat semringah di wajahnya. Senyum Yusuf sangat menular hingga mau tak mau aku juga membalasnya. 

“Belum mau pulang, Hes?”

“Masih lanjut jaga–” Langsung kusesali jawaban itu karena aku telah membuka peluang agar dia bisa mengikutiku ke ruang bersalin. Betul saja. Tak lama kemudian, Yusuf mengutarakan keinginannya untuk mengantarku ke sana. Aku segera merinding membayangkan bagaimana tatapan Bidan Retno nanti. Sebelum ini pun, aku sudah tidak nyaman menerima tatapan Yusuf. Lelaki satu ini memang tidak peka membaca tanda-tanda risi dari bahasa tubuhku yang berjarak saat melangkah cepat, berharap dia berubah pikiran agar mengabaikanku seperti polisi tidur yang melintang di tengah jalan. Namun, Yusuf malah menjajari penuh semangat lantas menggiringku dalam pembicaraan serius. 

Lihat selengkapnya