Aku mulai merasa ada yang salah ketika menyadari bahwa si dokter muda tidak ada di mana-mana. Dan, makin merasa bodoh karena baru punya inisiatif untuk mendekati rekanku, Emma. “DM sakit?” Kuhentikan dia saat berpapasan di kamar sterilisasi. Emma meringis saat tatapannya sekilas jatuh pada baskom kecil berisi ari-ari bersih di dekapanku–minus tali pusat karena sudah disisihkan untuk donor pertama hari ini. Aku tadi sudah menghubungi petugas yang akan segera mengambilnya. Tugas yang mestinya bisa kuserahkan pada koas.
Delik tajam Emma berbicara seolah aku baru mengotori tanganku dengan darah–bukan secara harfiah, tentunya. Jenis tatapan horor yang sama artinya dengan siapa lagi yang mati kala pandemi memuncak. Siapa pun itu, yang jelas bukan kemanusiaanku. Aku hanya menjalankan tugas dari Dokter Sam. Andai aku punya keberanian untuk menentang si peselingkuh itu. Ah, dokter juga manusia.
“Sudah balik ke habitatnya,” jawab Emma getas. Wah, aku tidak tahu apa-apa. Dokter muda bahkan belum mengembalikan fetoskopi milikku yang ada padanya. “Kok, nggak pamit?” Menurutku, pertanyaan itu masih wajar sehingga Emma tidak perlu memiringkan alis segala. Untunglah, dia lantas menjelaskan dengan tuntas.
“Rolling karena dia dipanggil dospem. Penggantinya datang hari ini.”
Dua kejutan dalam satu hari. Luar biasa. Setidaknya, dia baik-baik saja. Pergi satu, datang yang baru. Perguliran koas sudah biasa dalam dinamika rumah sakit, maka aku cuma bisa berharap koas penggantinya takkalah rajin dan juga punya sifat terpuji yang bisa diandalkan. Sementara itu, semuanya masih serba takpasti bagai menebak isi kotak misteri.
Alhasil, sepanjang hari aku dipenuhi pikiran menunggu koas tersebut dan antusiasmeku kian menipis tatkala jam dinding mendekati waktu pulang. Para mahasiswi Akbid sudah pamit duluan usai pengarahan dari Bidan Retno. Aku pun bersiap mengemasi tas, lalu terdengar suara merdu perempuan menyapa.
“Halo, Kak Bidan …. Kenalin, aku DM baru.” Titian nadanya terdengar riang. Dia sungguh menawan bagai bintang layar kaca keturunan Indo-Eropa. Bentuk tubuhnya bagai dua kurva seimbang di balik snelli dan kerudung berbahan halus. Namun, riasannya agak berlebihan seolah ingin menghadiri pesta ballroom.
“DM baru?” Bidan Cahaya yang baru berkeliling untuk melanjutkan sif jaga langsung dia salami dengan sikap akrab. Seniorku menyambut dengan kaku.
“Frida.” Dia memperkenalkan diri.
“Firda?” Ucapannya terlalu cepat hingga Bidan Cahaya mesti mengulangi kedua kali.
“Bukan, Kak. Fri-da. Dokter Frida Amani.” Senyum di wajah koas itu tampak palsu, tetapi nada bangganya terdengar sungguh asli. Dia memandangi kami satu demi satu dengan sorot mata menyipit, mengingatkanku akan ekspresi bengis Dokter Sam. Ah, perasaanku saja?
Sementara itu, Bidan Retno sama sekali tidak peduli karena dokter muda perempuan tidak pernah menarik perhatiannya. Dia hanya mengangguk sekilas ketika Bidan Cahaya memperkenalkannya sebagai kepala ruangan, lalu pergi begitu saja. Senyum di wajah dokter muda pun surut dengan sendirinya menerima perlakuan dingin tersebut.
“Hes, kamu nggak pulang?” tegur Bidan Cahaya heran padaku yang malah bergeming.
“Sebentar lagi, Kak. Aku mau jelasin soal program baru itu dulu sama yang lain dan juga DM,” alasanku. Bidan Cahaya hanya mengangguk pelan dengan tatapan meragukan. Pasti aku dianggap tidak kompeten olehnya untuk melaksanakan tugas ini karena belum pernah terlibat dalam aktivitas penelitian. Aku mungkin terkesan nekat melakukan pekerjaan yang bukan wewenangku.
“Tahun depan kamu mestinya ambil S-1.” Aku yakin, itu sindiran saja buatku.