Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #13

Sugar Daddy

Meskipun berstatus jomlo, aku juga tidak lepas dari yang namanya backstreet. Diam-diam, aku bertemu Jessika di luar selepas sif jaga sore. Terpaksa, karena Ibu tidak perlu tahu kehidupan keduaku yang hobi berpelesir. Mal di pusat kota selalu menjadi destinasi favorit, terutama jika isi dompet masih kencang-kencangnya seperti perut bumil.  Luar biasa rasanya menjadi wanita karier yang mandiri, lalu menikmati jerih payah sebulan penuh dengan memanjakan diri sendiri. Aturan rumah bisa ditaruh di nomor kesekian dulu. 

Kebetulan, nafsu mencamilku sedang kambuh gara-gara kelakuan Bidan Retno yang ajaib tadi petang. Pasalnya, semua fetoskopi Doppler di ruang bersalin sedang ngambek. Gangguan kecil itu lantas membuatnya mengomel tidak keruan saat memeriksa rekam medis yang diisi oleh dokter muda. Bidan Retno tidak segan-segan menampilkan belang aslinya yang garang. Aku pun turut kena imbasnya karena harus membantu dokter muda itu menghitung denyut jantung janin berkali-kali dengan cara manual–si koas selalu meminta bantuanku karena di antara kami sudah terjalin simbiosis mutualisme yang kuat. 

Kesempatan bertemu Jessika pun langsung kumanfaatkan untuk curhat. 

“Jiah, si Mak Lampir emang udah kesambit sejak di OK,” lapor Jessika. Sahabatku berbisik kendati risiko pembicaraan kami disadap amatlah kecil. “Asal kamu tahu, ya, Hes. Suaminya hari ini nggak ikut operasi. Dia sampai bolak-balik ngecek jadwal ke sekre bedah. Katanya, si bapak sedang izin main tenis, tapi Bidan Retno nggak tahu-menahu.” 

Nah, aku paham sekarang pangkalnya. Namun, itulah ajaibnya Bidan Retno. Bukannya menelusuri ke mana si suami menghilang, seniorku itu malah balik ke ruang bersalin untuk mencari kalung yang tercecer. Aku pun tidak tahan ingin menanggapi. “Main tenis, bukan penis, ‘kan? Masalahnya di mana?”

Kelopak mata Jessika yang sipit mendadak besar. “Di otakmu, Hesty Bebeb! Kesian banget kupingku hari ini tercemar.” Jessika menggosok-gosok daun telinganya dengan sikap yang menurutku amat lebai. 

“Bukan di aku, Jess, tapi suami Bidan Retno. Lagian aneh banget, masa suami istri nggak ada komunikasi?” 

“Aku nggak belain seniormu, ya. Suaminya bikin alasan aneh-aneh, main tenis sama Dokter Sam. Wong, Dok Sam SC cito, kok. Pasti dia lagi sama madu-madunya, tuh. Bo’ong tapi nggak niat, jatuhnya malah nge-prank. Konyol, ‘kan?”

Aku pun tidak berminat menggoda Jessika lagi karena sepertinya dia sedang mengalami PMS–pre-marriage syndrome. Pembawaannya jadi sensitif ketika membicarakan suami orang. 

Reaksi Bidan Retno juga hiperbola. Tiada habis-habisnya membicarakan seniorku yang satu itu, mending aku mencari tahu soal Lala. “Kabar pasienku yang nggak kooperatif tadi gimana, Jess? Dia masih nanyain suaminya?” tanyaku penasaran. Jessika pasti sempat bertemu pasien itu sebentar pasca-op untuk memasangkan gelang pengenal pada ibu dan bayinya. 

“Pasien yang itu?” Kening Jessika berkerut sebentar. Jemarinya menggaruk dagu sampai dia mengingat sesuatu. “Anteng, tuh. Nggak ada drama-dramaan kayak yang kamu bilang. Mungkin dia terpesona sama Dokter Sam.” 

“Serius, dong, Jess ….”

“Kapan aku nggak serius? Nggak macam kamu. Dikit-dikit, Yusuf. Ti-ati, loh, malah jodoh. Aku nggak mau dateng kalau kamu betulan sama dia!” 

Jamur krispi yang sedang kukunyah mendadak susah ditelan. Kutukan Jessika tidak bisa dianggap remeh karena terucap dari bibir perempuan yang baik hati dan sering teraniaya. Aku khawatir omongannya jadi kenyataan. Meskipun lelaki yang tersisa di dunia cuma Yusuf, aku tidak sanggup. 

“Udah, please.” Aku memohon. “Pasien itu sempat bikin geger di ruang bersalin. Makanya, aku nanya.”

“Tenang aja, semua terkendali. Tapi, nggak tahu nanti kalau efek biusnya habis. Lagi pula, itu bakal jadi urusanku sama bidan di ruangan, bukan kamu,” timpal Jessika ada benarnya. “Yang jadi masalah ini, pasien ODHA. Si ibu ngotot mau menyusui anaknya ….” Gaya bicara Jessika yang tadinya meletup-letup, berangsur sayup. Keinginan si ibu ODHA untuk tetap memberi bayinya ASI eksklusif menjadi sungguh dilematis. Tidak hanya bagi pasien, tetapi juga Jessika dan kawan-kawan. 

“Advis Ndoro Ajeng gimana?” Kasus ini terlampau sulit dicerna buatku yang belum berpengalaman mengasuh bayi.  

“Tunggu hasil PCR keluar dulu. Kalau semisal, amit-amit, positif … ya, dikasih izin sambil lanjut ART. Kalau negatif, tetap dianjurkan cari donor ASI sepulang RS nanti.”

Pilihan yang sungguh tidak mudah, apalagi di daerah yang sepengetahuanku terkenal agamis dan ketat dalam penerapan syariat, susu formula tetap jadi pilihan praktis. Namun, tentu saja ada risikonya. Kemungkinan bayi akan lebih mudah sakit karena susu formula tidak seramah ASI dan dapat melukai usus. 

Lihat selengkapnya