Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #11

Empati vs Simpati

“Lala nggak mau ngelahirin! Sakiiit!” 

“Sabar, Nak. Sakitnya sementara saja. Nanti juga hilang setelah bayinya keluar.”

“Keluarin aja bayinya sekaraaang!”

“Ambil napas panjang, Mbak. Keluarkan lewat mulut. Tapi jangan mengejan dulu, ya? Tahan sampai nanti dikasih tahu.”

Suara-suara perempuan bersahutan memenuhi bilik tindakan. Salah satunya adalah milikku. Saat ini, aku sedang sibuk menenangkan seorang perempuan muda yang merengek-rengek kesakitan di atas ranjang. Kakinya menendang-nendang, sementara tangannya mencakar seakan ingin mengoyak alas tidur. Pasien diantarkan oleh sang ibu karena suaminya sedang bekerja di kapal. Kami terpaksa memberikan keringanan bagi pasien untuk ditunggui selain oleh suami karena kondisi mentalnya tidak stabil. Jika dia kesulitan memahami instruksi yang tadi kuberikan, maka aku tidak berani berharap banyak. 

Emma dan Jihan bergantian melongok dengan heran. Baru kali ini, kami berjumpa pasien rewel luar biasa karena ambang nyerinya hanya setipis kulit ari. Ketika suasana makin gaduh karena perempuan itu menjerit-jerit histeris hingga terdengar ke meja jaga, Bidan Retno muncul. Pasien itu dia bentak tanpa rasa kasihan. “Nggak usah ngeluh-ngeluh sakit. Bikin anaknya dulu enak, ‘kan? Kalau nggak mau sakit ngelahirin, nggak usah nikah! Kecil-kecil sok-sokan jadi ibu.” 

Kalimat Bidan Retno menyambar dahsyat bagai kilat. Bukan pasien saja yang langsung terdiam, tetapi juga aku dan si calon nenek. Level ketajaman lidah seniorku membuat ibu pasien hanya mampu tertunduk seraya mengusap pucuk kepala putrinya dengan kaku. Bidan Retno yang berucap, aku yang merasa tidak enak. Bidan juga manusia–yang modelnya galak seperti Bidan Retno bisa ada di mana saja.  

“Miring ke kiri, ya, Mbak. Agar aliran darah ke bayinya lancar dan cepat juga pembukaan,” bujukku sambil membantu memosisikan pasien yang kini telentang. Matanya menerawang kosong ke langit-langit. Rupanya, dia syok kena marah Bidan Retno dan baru berani menjawab sesenggukan setelah seniorku itu pergi. 

“Makin sakit, Bidan …. Apa Bidan nggak pernah ngelahirin?”

Napasku tersendat. Aku tidak punya jawaban bijak untuk keluhan satu ini. Sakit yang pernah kurasakan cuma dismenore. Tentu saja nyeri haid tidak ada apa-apanya dibandingkan kontraksi his.

Komentar ibu pasien makin membuatku serbasalah. “Lala dulu saya jodohkan sama pelaut sebelum dia tamat SMA. Waktu itu, saya sedang sulit-sulitnya cari duit pas Covid. Jika menikah, setidaknya ada yang menjamin hidup dia. Saya nggak ada rencana sengaja menjerumuskan anak buat nikah dini, Mbak Bidan.”

Baiklah, mungkin kisah hidup Lala dan ibunya memang sulit dan aku tidak berhak menghakimi situasi mereka. Namun, Lala sepertinya juga belum siap menjalani proses menjadi seorang ibu sebagai konsekuensi setelah menikah–suka atau terpaksa.  

Aku harus menyisih sebentar untuk menjernihkan isi kepala. Namun, keputusan tersebut tetap tidak berhasil menyelamatkanku dari polusi suara. Teriakan Lala yang berulang-ulang memanggil suaminya, memaksa aku, Emma, dan Jihan berpandangan bingung. Kami khawatir teriakannya akan mengganggu pasien lain. Tatkala dia bilang ingin mati saja, mungkin penderitaannya sudah tak tertanggungkan. Ancaman Bidan Retno pun tidak membuahkan hasil. Lala bebal seperti putri manja yang sedang meregang nyawa.

Lihat selengkapnya