“Mbak-mbak semua tahu? Di Barat, ibu-ibu mengonsumsi ari-ari bayinya sendiri untuk suplemen kesehatan dan kecantikan.”
Dokter Sam tidak peduli pada ekspresi kecut di wajah bidan-bidan yang sedang menahan mual. Hanya Bidan Retno yang tampak tidak terpengaruh. Perubahan hati suasana perempuan itu memang jarang tertebak, apalagi membaca jalan pikirannya yang unik.
Aku yakin, ketidaknyamanan membahas topik ini lebih karena alasan etis dan budaya. Bukan perkara mudah untuk mengubah perilaku masyarakat Banjar yang terkenal agamis. Setiap bagian tubuh manusia yang terlepas, termasuk ari-ari, akan diperlakukan sama. Setelah darahnya dicuci bersih, ari-ari dibungkus dengan kain kafan, dimasukkan dalam kendi tembikar, lalu dikubur dalam tanah sesegera mungkin. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga si bayi jika kami meminta tali pusar anak mereka untuk diambil sebagai donor. Mungkin, rasanya sama saja dengan meminta sepasang ginjal. Gratis, pula, atas nama ilmu pengetahuan karena segala produk pengobatan dari ari-ari dilarang diperjualbelikan. Semua murni untuk tujuan medis yang mulia, tetapi cukup kontroversial dalam masyarakat.
“Kita punya fatwa MUI nomor 12 Tahun 2019 tentang transplantasi organ dan jaringan tubuh pendonor mati untuk orang lain.” Dokter Sam kembali mengulang pernyataan dari utusan-utusan tadi.
“Ya, tapi masalahnya, bayi yang diambil tali pusarnya itu masih hidup. Orang kita percaya kalau bayi bakal mudah jatuh sakit jika ari-arinya tidak dikubur.” Bidan Cahaya angkat suara. Berpasang-pasang mata di sekitar makin tegang hingga Dokter Sam menghela berat sejenak. Namun, tidak tampak pertanda bahwa dia akan mundur. Posisinya sebagai kepala SMF malah makin dominan.
“Saya sepakat. Akan jadi masalah jika ari-ari diambil dan disalahgunakan untuk ilmu sesat, sementara dalam penelitian ini tujuannya baik. Insyaallah tidak akan terjadi apa-apa,” sahutnya bijak.
“Dokter, bukankah sebelum ini juga ada penelitian serupa dengan darah plasenta? Kenapa kali ini harus mengambil ari-ari?”
Tak disangka, penjelasan Dokter Sam masih berani disangkal oleh argumen lain. Datangnya dari Bidan Retno sendiri, orang yang selama ini menjadi pendukung setia dan tidak pernah menyalahi kata-katanya.
Atensi kami semua terfokus pada Bidan Retno. Dia memang bidan senior. Pengalamannya di rumah sakit tentulah tidak diragukan. Apalagi dia pernah mengambil peran dalam berbagai aktivitas penelitian. Dia juga yang getol mengingatkan kami untuk terbiasa melakukan program yang kerap dilalaikan di ruang bersalin. Misal, Iniasi Menyusui Dini (IMD). Maka, aku tidak punya poin keberatan atas koreksinya. Semua ada dalam kompetensinya.
Akan tetapi, Dokter Sam tetap memahami materi lebih dalam daripada kami. Aku tidak bisa menangkap setiap kata dalam kalimatnya dengan baik tatkala dia menjelaskan tentang proses pembentukan organ plasenta. Hanya intinya saja yang bisa kusimpulkan bahwa ada perbedaan sel induk dari darah plasenta dan tali pusat. Para peneliti butuh bahan yang lebih menjanjikan untuk dikembangkan di laboratorium. Masih lebih bagus jika mereka belum perlu mengembangkan embrio sendiri di laboratorium dari donor sperma dan sel telur, katanya. Itu bakal jauh lebih kontroversial. Mendengarkan penjelasannya saja, aku bergidik karena sejauh itu pengetahuan mampu berinovasi dengan menjamah area yang tidak dibayangkan oleh manusia.
“Tapi, Dok–”