Mengetahui skandal pribadi orang nomor satu di ruang bersalin bukanlah suatu kebanggaan. Jessika menganggapnya berita besar, tetapi aku berharap kisah itu takkan pernah tergelincir keluar dari lidahku. Pemandangan Dokter Sam bersama perempuan pun menari-nari di kepala sepanjang malam. Dia yang selingkuh, aku yang kepikiran. Ketika membaca namaku bersanding dengan Bidan Retno di jadwal jaga keesokan hari, barulah aku sadar telah silap.
“Kok Hesty nggak dibangunin, Bu?” protesku pada Ibu yang sedang menumis sambal di dapur. Aku bersin-bersin sampai menangis mencium aromanya.
“Ibu kira kamu lagi haid atau masuk siang. Kamu, sih, kebiasaan bolong salat Subuh.”
Sia-sia saja melampiaskan kekecewaan pada orang tuaku yang tidak bersalah. Aku mencatat rekor mandi tercepat hari itu. Tidak sampai lima belas menit kemudian, aku sudah berpenampilan rapi dalam seragam. “Makanannya dibawa ke RS aja,” kataku sambil mengemas nasi kuning yang masih mengepul beserta lauknya ke dalam kotak bekal.
Zul sedang memindahkan kotak-kotak sampah di depan ruang bersalin ketika melihat kedatanganku. “Pagi, Mbak–”Aku tidak membalas sapaannya karena dari ujung lorong, Bidan Retno dan rekan-rekanku tampak sedang berdiskusi di depan meja jaga. Aku bersiap menebalkan kuping untuk menerima omelan karena datang terlambat dan ketinggalan aplusan. Semoga dokter muda siap membagi contekan tentang semua pasien di ruang bersalin.
Namun, rupanya ada kejutan lain menanti. Reka adegan yang sebelumnya ada di kepalaku buyar. Alih-alih menemukan dokter muda, justru ada empat orang gadis berseragam serbaputih yang khas menyambutku. Ada lis pita biru pada tepi kerudung, ujung lengan, dan rok mereka. Dengan malu-malu, mereka memperkenalkan diri sebagai mahasiswi akademi kebidanan yang akan menjalani tugas praktik di rumah sakit kami selama beberapa minggu.
Seketika, aku merasa lebih tua satu abad. Sebelumnya, hanya ada dokter muda yang perlu diawasi, tetapi kini ada ‘adik-adik’ baru. Sisi positifnya, aku merasa bukan satu-satunya junior lagi.
Belum sempat kutelusuri keberadaan si dokter muda, seorang pasien kiriman dari poli obgin datang. Usianya sekitar tiga puluhan, punya wajah manis dengan gaya rambut pendek yang membuatnya tampak lebih muda. Penampilannya pun trendi. Sekilas, aku tidak mendapati keanehan selain cara jalannya yang agak pelan dan hati-hati. Aku bertanya-tanya keluhan apa yang mungkin dialami oleh perempuan ini. Mungkin, dia punya masalah dengan IUD atau rujukan IVA positif dari Puskesmas untuk krioterapi–aku belum melakukan anamnesis lengkap. Satu hal yang menarik perhatianku, dia diantarkan oleh seorang pria asing berkebangsaan Nigeria yang diakui sebagai suaminya.
Perasaanku mulai tidak enak ketika membaca diagnosis singkat yang sepertinya ditulis dengan tergesa-gesa, yakni observasi laserasi. Bidan Retno langsung menebak, “Kecelakaan abis main?” Tahu-tahu, dia berdiri di samping kursiku dan merebut bundel rekam medis tersebut.
Perempuan itu mengangguk malu-malu di depan meja pemeriksaan, sementara suaminya menatap bergantian pada kami berdua dengan tatapan khas seorang bachelor–meremehkan. Lelaki itu seperti tokoh kulit hitam terpelajar yang keluar dari tayangan televisi. Pulau Kalimantan memang lumrah diserbu oleh tenaka kerja asing, terutama dari negara-negara Afrika dan China, sehingga aku tidak merasa heran lagi.
“Baru nikah, ya?” tembak Bidan Retno, lantas kembali diiakan oleh perempuan tadi dengan senyum paksa yang menguarkan rasa sakit. Perempuan ini nyaris berhasil menutupi ketidaknyamanan fisiknya dengan respons yang sopan. Sebetulnya, dia tidak perlu berpura-pura karena tidak ada pengaruhnya juga untuk menangkal kesinisan Bidan Retno yang persisten.
“Mari, Bu. Langsung kita periksa, ya?” ujarku tidak ingin menunda tindakan. Kasus laserasi atau robek di area organ intim wanita mungkin terdengar konyol dialami oleh pengantin baru, tetapi aku ngeri juga membayangkan kelanjutan hubungan suami istri ini ke depannya agar tragedi yang sama tidak lagi terulang. Perempuan ini harus berhati-hati menjaga keselamatan dirinya. Diam-diam, aku pun penasaran jika insiden ini mengandung unsur kriminal. Bagaimana jika mereka sebetulnya bukan suami istri dan perempuan ini mengalami rudapaksa? Ketika kekhawatiran itu kuungkapkan pada Bidan Retno, dia malah mementahkan kecurigaanku. “Dasar jomlo,” katanya. “Baperan dikit ketemu Miss V dihajar Mister P jumbo. Nggak usah sok polos, deh.”
Aku menggigit pipi bagian dalam. Kutahan pertanyaan berikut yang seharusnya kulontarkan lebih awal: apakah kami perlu berkonsultasi dengan Dokter Sam? Namun, kerumunan mahasiswi-mahasiswi Akbid di luar pintu ruang pemeriksaan ginekologi menyadarkanku untuk tidak gagal fokus. Mereka sudah siap melahap kasus menarik pertama hari itu. Bisikan-bisikan mereka berdengung di balik punggungku.