Menjelang magrib, waktu seolah melambat. Bilik-bilik tindakan kosong karena pasien sudah dioper semuanya ke ruang operasi dan nifas. Ketenangan ini mestinya jadi berkah bagi segenap otot-ototku yang lelah. Pada saat itu, kelopak mataku diberati oleh kantuk luar biasa. Namun, tidur bakda Asar takkan membuatku lebih segar. Aku pun memijit-mijit pelipis agar tetap terjaga.
Sesuai perkiraan, Bidan Retno tidak kembali di saat yang tepat karena petang ini kurasa sepi nian. Emma dan Jihan sedang asyik bersandar di kursi sambil bermain gawai, sesekali mereka mencuri waktu dokter muda yang sedang berselancar di dunia maya. Pemuda itu membawa laptop ke meja jaga dan nyaris tak bisa disela. Dia berdalih punya referat yang harus kelar sebelum kembali ke rumah sakit pendidikan utama. Jemarinya sibuk menggulir jurnal demi jurnal pada layar–yang belum dibaca pun sudah bikin sakit kepala.
Aku sendiri sedang berjuang mengisi laporan di buku aplusan dengan energi sekian watt. Mencatat semua printilan termasuk tugasku sebagai junior. Tidak boleh ada yang terlewat atau Bidan Cahaya, senior sif jaga berikutnya akan mengejarku seperti buronan.
Sebetulnya, aku butuh laporan Bidan Retno untuk status terakhir pasien bernama Lala. Mood-nya mungkin sudah lebih baik setelah kencan lokasi bersama suami di ruang operasi. Kasus pasien ODHA juga tidak perlu kukhawatirkan karena dia akan kembali ke ruang isolasi, sementara si bayi akan menjadi tanggung jawab Jessika dan kawan-kawan selama beberapa minggu ke depan. Setelah lahir, bayi itu akan langsung dapat penanganan diagnosis dini untuk mencegah penularan HIV dari ibunya, kata Jessika.
Tahu tidak, Hes? Kebanyakan ODHA itu ibu rumah tangga. Mereka tertular dari suami yang senang jajan di luar. Ada juga yang dapat dari suami gay!
Aku pun bergidik mendengarnya serta berpikir kalau dunia ini tidak adil. Ibu-ibu rumah tangga itu bukan perempuan-perempuan pekerja seks komersial yang pantas mendapat nasib buruk. Bayi-bayi malang itu juga tidak layak menderita jika sampai tertular. Maka, cukup masuk akal bagiku jika rumah sakit tidak pernah menolak mereka walaupun kami bukan rumah sakit rujukan utama. Andaikan Lala paham kisah ini, perempuan muda itu pasti akan jauh lebih bersyukur.
“Kak Retno belum balik juga, sih?”
Emma mengeluhkan hal remeh yang sudah tidak kupedulikan semenjak tadi. Jihan menimpali dengan kritis karena dia mencium bau-bau kencan tersembunyi. Rupanya, pemikiran keduanya bertemu di titik kecurigaan yang sama. Aku lirik, dokter muda agak mengernyit karena gagal berkonsentrasi dalam suasana gaduh buatan rekan-rekanku. Kasihan.
“Hes, Kak Retno tadi bilang apa sama kamu?” tanya Emma.
“Ta-hu.” Aku mengedik malas.
“Dih, susah ngomong sama jomlo. Sarafnya nggak peka.”
Pulpen di tanganku tergenggam erat karena kata-kata Emma terasa amat menusuk. Meskipun berpura-pura mengabaikan, tulisanku di atas kertas pun goyah.
“Hes, kamu pernah dengar kegiatan liqo keliling dari rumah sakit ke rumah sakit?"
Pertanyaan Jihan terkesan ambigu, tetapi aku tahu arahnya ke mana. Apalagi ketika Emma menyahut lebih dulu. ”Oh, liqo dokter-dokter buat cari jodoh? Kamu kepingin ikutan juga, Hes? Bisa-bisa, kamu langsung nikah di sana. Tapi, kalau nggak sukses, lowongan istri keempat suaminya Bidan Retno masih tersedia, tuh.” Maksudnya mungkin hanya bercanda, tetapi sanggup meruntuhkan tiang-tiang egoku hingga terguling dan patah.