Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #17

Komplikasi

“Awasi saja, tidak usah dibantu.” Seorang lelaki dalam scrub menegur Jihan yang terdorong untuk mengarahkan kepala seorang bayi pada puting susu ibunya. Dia sibuk merekam proses itu setelah mendapat izin dari pasien. Sementara Inisiasi Menyusui Dini berlangsung, aku menjahit luka episiotomi miring pada perineum pasien. 

“Baik, Dok.” Entah apa yang ada di balik senyum manis Jihan. Mungkin, dalam hati, dia bersungut tidak sabar menunggui proses yang lamban, tetapi prosedur tetap mesti dijalankan, apalagi nakes lelaki itu tampaknya sedang butuh dokumentasi IMD.      

Namanya Dokter Seno. Siapa sangka, lelaki yang kujumpai di parkiran tempo hari adalah seorang PPDS obgin senior dari luar daerah. Praktis, kini ada tambahan dua pasang pantofel lelaki di rak sepatu dekat pintu. Dokter Seno tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang lagi PPDS obgin junior.

Perubahan suasana langsung terasa dan bikin gempar. Kehadiran duo lelaki ini bagai spesies langka yang membawa angin kesegaran baru di ruang bersalin penuh kaum hawa. Mereka juga pengalih perhatian efektif dari gelombang penolakan sosialisasi donor tali pusat. 

Saat aku sudah menyimpul jahitan dan menyingkirkan semua tampon dari jalan lahir, barulah bayi itu mulai bergerak. Inilah momen yang ditunggu-tunggu semua orang. Kaki dan lengannya seolah mengayuh di atas perut sang ibu bagai sedang memijat rahim. Proses ini membantu rahim berkontraksi dengan baik hingga ukurannya pun akan mengecil. 

Kemajuan IMD selanjutnya sungguh pesat. Kepala bayi menengadah ke depan untuk membaui aroma tubuh ibunya. Cairan ketuban yang belum dibersihkan dari telapak tangannya seolah memandu ke arah yang tepat.

“Cakep,” ujar Dokter Seno saat bibir si bayi akhirnya menempel pada puting susu ibu. Jihan menghela napas lega ketika lidah bayi mulai berdecap mengisap. Dia membiarkan makhluk mungil itu menyusu sampai puas, baru kemudian mengangkatnya untuk membersihkan sisa darah yang melekat, menimbang bobot, mengukur panjang badan dan lingkar kepala, serta memeriksa dubur sekaligus mengukur suhunya dengan termometer. Setelah itu, giliranku untuk melakukan sosialisasi program donor tali pusat.

Akan tetapi, tidak semudah itu. Suami pasien memberondongku dengan setumpuk keraguan di kepala. Cukup sulit untuk meyakinkan mereka sampai akhirnya Dokter Seno turut ambil bagian.

“Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Tali pusat akan disimpan dengan baik di bank donor. Begitu semua siap, Mbak bidan segera mengabari petugas yang akan mengambilnya nanti. Yang diambil juga cuma bagian pangkalnya saja. Bapak dan Ibu ada rencana lain untuk mengawetkan jadi hiasan, misalnya?”

Aku melirik Dokter Seno, lalu suami istri tersebut menatapnya dengan ekspresi galau bercampur ngeri. Mereka pasti baru mendengar hal-hal demikian. “Nggak, Dok,” jawab mereka berbarengan. Keraguan merayapi atmosfer di sekitar mereka. 

Namun, sang suami akhirnya mengangguk mendahului istrinya. “Silakan kalau begitu. Selama tidak disalahgunakan dan dimanfaatkan dengan baik, kami tidak keberatan.” Perempuan yang berbaring di sisinya pun pasrah dengan keputusan sang suami dan kebijakan rumah sakit. Senyumku merekah lebar sambil mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk mereka–pasien kesekian yang mengabulkan permintaan donor tali pusat dan membuatku makin bersemangat menjalankan tugas.

***

“Terima kasih banyak, ya, Dok. Saya sudah banyak dibantu mengedukasi pasien,” ucapku tulus karena merasa amat tertolong oleh informed consent dari Dokter Seno tadi. 

“Sesama staf medis memang harus saling membantu, Mbak. Makasih juga atas kerja samanya untuk beberapa minggu ke depan.” Dia mengedip padaku hingga aku menyesal telanjur menaruh apresiasi terlampau tinggi. Sebagai PPDS senior yang tinggal sedikit lagi menyelesaikan pendidikan, tentu saja dia bisa bersikap percaya diri dan menebar pesona ke mana-mana. Namun, rayuan seorang dokter tidak bisa dipercaya. Mereka makhluk yang terkenal tidak setia. Mungkin pandanganku sangat tipikal dan tidak berdasar, tetapi kasus Dokter Sam sudah amat jelas buktinya. Andaipun aku tertarik pada dokter, maka bukan tipe dokter yang ini. 

Riuh rendah terdengar dari arah meja jaga. Semua bidan seolah berkumpul di sana karena ada PPDS obgin junior bersama mereka. Dua lelaki ini dengan segera menjadi idola para bidan yang rata-rata adalah kaum ibu. Pusat daya tarik ruang bersalin untuk sementara bergeser kepada Dokter Seno yang menyusul bergabung dengan juniornya, Dokter Wibi. 

“Halo, Dok. Follow-up pasien ruangan sudah beres. Ada satu rawat bersama dari ruang isolasi, pasien ODHA post-SC.” Dokter Wibi lebih dulu menyapa. Hanya ada satu bangku kosong tersedia yang langsung ditempati oleh Dokter Seno. Selagi mereka berdiskusi tentang visite dan kasus di ruang bersalin, aku asyik mencatat laporan tindakan di rekam medis sambil berdiri menghadap nurse station. Suara-suara besar mereka terlalu susah untuk diabaikan hingga aku tanpa sengaja turut mendengarkan.

“Pasien raber dari isolasi minta pulang APS, Dok,” ujar Dokter Wibi. 

Lihat selengkapnya